MUSLIMAH

Menuju Insan yang Shalihah

This is default featured post 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

MUTIARA DAKWAH

This is default featured post 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

1 Mei 2012

Sifat Shalat Nabi: Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz



Dari Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, ditujukan kepada setiap orang yang menginginkan shalatnya sebagaimana yang dilakukan Rasulullah karena beliau telah bersabda:
صَلُّوا كَمَارَأَيْتُمُونِيْ أُصَلِّيْ
"Shalatlah sebagaimana kalian melihat aku shalat." (HR. Al Bukhari [Muslim dan Ahmad])

Rincian praktek shalat Nabi yang harus kita ikuti itu adalah: 

1. Menyempurnakan wudhu, yakni berwudhu seperti yang diperintahkan Allah


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ فاغْسِلُواْ وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُواْ بِرُؤُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَينِ

"Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hen­dak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepala­mu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki..." (QS Al Maidah: 6)

Rasulullah bersabda:

لاَ تُقْبَلُ صَلاَةً بِغَيْرِ طَهُورٍ
"Shalat tidak diterima (tidak sah) bila tanpa bersuci." [HR. Muslim]
 
2. Menghadap ke kiblat (Ka'bah) dimanapun berada, dengan seluruh badan, dengan niat dalam hati melakukan shalat yang hendak dikerjakan, baik shalat fardhu maupun shalat sunnat.
Niat tidak diucapkan karena hal itu tidak dianjurkan dan tidak pernah dicontohkan Nabi, dan para sahabat pun tidak pernah melisankan niat.

Nabi memerintahkan agar ketika hendak shalat kita membuat sutrah (batasan) sebagai tempat shalat, baik tatkala shalat berjama'ah maupun shalat sendiri.
 
3. Takbiratul Ihram dengan mengucapkan "اللهُ أَكْبَر", dan dengan menatap ke tempat sujud.
 
4. Mengangkat tangan ketika takbir setinggi pundak atau setinggi telinga. 
  
5. Meletakkan kedua tangan di atas dada. Tangan kanan berada di atas telapak tangan kiri. Ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan Wail bin Hujr dan Qubaishah bin Halab At Thai dari bapaknya. 
6. Disunnatkan membaca doa Istiftah (pembukaan), yaitu:

اَللَّهُمَّ بَاعِدْ بَيْنِيْ وَبَيْنَ خَطَايَايَ كَمَا بَاعَدْتَ بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ، اَللَّهُمَّ نَقِّنِيْ مِنْ خَطَايَايَ، كَمَا يُنَقَّى الثَّوْبُ اْلأَبْيَضُ مِنَ الدَّنَسِ، اَللَّهُمَّ اغْسِلْنِيْ مِنْ خَطَايَايَ بِالثَّلْجِ وَالْمَاءِ وَالْبَرَدِ
Ya Allah, jauhkanlah aku dari segala dosa, sebagai­mana Engkau menjauhkan Timur dan Barat. Ya Allah, bersihkanlah aku dari segala dosa seperti dibersih­kannya kain putih dari kotoran. Ya Allah, cucilah aku dari segala dosa dengan air, es, dan salju." [HR. Bukhari dan Muslim]

Selain doa di atas, bisa juga membaca doa: 

سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ، وَتَبَارَكَ اسْمُكَ، وَتَعَالَى جَدُّكَ، وَلاَ إِلَـهَ غَيْرُكَ
"Mahasuci Engkau, ya Allah. Aku memuji-Mu dengan pujian-Mu. Mahaberkah asma-Mu, Mahatinggi kebesaran-Mu, dan tiada tuhan selain Engkau." [HR. Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i dan Ibnu Majah, Shahih]

Kemudian membaca ta'awwudz: (أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ), basmalah (بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ) dan surat Al Fatihah, karena Rasulullah telah bersabda:

لاَصَلاَةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ
"Tidak sah shalat orang yang tidak membaca fatihatul Kitab." [HR. Bukhari dan Muslim]

Setelah membaca Fatihah, ucapkan "Aamiin [آمِينَ]" dengan suara keras dalam shalat jahriah (shalat yang bacaan­nya dikeraskan/disuarakan). Setelah itu bacalah salah satu surat dari Al Qur'an yang dihafal.
 
7. Ruku' dengan membaca takbir; mengangkat kedua tangan setinggi pundak atau setinggi telinga. Lalu sejajarkan kepala dengan punggung, letakkan kedua tangan di atas kedua lutut; renggangkan jari-jari; berada pada posisi tuma'ninah (menenangkan badan) dalam ruku', dan mengucapkan:

سُبْحَانَ رَبِّيَ الْعَظِيْمِ
"Mahasuci Allah yang Mahaagung." [HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, Shahih]

Diutamakan ucapan itu diulangi tiga kali atau lebih, dan disunnatkan juga menambahkan bacaan:

سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ رَبَّنَا وَبِحَمْدِكَ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِيْ
"Mahasuci Allah, Robb kami, dan dengan memuji Engkau, ya Allah, ampunilah aku." [HR. Bukhari dan Muslim]
 
8. Mengangkat kepala setelah ruku' dengan mengangkat kedua tangan setinggi pundak atau telinga, seraya mengucapkan:

سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ
"Allah Maha Mendengar orang yang memuji-Nya." [HR. Bukhari dan Muslim]
dibaca oleh imam, juga tatkala shalat sendiri.

Ketika berdiri ucapkan:

رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ، حَمْدًا كَثِيْرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيْهِ، مِلْءَ السَّمَاوَاتِ وَمِلْءَ اْلأَرْضِ وَمِلْءَ مَا بَيْنَهُمَا، وَمِلْءَ مَا شِئْتَ مِنْ شَيْءٍ بَعْدُ
"Ya Robb kami, bagi Engkau-lah segala puji dengan pujian yang banyak, baik, diberkati,1 yang memenuhi langit, bumi, antara langit dan bumi, dan memenuhi apa saja yang Engkau kehendaki."2

Lebih baik lagi apabila setelah mengucapkan doa ter­sebut, membaca:

أَهْلَ الثَّنَاءِ وَالْمَجْدِ، أَحَقُّ مَا قَالَ الْعَبْدُ، وَكُلُّنَا لَكَ. اَللَّهُمَّ لاَ مَانِعَ لِمَا أَعْطَيْتَ، وَلاَ مُعْطِيَ لِمَا مَنَعْتَ، وَلاَ يَنْفَعُ ذَا الْجَدِّ مِنْكَ الْجَدُّ
"Yang Memiliki pujian dan Keagungan yang berhak menerima apa yang dikatakan hamba-Nya. Kami semua milik-Mu, ya Allah. Tidak ada yang dapat me­nolak apa yang telah Engkau berikan; tidak ada yang dapat memberikan apa yang telah Engkau tolak; dan tidak ada gunanya bagi Engkau kekayaan manusia."[HR. Muslim]

Hadits tersebut derajatnya Hasan, karena do'a di atas terdapat dalam beberapa hadits yang shahih.
Ketika berdiri dari ruku', makmum mengucapkan: "Rabbanaa wa lakal hamdu...[ رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ]" dan seterusnya.

Baik imam, munfarid, dan makmum disunnatkan me­letakkan kedua tangan di atas dada seperti ketika ber­diri sebelum ruku'. Ini berdasarkan petunjuk dari Rasulullah dari hadits yang diriwayatkan oleh Wail bin Hujr dan Sahal bin Sa'ad.
 
9. Sujud dengan mengucapkan takbir serta meletakkan kedua lutut sebelum kedua tangan (kalau bisa/mampu). Bila tidak bisa/tidak mampu, maka boleh mendahulukan meletakkan tangan sebelum lutut. Jari-jari kedua kaki dan kedua tangan dihadapkan ke arah kiblat, dan jari-jari tangan dirapatkan.

Sujud di atas anggota sujud yang tujuh, yaitu kening bersama hidung, kedua tangan, kedua lutut, dan jari-jari kedua kaki, serta mengucapkan:

سُبْحَانَ رَبِّيَ اْلأَعْلَى
"Mahasuci Allah Yang Mahatinggi." (3X atau lebih) [HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, Shahih], Disunnatkan lagi membaca:

سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ رَبَّنَا وَبِحَمْدِكَ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِيْ
"Mahasuci Allah, Robb kami, dan dengan memuji Engkau, ya Allah, ampunilah aku." [HR. Bukhari dan Muslim]

Disunnatkan pula memperbanyak doa. Rasulullah bersabda:

أَمَّا اَلرُّكُوعُ فَعَظِّمُوا فِيهِ اَلرَّبَّ وَأَمَّا اَلسُّجُودُ فَاجْتَهِدُوا فِي اَلدُّعَاءِ فَقَمِنٌ أَنْ يُسْتَجَابَ لَكُمْ
''Tatkala ruku', maka besarkanlah/agungkanlah (nama) Robbmu. Tatkala sujud, maka bersungguh-sunggulah dalam berdoa karena doa kalian layak untuk dikabul­kan.'' (HR. Muslim)

أَقْرَبُ مَا يَكُونُ الْعَبْدُ مِنْ رَبِّهِ وَهُوَ سَاجِدٌ. فَأَكْثِرُوامِنَ الدُّعَاءِ
"Hamba yang paling dekat dengan Robbnya adalah dikala ia sedang sujud, karena itu perbanyaklah doa." (HR. Muslim)

Disunnatkan pula mendoakan diri sendiri dan men­doakan umat Islam lainnya untuk kebaikan di dunia dan di akhirat.

Ketentuan lainnya adalah merenggangkan kedua lengan dari kedua lambung, tidak merapatkan perut dengan kedua paha, merenggangkan kedua paha dari kedua betis, dan mengangkat kedua lengan dari tanah (bawah/dasar). Hal ini sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah صلي الله عليه وسلم:

اعْتَدِلُوا فِي السُّجُودِ وَلَا يَبْسُطْ أَحَدُكُمْ ذِرَاعَيْهِ انْبِسَاطَ الْكَلْبِ
"Tegaklah dalam sujud kalian. Jangan ada seorang dari kalian yang meletakkan kedua lengannya seperti anjing." [HR.Bukhari dan Muslim]
 
10. Mengangkat kepala dari sujud dengan mengucapkan takbir; meletakkan telapak kaki yang kiri dan mendu­dukinya; menegakkan kaki yang kanan; meletakkan kedua tangan di atas kedua paha atau lutut, dan meng­ucapkan:

رَبِّ اغْفِرْ لِيْ رَبِّ اغْفِرْ لِيْ رَبِّ اغْفِرْ لِيْ. اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِيْ وَارْحَمْنِيْ وَارْزُقْنِيْ وَعَافِنِيْ وَاهْدِنِيْ وَاجْبُرْنِيْ
'Ya Robbi, ampunilah aku (3X)3. Ya Allah, ampunilah aku, berikanlah rezeki Mu kepadaku, sehatkan aku, tunjukilah aku, dan cukupkanlah segala kekurangan­ku."4

Tuma'ninah (menenangkan badan) ketika duduk se­hingga tulang-tulangnya kembali lagi ke tempat asalnya, seperti i'tidal setelah ruku'. Nabi memanjangkan i'tidal setelah ruku' dan antara kedua sujud. 
11. Sujud kedua dengan mengucapkan takbir, dan meng­erjakan seperti yang dikerjakan pada sujud pertama.
 
12. Mengangkat kepala dengan mengucapkan takbir; duduk sebentar seperti duduk antara dua sujud yang disebut duduk istirahat. Menurut salah satu pendapat ulama ini merupakan sunnat, karena itu apabila ini di­tinggalkan tidak apa-apa dan di situ juga tidak ada dzikir maupun doa yang harus diucapkan.

Kemudian bangkit ke rakaat yang kedua dengan ber­sandar pada kedua lutut (bila kondisi memungkinkan). Bila tidak mampu, maka boleh bersandar pada alas (dasar, tempat tumpuan).

Lalu membaca Al Fatihah, dan selanjutnya membaca salah satu surat dari Al Qur'an. Baru setelah itu me­ngerjakan seperti yang dilakukan pada rakaat awal [pertama].

Makmum tidak diperkenankan mendahului imam karena Nabi telah memperingatkan hal itu kepada umatnya. Hukumnya makruh apabila makmum gerakan­nya bersamaan dengan imam. Yang disunnatkan ada­lah semua perbuatan dilakukan setelah imam tanpa menunggu-nunggu dan setelah terhentinya suara imam. Hal ini berdasarkan sabda Nabi:

إِنَّمَا جُعِلَ الْإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ فَلَا تَخْتَلِفُوا عَلَيْهِ فَإِذَا كَبَّرَ فَكَبِّرُوا وَإِذَا قَالَ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ فَقُولُوا رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ وَإِذَا سَجَدَ فَاسْجُدُوا
"Imam hanya dijadikan untuk diikuti. Karenanya janganlah kalian berbeda dengan imam. Apabila imam takbir, maka bertakbirlah. Apabila imam mengucap­kan "Sami'allaahu liman hamidah", maka ucapkanlah: "Rabbanaa wa lakal hamdu." Apabila imam sujud, maka sujudlah." (Al Bukhari-Muslim) 

13. Apabila shalat terdiri dari dua rakaat, seperti shalat Subuh, shalat Jum'at, dan shalat 'led, maka setelah sujud yang kedua, duduk dengan menegakkan kaki yang kanan; menggelar kaki yang kiri; meletakkan tangan kanan di atas paha kanan; menggenggam semua jari-jari, kecuali jari telunjuk yang mengisyaratkan pada pengesaan Allah. Menggenggamkan jari kelingking dan jari manis saja. lalu mengisyaratkan jari telunjuk, juga baik bila dilakukan. Kedua cara ini berdasarkan hadits dari Nabi.

Tangan kiri diletakkan di atas paha atau lutut yang kiri juga. Dalam duduk itu kemudian membaca tasyahud, yaitu:

التَّحِيَّاتُ لِلَّهِ وَالصَّلَوَاتُ وَالطَّيِّبَاتُ السَّلَامُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ السَّلَامُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللَّهِ الصَّالِحِينَ. أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ. اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ اللَّهُمَّ بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ. اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ وَمِنْ عَذَابِ النَّارِ وَمِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَالْمَمَاتِ وَمِنْ فِتْنَةِ الْمَسِيحِ الدَّجَّالِ
"Segala puja dan puji, shalat dan kebaikan milik Allah. Selamat sejahtera kepadamu, wahai Nabi, rahmat Allah dan berkah-Nya. Selamat sejahtera kepada kami dan hamba-hamba Allah yang baik. Aku bersaksi tidak ada Tuhan selain Allah. Aku bersaksi bahwa Muham­mad itu hamba dan utusan-Nya.5 Ya Allah, sampaikan selamat sejahtera kepada Muhammad dan kepada keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau telah memberikan selamat sejahtera kepada Ibrahim dan keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Terpuji dan Mahaagung. Berkatilah Muhammad dan keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau telah memberkati Ibrahim dan keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Terpuji dan Mahaagung.6 Ya Allah, aku memohon perlindungan-Mu dari siksa jahanam, dari siksa kubur, dari fitnah kehidupan dan kematian, dan dari fitnah Al Masih Ad-Dajjal."7

Kemudian berdoa apa saja meminta kebaikan di dunia dan akhirat. Jika mendoakan orang tua atau sesama kaum muslimin, maka tidak apa-apa, baik dilakukan dalam shalat wajib maupun dalam shalat sunnat.

Selanjutnya salam ke kanan dan ke kiri, seraya mengucapkan: 


السَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ. السَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ
14. Apabila shalat terdiri dari tiga rakaat, seperti shalat Maghrib, atau empat rakaat, seperti shalat Dhuhur, Ashar dan shalat Isya', maka setelah membaca tasyahud dan shalawat kepada Nabi, berdiri lagi dengan bersan­dar pada lutut, mengangkat kedua tangan setinggi pundak dengan mengucapkan "Allahu Akbar", dan meletakkan kedua tangan di atas dada, lalu membaca Fatihah.

Apabila dalam rakaat ketiga dan keempat dari shalat Dhuhur sesekali menambah bacaan ayat sesudah Fati­hah, maka tidak apa-apa, karena ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan Abi Said.

Kemudian melakukan tahiyat setelah rakaat ketiga dari shalat Maghrib dan setelah rakaat keempat dari shalat Dhuhur, Ashar atau Isya'; membaca shalawat kepada Nabi; memohon perlindungan dari siksa jahanam, siksa kubur, dan fitnah Dajjal; memperbanyak doa sebagaimana pada shalat yang dua rakaat. Pada saat begini duduknya tawarruk, yakni meletakkan kaki kiri di bawah kaki kanan, pantat di atas lantai/alas de­ngan menegakkan kaki kanan. Ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan Abi Humaid.

Setelah itu melakukan salam ke kanan dan ke kiri, seraya mengucapkan: 


السَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ. السَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ


                                                             
1 [HR. Bukhari]
2 [HR. Muslim]
3 [HR. Abu Dawud, bacaan رَبِّ اغْفِرْ لِيْ dibaca 2 kali]
4 [HR. Abu Dawud, Tirmidzi dan Ibnu Majah, Shahih]
5 [HR. Bukhari dan Muslim]
6 [HR. Bukhari dan Muslim]
7 [HR. Muslim, doa sejenis dengan lafazh yang mirip dapat dilihat dalam kitab-kitab Hadits atau lihat Sifat Shalat Nabi oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani ]
Disalin dari kitab:
صفة صلاة النبي صلي الله عليه وسلم
Sifat Shalat Nabi oleh Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz

Tawadlu'



 “Dan hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan.” (Qs. Al-Furqan: 63)

Maksud ayat tersebut adalah berjalan di muka bumi dengan tenang, berwibawa, rendah hati, tidak jahat, tidak congkak dan sombong. Menurut Al-Hasan, mereka adalah orang-orang yang berilmu dan bersikap lemah lembut. Menurut Muhammad bin Al-Hanafiah, mereka adalah orang-orang yang berwibawa, menjaga kehormatan diri dan tidak berlaku bodoh. Kalaupun mereka dianggap bodoh, maka mereka tetap bersikap lemah lembut. [1]

Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa Rasulullah bersabda
إِذَا نَظَرَ أَحَدُكُمْ إِلَى مَنْ فُضِّلَ عَلَيْهِ فِي الْمَالِ وَالْخَلْقِ فَلْيَنْظُرْ إِلَى مَنْ هُوَ أَسْفَلَ مِنْهُ مِمَّنْ فُضِّلَ عَلَيْهِ
“Ketika seorang dari kalian memandang orang yang melebihi dirinya dalam harta dan anak, maka hendaklah ia juga memandang orang yang lebih rendah darinya, yaitu dari apa yang telah dilebihkan kepadanya.” (HR. Muslim)

Sikap Tawadhu’ Nabi dan Para Sahabat
Dalam kitab Madarijus Salikin disebutkan bahwa Rasulullah senantiasa menunjukkan sikap tawadhu' kepada siapa pun. Jika beliau melewati sekumpulan anak-anak kecil, maka beliau mengucapkan salam kepada mereka. Ada seorang budak wanita yang menggelendeng tangan beliau menuju tempat yang dikehendakinya. Jika beliau makan, maka beliau menjilat jari-jari tangannya tiga kali. Jika berada di rumah, maka beliau mengerjakan tugas-tugas keluarganya. 
Beliau biasa menjahit sandalnya, menambal pakaian, memerah susu untuk keluarganya, memberi makan onta, makan bersama para pelayan, duduk bersama orang-orang miskin, berjalan bersama para janda dan anak-anak yatim, memenuhi keperluan mereka, selalu mengucapkan salam terlebih dahulu kepada mereka, memenuhi undangan siapa pun yang mengundangnya, sekalipun untuk keperluan yang sangat ringan dan reman. Akhlak beliau lembut, tabiat beliau mulia, pergaulan beliau baik, wajah senantiasa berseri, mudah tersenyum, rendah hati namun tidak menghinakan diri, dermawan tapi tidak boros, hatinya mudah tersentuh dan menyayangi setiap orang Muslim dan siap melindungi mereka. [2]

Abu Bakar biasa memerahkan susu kambing orang-orang di sebuah perumahan. Setelah Abu Bakar menjadi khalifah, seorang anak perempuan dari perumahan itu berkata, “Mulai sekarang tidak ada lagi yang memerahkan susu kambing untuk kita.” Abu Bakar mendengar ucapan anak itu, maka ia pun berkata, “Sungguh, aku akan terus memerahkan susu untuk kalian. Demi Allah, aku tidak ingin kesibukanku yang baru ini mengubah kebiasaan baikku yang sudah-sudah.

Suatu hari ‘Umar bin Khaththab berangkat ke negeri Syam bersama Abu Ubaidah. Mereka sampai di sebuah telaga. ‘Umar turun dari untanya dan melepas khufnya, lalu menggantungkannya di pundaknya, dan menarik tali unta untuk memberinya minum. Melihat itu, Abu Ubaidah berkata, “Wahai Amirul Mukminin, engkau melakukan ini? Kau lepas khufmu, kau letakkan di pundakmu, lalu kau tarik untamu untuk kau suruh minum?! Aku senang jika para penduduk itu memuliakanmu.”

‘Umar pun menjawab, “Jika yang mengatakannya bukan kamu, wahai Abu Ubaidah, aku pasti menjadikannya sebagai pelajaran bagi umat Muhammad. Sesungguhnya kita ini adalah kaum yang hina dina lantas Allah memuliakan kita dengan Islam. Maka, jika kita mencari kemuliaan dengan selain apa yang Allah memuliakan kita dengannya, niscaya Allah akan menghinakan kita.” [3]

Urwah bin Az-Zubair berkata, “Aku pernah melihat Umar bin Al-Khaththab memanggul segeriba air. Maka kukatakan kepadanya, "Wahai Amirul-Mukminin, tidak sepantasnya engkau melakukan hal ini.” Umar menyahut, "Ketika ada beberapa orang utusan yang datang kepadaku dalam keadaan tunduk dan patuh, maka ada sedikit kesombongan yang merasuk ke dalam diriku. Namun aku dapat mengenyahkannya." [4]
  • “Sesungguhnya jika seorang hamba bersikap tawadhu’ karena Allah, maka Allah akan memuliakannya dengan hikmah-Nya, seraya dikatakan kepadanya, “Bangkitlah, Allah pasti meninggikannya”, dalam dirinya ia menganggap bahwa dirinya hina, sedang di mata manusia ia mulia.” (‘Umar bin Khaththab) 
  • “Inti sikap tawadhu’ adalah hendaklah engkau memberi salam kepada siapa saja yang engkau jumpai dari kaum muslimin, ridha dengan yang lain dalam majelis, dan engkau benci jika disebut-sebut dengan kebaikan dan ketakwaanmu.” (‘Umar bin Khaththab)  
  • “Barangsiapa yang menonjolkan dirinya karena sombong, maka Allah akan merendahkannya. Barangsiapa yang merendahkan diri karena khusyu’, maka Allah akan mengangkatnya.” (Abdullah bin Mas’ud)  
  • “Seseorang tidak dianggap berilmu hingga ia tidak lagi iri kepada orang yang lebih mulia dari dirinya, dan tidak menghina orang yang lebih rendah dari dirinya, serta tidak mengharapkan uang dengan ilmunya.” (Ibnu Umar) [5] 
  • “Pangkal tawadhu’ adalah kamu posisikan dirimu bersama orang yang nikmat dunianya lebih rendah darimu sampai kamu mengerti bahwa tidak ada keutamaan bagimu atasnya dengan duniamu; dan kamu posisikan dirimu bersama orang yang nikmat dunianya lebih tinggi darimu sampai kamu membuatnya mengerti bahwa tidak ada keutamaan baginya atasmu dengan dunianya.” (Abdullah bin Mubarak) [6] 
  •  “Tawadhu' artinya tunduk kepada kebenaran dan patuh kepadanya serta mau menerima kebenaran itu dari siapa pun yang mengucapkannya." (Al-Fudahil bin Iyadh) [7]

Para sahabat tidak memiliki gelar dan julukan-julukan kebesaran, tidak memiliki tambahan-tambahan di belakang nama mereka yang bernada sombong. Mereka dipanggil dengan nama mereka, wahai Abu Bakar, wahai ‘Umar, Utsman, ‘Ali, Usamah, Abdurrahman, Zubair. Tidak ada gelar kebesaran bagi mereka. Cukuplah mereka menyandang gelar kemuliaan dari Allah. Sedangkan banyak orang yang menggunakan gelar-gelar kebesaran, gelar jabatan, atau gelar akademik. Mereka merasa jengkel dan marah apabila disebut namanya tanpa disertai gelarnya.

Dahulu para Salafush Shalih sangat membenci ketenaran dan mengingatkan diri mereka sendiri agar menjauhinya. Mereka melihat bahwa diri mereka tidak pantas untuk menjadi yang terdepan. Ibrahim An-Nakha’I misalnya, dahulu setiap ada empat orang yang mendekat dan duduk di dekatnya ketika berada di dalam masjid, maka dia langsung berdiri dan meninggalkan mereka. Hal ini dia lakukan karena dirinya takut menjadi orang terkenal. Dahulu Salafush Shalih sangat takut memberikan fatwa, mereka sangat senang jika telah ada orang lain yang mau memberikan fatwa menggantikan mereka dan mereka takut terhadap berbagai pertanyaan dan persoalan yang dilontarkan. [8]

Sedangkan sekarang banyak orang justru sebaliknya, saling berebut untuk untuk memberikan jawaban atas setiap pertanyaan. Merasa tahu padahal sesungguhnya ilmunya hanya sedikit. Merasa paling pandai padahal bodoh. Orang pandai tidak diukur seberapa banyak ia mampu menjawab berbagai pertanyaan. Para ulama sering mengatakan tidak tahu terhadap persoalan yang disampaikan kepadanya.

Sebab yang mendorong timbulnya sifat sombong adalah memiliki kedudukan yang tinggi dan pengaruh yang besar dan kurangnya bergaul dengan orang yang memiliki status sosial yang sama dengannya –atau yang lebih rendah darinya. Sebab lain yang mendorong timbulnya kebanggaan pada diri sendiri adalah banyaknya pujian dari orang-orang terdekat dan sanjungan yang berlebihan dari orang-orang yang ingin cari muka, yaitu orang-orang yang terbiasa dengan kemunafikan. [9]

Jangan Sombong
Dosa pertama yang menjadi kedurhakaan terhadap Allah adalah dua macam: takabur dan ambisi. Takabur merupakan dosa Iblis yang terlaknat. Sedangkan dosa bapak kita Adam adalah ambisi dan syahwat. Orang yang takabur dan beralasan kepada takdir akan bersama pemimpin mereka masuk ke dalam neraka, yaitu Iblis. Ibnu Qayyim Al-Jauziyah berkata, “Saya mendengar Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyah berkata, ‘Takabur lebih jahat daripada syirik. Sebab orang yang takabur merasa dirinya hebat untuk beribadah kepada Allah. Sedangkan orang musyrik masih mau beribadah kepada Allah dan kepada selain-Nya.’" [10]

Imam Adz-Dzahabi mengategorikan sombong sebagai salah satu dosa besar. Adz-Dzahabi berkata, “Sombong yang paling buruk adalah sombongnya seseorang terhadap orang lain karena ilmu yang dimilikinya dan ia merasa besar dengan kelebihan yang dimilikinya. Sungguh, ilmunya tidak bermanfaat baginya.

Orang yang menuntut ilmu untuk dibanggakan, mencari kedudukan, meremehkan kaum muslimin, menganggap mereka bodoh, serta melecehkan mereka, sungguh ini adalah sombong yang paling besar. Dan tidak akan masuk surga orang yang di hatinya ada sombong walau seberat biji sawi.” [11]

Sombong adalah jalan menuju murka Allah. Juga, merupakan tanda rendahnya jiwa dan jauhnya ia dari Allah. Karena sombong seseorang terusir dari rahmat Allah dan menjadikannya tidak dapat memahami ayat-ayat-Nya. Juga, selamanya tidak akan mendapatkan taufik untuk taat kepada-Nya. Sombong akan membuat seseorang terhalang dari surga dan akan mengantarnya ke neraka.

Hanya Allah yang Berhak Sombong
Dari Abdullah bin Umar, ia berkata, Rasulullah bersabda:
يَطْوِي اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ السَّمَاوَاتِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ثُمَّ يَأْخُذُهُنَّ بِيَدِهِ الْيُمْنَى ثُمَّ يَقُولُ أَنَا الْمَلِكُ أَيْنَ الْجَبَّارُونَ أَيْنَ الْمُتَكَبِّرُونَ ثُمَّ يَطْوِي الْأَرَضِينَ بِشِمَالِهِ ثُمَّ يَقُولُ أَنَا الْمَلِكُ أَيْنَ الْجَبَّارُونَ أَيْنَ الْمُتَكَبِّرُونَ

“Allah Taala melipat langit-langit pada hari kiamat, kemudian menggenggam langit-langit itu dengan tangan kanan-Nya, lalu berfirman: Akulah Raja! Manakah orang-orang penguasa yang suka menindas? Manakah orang-orang yang sombong? Kemudian Dia melipat bumi dengan tangan kiri-Nya, lalu berfirman: Akulah Raja! Manakah orang-orang penguasa yang suka menindas? Manakah orang-orang yang sombong?”

Ibnu ‘Auf menggubah seuntai syair:

Aku amat terpesona karena kecantikan rupanya
Padahal hari kemarin dia adalah setetes mani yang hina
Dan pada hari esok, setelah hilang pesonanya
Dia menjadi bangkai kotor di liang lahat
Dia tidak sadar bahwa di balik kesombongan dan keangkuhannya
Di balik pakaian yang dikenakannya ada kotoran [12]

 
Seorang penyair mengungkapkan:

Wahai orang yang selalu memperlihatkan kesombongan
Karena bentuk dan rupa tubuh yang indah
Perhatikanlah orang-orang yang sombong sebelummu
Kebusukanmu kelak akan menjadi celaan bagimu
Andaikan orang-orang mau memikirkan
Apa yang ada di dalam perutnya
Niscaya orang yang masih muda maupun yang sudah tua
Tidak akan merasa sombong
Adakah pada anak Adam sesuatu yang lebih berharga daripada kepala
Padahal sudah dimaklumi bahwa lima bagian dari kepala itu mengandung kotoran
Dalam hidung mengalir kotoran
Dan telinga baunya sangat menyengat menusuk hidung
Dari mata mengalir air dan dari gigi mengalir lendir
Wahai keturunan tanah dan makanan tanah
Silakan berleha-leha, kelak engkau akan menjadi makanan dan minuman tanah
[13]


Maraji’:
- Adabud Dunya wad Din, Al-Mawardi
- Al-Kabair, Adz-Dzahabi
- At-Tawadhu’, Mahmud Al-Mishri
- Hakadza Haddatsana Az-Zaman, ‘Aidh Al-Qarni
- Madarijus Salikin, Ibnu Qayyim Al-Jauziyah
- Mawa’izhu Ash-Shahabah, Shalih Ahmad Asy-Syami

                                                                                
[1] Madarijus Salikin, Ibnu Qayyim Al-Jauziyah
[2] Madarijus Salikin, Ibnu Qayyim Al-Jauziyah
[3] At-Tawadhu’, Mahmud Al-Mishri
[4] Madarijus Salikin, Ibnu Qayyim Al-Jauziyah
[5] Mawa’izhu Ash-Shahabah, Shalih Ahmad Asy-Syami
[6] At-Tawadhu’, Mahmud Al-Mishri
[7] Madarijus Salikin, Ibnu Qayyim Al-Jauziyah
[8] Hakadza Haddatsana Az-Zaman, ‘Aidh Al-Qarni
[9] Adabud Dunya wad Din, Al-Mawardi
[10] Madarijus Salikin, Ibnu Qayyim Al-Jauziyah
[11] Al-Kabair, Adz-Dzahabi
[12] Adabud Dunya wad Din, Al-Mawardi
[13] Adabud Dunya wad Din, Al-Mawardi 


PROMO BUKU

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More