MUSLIMAH

Menuju Insan yang Shalihah

This is default featured post 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

MUTIARA DAKWAH

This is default featured post 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

29 September 2012

Download Kitab (Ebook) Adabul Mufrad karya Imam Bukhari dengan Takhrij dan Tashih oleh Muhammad Nashiruddin al-Albani


Dalam kitab Adabul Mufrad, al-Bukhari telah mengumpulkan berbagai (hadits Nabi yang menggambarkan berbagai bentuk) sifat dan adab terpuji yang sangat dibutuhkan pribadi muslim ketika bermukim dan bepergian, atau adab yang dibutuhkan ketika berada di tengah keluarga dan tetangga serta segala sesuatu yang erat kaitannya dengan kekerabatan dan kemasyarakatan.

Penulis kitab Fadhlullahish Shamad mengatakan, “Kitab al-Adabul Mufrad karya Amirul Mukminin fil Hadits, pakar ‘ilal (cacat yang tersembunyi dalam hadits) di masa dulu dan sekarang, penjaga Islam dan kaum muslimin, pemuka para ahli hadits, al-Imamul Himam Abu ‘Abdillah Muhammad bin Isma’il al-Bukhari semoga Allah melimpahkan karunia kepada-Nya, rnerupakan salah satu karya yang sangat bermanfaat.

Tidak ada kitab yang serupa dengan kitab yang berukuran kecil dan bermuatan ilmu yang melimpah ini. Kitab ini menghimpun berbagai riwayat seputar adab dan akhlak mulia yang berasal dari Nabi -, para pemuka Shahabat dan para ulama. Kitab ini rnerupakan salah satu karya terbaik yang pernah ditulis, disusun dengan sangat sistematis serta sangat layak dipelajari. Akan tetapi, seorang penuntut ilmu mestilah tergolong cerdas, terkadang tidak mampu mengetahui kedudukan kitab ini dan hanya sedikit yang mampu memetik berbagai hikmah dan mutiara berharga yang terkandung di dalamnya.

Kitab Adabul Mufrad adalah satu karya besar Imam al-Bukhari, menghimpun hadis-hadis berkenaan dengan adab adab, memudahkan kita merealisasikan dan menghidupkan sunnah dalam adab dan ahlak islami. Ditakhrij dan tashih oleh Syaikh al-Albani, membuat buku ini semakin berbobot.

Download Kitab (Ebook) Adabul Mufrad karya Imam Bukhari 
dengan Takhrij dan Tashih oleh Muhammad Nashiruddin al-Albani
DOWNLOAD (chm) - 1.60 MB
atau
DOWNLOAD (pdf/exe) - 5.5 MB


Syarat-syarat Jilbab Wanita Muslimah

Jilbab Wanita Muslimah Karya Muhammad Nashiruddin Al-Albani

Syarat-syarat jilbab wanita muslimah yaitu:

  • Hendaklah jilbab menutupi seluruh badannya kecuali wajah dan telapak tangan.
  • Tidak ketat sehingga menggambarkan lekuk tubuh
  • Kainnya harus tebal, tidak tipis dan tidak tembus pandang sehingga menampakkan kulit tubuh
  • Tidak menyerupai pakaian laki-laki
  • Tidak mencolok dan berwarna yang dapat menarik perhatian
  • Tidak menyerupai pakaian wanita kafir
  • Bukan pakaian untuk mencari popularitas
  • Tidak diberi parfum atau wangi-wangian.
Berikut ini pembahasan masing-masing poin di atas.
Syarat-syarat jilbab wanita muslimah

1. Menutupi seluruh tubuh selain yang dikecualikan
Allah berfirman :

وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ

“Katakanlah kepada wanita yang beriman : “Hendaklah mereka menahan pandangan mereka dan memelihara kemaluan mereka dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang biasa nampak dari mereka. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dada mereka… (QS. An Nur : 31)

Ayat yang mulia ini menegaskan kewajiban bagi para wanita mukminah untuk menutup seluruh perhiasan, tidak memperlihatkan sedikitpun kepada orang-orang yang bukan mahromnya kecuali perhiasan yang biasa nampak. Benar, terdapat perselisihan yang cukup panjang tentang anggota tubuh yang dikecualikan tadi.

Namun pendapat terkuat adalah pendapat mayoritas ulama ahli tafsir dan hadits yang mengatakan wajah dan kedua telapak tangan merupakan anggota tubuh yang dikecualikan. Dengan catatan penting sekali, bahwa menutupnya merupakan amalan yang lebih utama, karena inilah contoh yang dipraktekkan oleh sebaik-baik wanita yaitu para wanita sahabat, tabi-in dan tabi’ut tabi’in. Al Hafidh Ibnu Hajar mengatakan dalam Fathul Bariy 6/226 : “Merupakan adat para wanita yang senantiasa berlangsung sejak dahulu hingga sekarang, mereka menutup wajah-wajah mereka dari manusia di luar mahromnya.”

2. Tidak ketat sehingga menggambarkan bentuk tubuh

Dari Usamah bin Zaid, beliau berkata : Rasulullah memberiku baju Qubthiyyah yang tebal yang merupakan hadiah dari Dihyah Al-Kalbi kepada beliau. Baju itu pun aku pakaikan pada istriku. Nabi bertanya kepadaku: “Mengapa kamu tidak mengenakan baju Qubthiyyah?” Aku menjawab : “Aku pakaikan baju itu pada istriku.” Lalu beliau bersabda : “Perintahkanlah ia agar mengenakan baju dalam di balik Qubthiyyah itu, karena saya khawatir baju itu masih bisa menggambarkan bentuk tulangnya. “ (HR.Ahmad dan Baihaqi dengan sanad hasan)

Dalam kitabnya Nailul Author 2/97, Al- Imam Asy-Syaukani mengatakan : “Hadits ini menunjukkan bahwa wanita itu wajib menutupi badannya dengan pakaian yang tidak menggambarkan badannya. Ini merupakan syarat bagi penutup aurot…”

Saudariku…Perhatikanlah pesan putri Rsululloh shollallohu alaihi wa sallam, Fatimah binti Rosullulloh shollallohu alaihi wa sallam.. Beliau pernah berpesan kepada Asma’ : “Wahai Asma’ ! Sesungguhnya aku memandang buruk perilaku kaum wanita yang memakai pakaian yang dapat menggambarkan tubuhnya…)” (Dikeluarkan Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah dan Baihaqi)

3. Kainnya harus tebal, dan tidak tembus pandang sehingga tidak nampak kulit tubuh
Dalam sebuah hadits shahih, Rasulullah bersabda :

صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُونَ بِهَا النَّاسَ وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيلَاتٌ مَائِلَاتٌ رُءُوسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ لَا يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلَا يَجِدْنَ رِيحَهَا وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ كَذَا وَكَذَا

“Dua golongan dari penduduk neraka yang belum pernah aku lihat, yaitu : Suatu kaum yang memiliki cambuk, seperti ekor sapi untuk memukul manusia dan para wanita yang berpakaian tetapi telanjang, berlenggak-lenggok, kepala mereka seperti punuk onta yang miring, wanita seperti itu tidak akan masuk surga dan tidak akan mencium baunya, walaupun baunya tercium selama perjalanan ini dan ini (jauhnya).” (HR. Muslim)

Ibnu Abdil Barr berkata : “Maksud sabda Nabi shollallohu alaihi wa sallam adalah kaum wanita yang mengenakan pakaian tipis, yang dapat mensifati (menggambarkan) bentuk tubuhnya dan tidak dapat menutup atau menyembunyikannya. Mereka itu tetap berpakaian namanya, tapi pada hakekatnya mereka telanjang.” (Lihat Tanwir Hawalik 3/103 karya Imam Shuyuti).

4. Tidak menyerupai pakaian laki-laki
Dari Ibnu Abbasberkata :

لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّجُلَ يَلْبَسُ لِبْسَةَ الْمَرْأَةِ وَالْمَرْأَةَ تَلْبَسُ لِبْسَةَ الرَّجُلِ

“Rasulullahmelaknat pria yang memakai pakaian wanita dan wanita yang memakai pakaian pria” (HR. Abu Daud, Ibnu Majah, Hakim dan Ahmad dengan sanad shohih).

Kaum wanita masa kini berbondong-bondong merampas sekian banyak jenis pakaian pria. Hampir tidak ada jenis pakaian pria satupun kecuali wanita bebas-bebas saja memakainya, sehingga terkadang seorang tak mampu membedakan lagi antara mana yang pria dan wanita. 

5. Tidak mencolok dan berwarna yang dapat menarik perhatian
Tabarruj adalah perilaku wanita yang menampakkan perhiasan dan kecantikannya serta segala sesuatu yang mestinya ditutup karena hal itu dapat membangkitkan syahwat kaum lelaki.
Sungguh aneh tapi nyata, banyak para wanita apabila keluar rumah berdandan berjam-jam dengan sedemikian moleknya, tapi kalau di dalam rumah, di depan sang suami yang seharusnya mendapatkan pelayanan yang menyenangkan, justru biasa-biasa saja bahkan kerap kali rambutnya acak-acakan, bau badan tak sedap dianggap tidak masalah, penampilan menjengkelkan sudah hal yang lumrah, demikian seterusnya. Ini memang kenyataan yang tak bisa dipungkiri lagi. Semoga Alloh subhanahu wa ta’ala menunjukkan kita semua ke jalan yang benar.

Tapi jangan dipahami penjelasan di atas secara dangkal, sehingga timbul suatu pemahaman bahwa pakaian wanita harus hitam saja. Perhatikanlah atsar berikut :
Dari Ibrahim An-Nakha’i bahwa ia bersama Alqamah dan Al-Aswad mengunjungi para istri Nabi dan melihat mereka mengenakan mantel-mantel berwarna merah..

6. Tidak menyerupai pakaian wanita kafir
Rasulullah pernah bersabda :

“Siapa yang menyerupai suatu kaum maka ia termasuk dari kaum tersebut.” (HR. Abu Daud dan Ahmad dengan sanad shahih)

7. Bukan pakaian untuk mencari popularitas
Hal ini berdasarkan hadits Ibnu Umar yang berkata : Rasulullah bersabda :

مَنْ لَبِسَ ثَوْبَ شُهْرَةٍ فِي الدُّنْيَا أَلْبَسَهُ اللَّهُ ثَوْبَ مَذَلَّةٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ثُمَّ أَلْهَبَ فِيهِ نَارًا

Barang siapa mengenakan pakaian syuhroh (untuk mencari popularitas) di dunia, niscaya Alloh mengenakan pakaian kehinaan kepadanya pada hari kiamat, kemudian membakarnya dengan api neraka. (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah dengan sanad hasan)

Maksud pakaian syuhroh adalah setiap pakaian dengan tujuan meraih popularitas di tengah-tengah orang banyak, baik pakaian tersebut mahal, yang dipakai dengan tujuan berbangga-bangga dengan dunia, maupun pakaian yang bernilai rendah yang dipakai seorang dengan tujuan menunjukkan kezuhudannya dan riya’.

8. Tidak diberi parfum atau wangi-wangian
Dari Abu musa Al-Asy’ari bahwasanya ia berkata : Rasulullah bersabda :

أَيُّمَا امْرَأَةٍ اسْتَعْطَرَتْ فَمَرَّتْ عَلَى قَوْمٍ لِيَجِدُوا مِنْ رِيحِهَا فَهِيَ زَانِيَةٌ

“Siapapun perempuan yang memakai wewangian, lalu ia melewati kaum laki-laki agar mereka mendapatkan baunya, maka ia adalah pezina.” (HR.Tirmidzi, Abu Daud, Ahmad,dll dengan sanad shahih)

Dari Abu Hurairahia berkata : Rasulullah bersabda :

أَيُّمَا امْرَأَةٍ أَصَابَتْ بَخُورًا فَلَا تَشْهَدْ مَعَنَا الْعِشَاءَ الْآخِرَةَ

“Siapapun perempuan yang memakai bakhur (wewangian sejenis kemenyan-pent), maka janganlah ia menyertai kita dalam menunaikan sholat Isya’ yang akhir. (HR.Muslim, Abu Awanah,dll)

Ibnu daqiq Al-“Ied mengatakan: “Hadits tersebut menunjukkan haramnya wewangian bagi wanita yang hendak keluar menuju masjid, karena hal itu akan dapat membangkitkan nafsu birahi kaum laki-laki.”
 

Download Kitab Jilbab Wanita Muslimah Karya Muhammad Nashiruddin Al-Albani

 


Ketahuilah bahwa Allah telah mewajibkan kepada segenap wanita muslimah yang telah mencapai usia baligh untuk memakai jilbab.

"Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin, 'Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.' Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Alloh adalah Maha pengampun lagi maha penyayang.” (QS. Al-Ahzab: 59)
Ayat yang mulia ini secara tegas dan jelas menunjukkan bahwa jilbab merupakan perintah dan syariat Allah kepada segenap wanita muslimah.

Apabila setiap wanita menyadari bahwa jilbab mereupakan perintah agama, bukan hanya sekedar mode semata, -Insya Alloh kami yakin dia akan tegar menjalankan kewajiban ini, apapun resikonya.

Selanjutnya, perlu kita ketahui bersama, bahwa berdasarkan penelitian para ulama tentang masalah jilbab, mereka menerangkan bahwa jika seorang wanita keluar rumah atau bila bertemu dengan orang-orang yang bukan mahromnya, maka ia wajib memakai jilbab yang memenuhi persyaratan-persyaratan sebagai berikut:

  • Menutup seluruh tubuh, selain yang dikecualikan
  • Tidak untuk berhias
  • Kainnya harus tebal, tidak tipis
  • Kainnya harus longgar, tidak ketat
  • Tidak diberi wewangian atau parfum
  • Tidak menyerupai pakaian laki-laki
  • Tidak menyerupai pakaian orang-orang kafir
  • Bukan libas syuhrah (tidak untuk mencari popularitas)
Silakan lihat pembahasan selengkapnya dalam kitab Jilbab Wanita Muslimah Karya Muhammad Nashiruddin Al-Albani. Atau baca artikel berikut: Syarat-syarat Jilbab Wanita Muslimah.

Download Kitab Jilbab Wanita Muslimah
Karya Muhammad Nashiruddin Al-Albani (pdf)
DOWNLOAD


26 September 2012

Kau dan Aku adalah Sama


Kau belum tentu lebih baik dari aku
Aku belum tentu lebih baik dari kau

Pendapatku adalah benar
Namun, mungkin ada kesalahan
Pendapatmu adalah salah
Namun, mungkin ada kebenaran

Kau dan aku adalah sama
Tidak suci dari dosa dan khilaf

Ingatlah wasiat Imam Malik
"Siapapun perkatannya
bisa ditolak dan bisa diterima
kecuali hanya Nabi sendiri"

Saling mencela bukanlah akhlak terpuji
Saling mendoakan, itu yang dituntunkan
Semoga Allah senantiasa melimpahkan rahmat
Memberikan hidayah menuju jalan kebaikan
Dan memberikan ampunan kepada kita


*Sukoharjo, 8 September 2012

23 September 2012

Teladan Akhlak Para Ulama


Pada suatu malam, aku mendapatkan tulisan yang bagus dari salah satu website ikhwah. Segera saja aku download tulisan tersebut dan aku baca sampai selesai.

Tulisan itu berjudul “Dari Madinah Hingga ke RadioRodja: Mendulang Pelajaran Akhlak dari Syaikh Abdurrazaq Al-Badr.” Karya itu ditulis oleh Al-Ustadz Abu Muhsin Firandan Andirja yang merupakan salah satu murid Syaikh Abdurrazaq Al-Badr di Universitas Islam Madinah. Ustadz Abu Muhsin menceritakan pelajaran-pelajaran akhlak yang dapat diambil selama pergaulannya dengan Syaikh Abdurrazaq Al-Badr.

Syaikh Abdurrazaq Al-Badr mempunyai pengalaman yang sangat berkesan dengan gurunya, yaitu Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin. Syaikh Abdurrazaq Al-Badr pernah menjadi moderator saat Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin menyampaikan nasehat kepada para mahasiswa di Universitas Islam Madinah. Syaikh Abdurrazaq Al-Badr memulai moderasinya dengan kalimat, “Alhamdulillah, pada kesempatan yang berbahagia ini kita akan mendengarkan muhadharah yang akan disampaikan oleh Al-‘Alamah Muhammad bin Shalih….”

Tiba-tiba Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin menimpali dengan suara yang lantang, “Uskut!” (Diam!)

Syaikh Abdurrazaq tersentak mendengar kalimat Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin yang memintanya diam. Beberapa saat kemudian barulah beliau sadar bahwa Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin tidak ridha jika digelari dengan Al-‘Alamah (orang yang sangat alim).

Peristiwa itu sangat membekas di dalam hati Syaikh Abdurrazaq sehigga beliau sering mengulang-ulang cerita ini dengan mengatakan, “Lihatlah bagaimana Syaikh Muhammad bin Shalih al-’Utsaimin sama sekali tidak suka untuk digelari dengan gelar Al-’Allamah. Spontan beliau menegurku di hadapan begitu banyak mahasiswa, tanpa ragu-ragu dan tidak dibuat-buat.”

Menolak Penulisan Gelar
Syaikh Abdurrazaq Al-Badr merasa enggan mencantumkan gelarnya pada buku-buku karangannya. Dikisahkan bahwa Saat salah seorang ikhwan dari Indonesia meminta izin untuk menerjemahkan buku beliau yang berjudul Fikhul Ad’iyaa wal Adzkar (Fikh Doa dan Dzikir) ke dalam bahasa Indonesia, beliau mengizinkan dengan syarat: tatkala buku tersebut dicetak, nama beliau hanya ditulis ‘Abdurrozaq bin Abdulmuhsin Al-Badr’, tanpa embel-embel gelaran Profesor Doktor. Begitu pula buku-buku beliau yang dicetak di Arab Saudi maupun di Aljazair (Algeria), semua tanpa embel-embel gelar tersebut.

Semangat dalam Menuntut Ilmu dan Menyampaikan Ilmu
Syaikh Abdurrazaq Al-Badr mempunyai semangat yang tinggi dalam menuntut ilmu. Di dalam pesawat terbang pun beliau menyempatkan untuk membaca kitab dan menulis.

Syaikh Abdurrazaq Al-Badr mempunyai semangat yang tinggi dalam menyampaikan ilmu. Ustadz Abu Muhsin menyampaikan permintaan kepada beliau untuk mengisi kajian di RadioRodja. Ustadz Abu Muhsin mengisahkan:

“Syaikh, saya menyampaikan permintaan teman-teman di Radiorodja agar Syaikh mengisi kajian rutin, seminggu sekali.”

Dan, jawaban beliau sungguh-sungguh di luar dugaan saya (Abu Muhsin). Syaikh berkata: “Saya siap mengisi kajian setiap hari.”

Saya takjub sekaligus bingung mendengar jawaban tersebut, karena justru sayalah yang tidak siap. Saya pun menawarkan kepada beliau untuk mengisi kajian sepekan dua kali, dengan mempertimbangkan kesiapan dari berbagai teknisnya. Alhamdulillah, Syaikh setuju dengan usulan tersebut.

Tawadhu’
Syaikh Abdurrazaq Al-Badr menunjukkan sikap tawadhu yang patut kita teladani. Dalam salah satu kajian, Syaikh Abdurrazaq Al-Badr memaksa penerjemahnya yaitu Ustadz Abu Muhsin agar mau duduk di kursi yang bagus, sedangkan beliau memilih duduk di kursi yang jelek dan datar tanpa spon.

Syaikh Abdurrazaq Al-Badr bersikap lemah lembut kepada anak-anak orang tua. Beliau menyalami anak-anak, mengusap kepala mereka, dan memberikan hadiah kepada mereka. Terhadap orang tua, beliau merangkul mereka dengan sikap tawadhu dan sopan.

 
Sukoharjo, 8 September 2012


22 September 2012

Ketika Anda Ditimpa Musibah


http://fathurobbani.files.wordpress.com/2011/06/mecnun1965_ghadr.jpg



Ketika Anda tertimpa musibah, misalnya kendaraan Anda dicuri orang, maka cobalah melihat orang-orang yang berkeliaran di jalan dan tidur di bawah jembatan. Orang-orang tersebut tidak bermimpi mempunyai kendaraan yang bagus, tetapi mimpi mereka adalah esok hari bisa makan sesuap nasi. Sedangkan Anda masih punya tempat tinggal yang menaungi Anda dan makanan bergizi yang dapat menegakkan punggung Anda.

Jika Anda tertimpa musibah kecelakaan, tangan dan kaki Anda remuk dan wajah Anda rusak, cobalah melihat orang-orang yang dimakamkan dalam ruangan dua kali satu meter. Orang-orang tersebut tidak mempunyai waktu untuk merasa bersedih dan mengeluh karena mereka tidak memiliki waktu untuk itu. Bahkan mereka tidak memiliki waktu lagi untuk memperbanyak bekal dalam melalui perjalanan yang panjang dan berat menuju Tuhannya. Dan mereka sangat berharap seandainya mereka diberi kesempatan hidup dunia meskipun hanya beberapa menit saja. Sedangkan Anda masih mempunyai lisan yang bisa digunakan untuk berzikir, mata yang bisa melihat, telinga untuk mendengar. Anda masih diberi kesempatan oleh Tuhan untuk menambah dan meyiapkan bekal untuk hari setelah kematian.

Jika Anda tidak lulus dalam ujian studi pendidikan Anda, cobalah melihat orang-orang yang tidak mempunyai kesempatan untuk mengenyam pendidikan. Mereka lebih tersibukkan untuk berjuang hidup. Mereka akan senang hati jika mereka bisa ikut menikmati pendidikan. Sedangkan Anda diberi anugerah oleh Tuhan untuk menikmati pendidikan. Ketidaklulusan Anda adalah ujian dari Allah. Jangan sampai Anda mengeluh dan berburuk sangka kepada Tuhan. Dan jangan terlalu larut dalam kesedihan Anda. Bersabarlah dan berusahalah lebih baik untuk ke depannya.

Jika Anda dipecat dari pekerjaan Anda, ketahuilah bahwa jatah rezeki Anda tidak akan lari ke manapun. Rezeki Anda akan datang kepada Anda. Maka, berusahalah dan berdoalah kepada Tuhan Yang Maha Kaya. Sesungguhnya Anda tidak akan ditelantarkan. Burung saja pergi pagi hari dalam keadaan perut kosong dan kembali sore hari dalam keadaan kenyang. Itulah rezeki dari Tuhan yang dilimpahkan kepada makhluk-Nya.

Dari semua ujian yang menimpa seorang hamba, selayaknya ia tetap bersyukur kepada Allah atas nikmat iman dan Islam. Nikmat dinul Islam ini tidak dapat tergantikan oleh seluruh kenikmatan yang ada di dunia. Maka, bersyukurlah atas nikmat iman dan Islam. Itulah sebesar-besar nikmat dari Allah.

Umar bin Khaththab mengatakan dalam khutbahnya,
“Segala puji bagi Allah yang telah memuliakan kita dengan Islam, dan memuliakan kita dengan iman, serta mengasihi kita dengan mengutus nabi-Nya kepada kita yang menunjuki kita dari kesesatan, dan menyatukan kita dari perpecahan, melunakkan hati kita, menolong kita dari musuh-musuh kita, menempatkan kita dalam sebuah negeri, serta menjadikan kita bersaudara dan saling mencintai.” (Mawa’izu Ash-Shahabah)


JANGAN TANGISI SUSU YANG TELAH TUMPAH
Ada sebuah pepatah Jerman berbunyi, “Orang bahagia adalah orang yang mampu melupakan sesuatu yang tida ada jalan untuk mengubahnya.” Memang benar, tidak ada yang lebih indah dari sikap melupakan dan membuang jauh-jauh dari pikiran kita sesuatu yang telah terjadi dan telah selesai. Memang inilah cara menggapai kebahagiaan dan jalan menggapai ketabahan hati.

Brandoni pernah berkata, “Jangan tangisi susu yang telah tumpah.”

Menangisi terus-menerus sesuatu yang telah terjadi adalah sebuah kesia-siaan. Menghabiskan waktu dan tenaga serta malah menjadikan beban kesedihan semakin berat. Pepatah Indonesia berbunyi, “Nasi sudah menjadi bubur.” Sesuatu yang telah terjadi tidak dapat dikembalikan lagi, tidak dapat diulang lagi. Karena masa (waktu) berjalan maju, bukan berjalan mundur.

Dalam kitab La Tahzan, Aidh al-Qarni mengatakan, “Jangan pernah hidup dalam mimpi buruk masa lalu, atau di bawah payung gelap masa silam. Selamatkan diri Anda dari bayangan masa lalu! Apakah Anda ingin mengembalikan air sungai ke hulu, matahari ke tempatnya terbit, seorok bayi ke perut ibunya, air susu ke payudara sang ibu, dan air mata ke dalam kelopak mata? Ingatlah, keterikatan Anda dengan masa lalu, keresahan Anda atas apa yang telah terjadi padanya, keterbakaran emosi jiwa Anda oleh api panasnya, dan kedekatan jiwa Anda pada pintunya, adalah kondisi yang sangat naif, ironis, memprihatinkan, dan sekaligus menakutkan.” 


Ghibah: Petaka Lisan

Risalah ini aku sampaikan atas dasar rasa cinta kepada Anda. Rasa cinta yang telah Allah anugerahkan kepadaku dan kepada Anda, rasa cinta atas dasar keimanan dalam ikatan dinul Islam. Rasa cinta dalam persaudaraan muslim. Sesungguhnya kita termasuk orang-orang yang merugi bila kita tidak mau beramal shalih dan saling menasehati dalam menaati kebenaran dan menetapi kesabaran. Marilah kita senantiasa membiasakan diri untuk saling menasehati.

Ghibah, Petaka Lisan 
 Allah berfirman, yang terjemahannya,
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa, dan jangan kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” (Qs. Al-Hujurat: 12)

Abu Musa Al-Ash’ari meriwayatkan: Saya berkata, “Ya Rasulullah, manakah Muslim yang terbaik?” Beliau bersabda: “Barangsiapa yang orang-orang Muslim selamat dari lidah dan tangannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Saudaraku,
Ketika kita berbuat dosa dan kita menyadari perbuatan kita tersebut, maka akan lebih mudah bagi kita untuk bertaubat. Akan tetapi wahai saudaraku, apabila kita berbuat dosa sedangkan kita tidak menyadari bahwa kita telah melakukan sebuah dosa, maka akan sulit bagi kita untuk bertaubat. Bagaimana kita akan bertaubat sedangkan kita merasa tidak melakukan dosa.

Sering kita berbuat dosa tanpa sadar. Terutama perbuatan dosa yang diakibatkan oleh lisan kita. Rasulullah senantiasa mewanti-wanti agar kita menjaga lisan.

Dari Abu Hurairah, sesungguhnya Rasulullah pernah bersabda: “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka hendaklah ia berkata baik atau diam. Dan barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka hendaklah ia memuliakan tetangganya. Dan barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat hendaklah ia memuliakan tamunya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Imam Nawawi dalam kitabnya Al-Adzkar berkata, “Hadits ini, yang telah disepakati keshahihannya, adalah sebuah dalil yang jelas bahwa seseorang tidak boleh berbicara, kecuali pembicaraannya baik, dan bahwa pembicaraan tersebut mengandung hal yang bermanfaat. Maka jika seseorang ragu-ragu apakah suatu pembicaraan mengandung manfaat atau tidak, maka janganlah berbicara. 


Dalam Syarah Shahih Muslim, Imam Nawawi berkata, “hendaklah ia berkata baik atau diam, maksud dari kalimat ini adalah bahwa hendaklah seseorang baru memutuskan untuk berbicara ketika perkataan yang akan dia ucapkan itu benar-benar mengandung kebaikan dan bisa mendatangkan pahala, baik yang sifatnya wajib maupun sunnah. Namun apabila perkataan yang akan dia sampaikan itu tidak mengandung kebaikan dan tidak bisa mendatangkan pahala, maka hendaklah dia lebih memilih untuk menahan perkataannya tersebut, baik apakah dia mengetahui kalau perkataan tersebut hukumnya haram, makruh, atau mubah.”

Selanjutnya beliau berkata, “Ajaran syari’at telah menganjurkan seseorang untuk tidak banyak melontarkan perkataan yang sifatnya mubah agar dia tidak terjerumus kepada perkataan-perkataan yang sifatnya haram maupun makruh. Imam Asy-Syafi’i telah memeras intisari dari redaksi hadits Rasulullah tersebut, sehingga beliau pun berkata, ‘Jika seseorang hendak berbicara, maka hendaklah dipikirkan terlebih dahulu. Jika dipertimbangkan perkataannya tidak menyebabkan kemadharatan, maka boleh dia ucapkan. Akan tetapi jika bisa mengakibatkan madharat atau dia ragu apakah akan menimbulkan madharat atau tidak, maka lebih baik dia menahan ucapannya.’”

Al-Qur’an surat Al-Hujurat ayat 12 di atas seharusnya sudah menjadi peringatan bagi kita agar kita berhati-hati berkaitan dengan lisan kita. Sering kita menceritakan kejelekan orang lain. Kita tidak sadar bahwa kita sudah melakukan ghibah. Sedangkan ghibah termasuk dosa besar. 

Apakah Ghibah Itu?
Imam Nawawi menjelaskan: “Ghibah adalah ketika engkau menyebutkan sesuatu tentang seseorang yang dia benci, apakah itu tentang tubuhnya, agamanya, kehidupan dunianya, dirinya, penampilan fisiknya, karakternya, kekayaannya, anaknya, ayahnya, istrinya, pembantunya, budaknya, sorbannya, pakaiannya, caranya berjalan, senyumnya, kegeramannya, kernyitannya, kegembiraannya, atau hal-hal lain yang berhubungan dengan di atas. Demikian juga, sama saja apakah engkau menyebutkan sesuatu mengenainya dengan kata-kata, tulisan, atau menunjukkannya dengan isyarat mata, tangan atau kepala.”

Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah suatu kali berkata (kepada para sahabatnya): “Tahukah kamu apakah ghibah itu?” Sahabat menjawab: “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.” Beliau bersabda: “Kamu menyebut-nyebut saudaramu dengan sesuatu yang dia benci.” Beliau ditanya: “Bagaimana kalau memang saudaraku melakukan apa yang kukatakan?” Beliau menjawab: “Kalau memang dia melakukan seperti apa yang kamu katakan berarti kamu telah menghibahinya. Sebaliknya jika dia tidak melakukan apa yang kamu katakan, maka kamu telah memfitnahnya.” (HR. Muslim)

Jadi, ketika engkau menceritakan keburukan orang lain, maka engkau telah melakukan ghibah, meskipun yang engkau ceritakan itu benar. Jika yang engkau ceritakan itu tidak benar, maka engkau telah melakukan fitnah. Orang yang memiliki keburukan –keburukan lahir maupun batin– kita tidak berhak untuk mencelanya.

Beberapa orang yang sering menjadi pembicaraan terkait kejelekannya adalah: para ulama, para pemimpin, para pelaku maksiat, sahabat, tetangga, bahkan hampir semua orang bisa menjadi sasaran ghibah.

Seorang ulama yang diakui keilmuannya dan ketaqwaannya pun tidak luput dari kesalahan karena ia tidak maksum. Maka menjelek-jelekkan ulama adalah perbuatan orang-orang bodoh yang tidak takut kepada Allah. Ibnu Asakir mengatakan bahwa daging para ulama itu beracun. Maka, janganlah engkau memakannya. Janganlah engkau jatuhkan kehormatan ulama.

Seorang pemimpin adalah orang yang mempunyai beban amanah yang berat yang tidak semua orang mampu memikulnya. Maka wajar jika ada beberapa amanah yang dipandang orang lain tidak dapat dikerjakan oleh seorang pemimpin. Maka, janganlah kita mengungkit-ungkit kelemahannya. Para ulama salaf senantiasa menjauhi para pemimpin. Jika para ulama ingin menasehati pemimpin, maka mereka akan menasehatinya ketika pemimpin tersebut dalam keadaan sendiri.

Saudaraku,
Para pelaku maksiat yang perbuatannya tercela di hadapan Allah juga tidak sepantasnya kita menjelek-jelekkannya. Kita mestinya merasa kasihan kepada para pelaku maksiat tersebut. Kita dekati, kita nasehati, dan semoga Allah memberinya hidayah. Seorang ulama salaf ahli nasehat yang terkenal, Yahya bin Mu’adz Ar-Razi mengatakan: “Orang bodoh melihat dosa sebagai kesalahan. Oleh karena itu, ia memandang pelakunya dengan sikap kasar. Adapun orang arif mengenal kedudukan dosa itu dari yang bersangkutan. Oleh karena itu, ia memandangnya dengan sikap kasihan kepadanya.”

Wahai Saudaraku, Jagalah Lisanmu!
Mu’adz bin Jabal meriwayatkan: Aku berkata: “Ya Rasulullah, beritahukanlah kepadaku suatu amal yang dapat memasukkan aku ke dalam surga dan menjauhkan aku dari neraka". Beliau bersabda: "Engkau telah bertanya tentang perkara yang besar, dan sesungguhnya itu adalah mudah bagi orang yang dimudahkan oleh Allah ta'ala. Engkau menyembah Allah dan jangan menyekutukan sesuatu dengan-Nya, mengerjakan shalat mengeluarkan zakat, berpuasa pada bulan Ramadhan, dan mengerjakan haji ke Baitullah".

Kemudian beliau bersabda : "Inginkah kuberi petunjuk kepadamu pintu-pintu kebaikan? Puasa itu adalah perisai, shadaqah itu menghapuskan kesalahan sebagaimana air memadamkan api, dan shalat seseorang di tengah malam". Kemudian beliau membaca ayat:
Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya dan mereka selalu berdo'a kepada Rabbnya dengan penuh rasa takut dan harap, serta mereka menafkahkan apa apa rezki yang Kami berikan.” (QS As-Sajdah [32] : 16)

Kemudian beliau bersabda: "Maukah bila aku beritahukan kepadamu pokok amal tiang-tiangnya dan puncak-puncaknya?" Aku menjawab : "Ya, wahai Rasulullah". Rasulullah r bersabda : "Pokok amal adalah Islam, tiangtiangnya adalah shalat, dan puncaknya adalah jihad". Kemudian beliau bersabda : "Maukah kuberitahukan kepadamu tentang kunci semua perkara itu?" Jawabku : "Ya, wahai Rasulullah". Maka beliau memegang lidahnya dan bersabda : "Jagalah ini". 

Aku bertanya : "Wahai Rasulullah, apakah kami dituntut (disiksa) karena apa yang kami katakan?" Maka beliau bersabda : "Semoga engkau selamat. Adakah yang menjadikan orang menyungkurkan mukanya (atau ada yang meriwayatkan batang hidungnya) di dalam neraka, selain ucapan lidah mereka?" (HR. At-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad – shahih)

Meninggalkan perkataan yang tidak berguna adalah salah satu tanda kebaikan islam seseorang. Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Nabi bersabda: “Di antara kebaikan Islam seseorang adalah meninggalkan apa-apa yang tidak berguna baginya.” (HR. Malik, At-Tirmidzi, dan Ibnu Majah – shahih)


Suatu saat Umar mendatangi Abu Bakar, sedang Abu Bakar memegang lisannya. Lalu Umar berkata, “Mudah-mudahan Allah mengampunimu.” Abu Bakar menimpali, “Inilah yang memasukkanku ke dalam neraka.”
Abu Bakar juga pernah berkata “Sesungguhnya cobaan (musibah) itu berawal dari ucapan.” (Mawa'izu Ash-Shahabah)

Anas bin Malik pernah berkata:
 “Seorang hamba itu belum dikatakan bertaqwa kepada Allah hingga ia menjaga lisannya.”
“Janganlah berbicara yang tidak berguna, dan jangan berdebat dengan orang biasa maupun orang bijak. Dan panggillah saudaramu dengan panggilan yang engkau suka jika dipanggil dengan panggilan itu.”
“Ada lima hal yang lebih aku sukai daripada kuda perang yang diwakafkan untuk jihad di medan perang:
  1. Jangan bicara yang tidak ada gunanya, karena ia adalah kelebihan yang tidak mempunyai jaminan selamat dari dosanya. Dan jangan bicara sesuatu yang dianggap perlu hingga engkau dapat tempat yang cocok untuk mengutarakannya. Sesungguhnya sudah berapa banyak orang yang berbicara tentang sesuatu yang penting baginya, tapi tidak menempatkannya pada tempatnya, sehingga ia jadi susah.
  2. Dan janganlah berdebat dengan orang yang bijak maupun orang yang tidak bijak, karena orang bijak itu tidak akan membencimu, sedang orang yang tidak bijak akan menyakitimu.
  3. Sebutlah saudaramu saat ia tidak ada didekatmu dengan sebutan yang engkau suka disebut dengannya. Dan maafkanlah saudaramu dalam suatu hal yang yang engkau suka jika dimaafkan olehnya. 
  4. Pergaulilah saudaramu dengan sikap yang engkau suka jika ia bersikap seperti itu padamu. 
  5. Dan beramallah dengan amalan orang yang tahu bahwa dirinya akan mendapatkan pahala jika berbuat baik dan akan dihukum jika berbuat dosa.”

Menghindari Ghibah
Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat lagi pencela,” (Qs. Al-Humazah: 1)

Sesungguhnya orang yang mengghibah dan orang yang mendengarkannya sama-sama berdosa. Imam Nawawi mengatakan: “Ketahuilah bahwa wajib bagi orang yang mendengar seorang Muslim dighibahi untuk menentangnya dan menghalangi orang tersebut mengghibah. Jika dia tidak dapat mencegah dengan perkataannya, maka dia harus menghentikan dengan tangannya. Jika dia juga tidak dapat melakukannya dengan tangannya atau lidahnya, maka dia harus bangkit dan meninggalkan majelis itu. Dan jika dia mendengar gurunya dighibahi –atau orang lain yang memiliki hak atasnya, atau orang yang dighibahi adalah seorang di antara orang-orang shalih dan mulia, maka perhatiannya dengan apa yang telah kami sebutkan seharusnya lebih besar.”


Dalam Syarah Shahih Muslim, Imam Nawawi meriwayatkan dari Abul Qasim Al-Qusyairi, dia berkata, “Diam merupakan pangkal keselamatan. Selain itu, diam itu sendiri merupakan sifat tokoh besar, sebagaimana ucapan yang rasional merupakan sesuatu yang paling mulia.”
Dari Dzun Nun, ia berkata, “Orang yang paling menjaga dirinya adalah orang yang paling mampu menahan lisannya.”

Ghibah yang Diperbolehkan
Ketahuilah, meskipun ghibah haram, ia diperbolehkan dalam kondisi tertentu manakala dilakukan untuk alasan yang bermanfaat. Kebolehan melakukan ghibah harus berdasarkan alasan yang benar dan syar’i yang tanpanya pembolehan tersebut tidak diberikan. Imam Nawawi dalam Al-Adzkar menyebutkan pembolehan ghibah dapat diberikan untuk enam alasan berikut:

1. Kedzaliman. Diperbolehkan bagi orang yang dizalimi untuk mengadukan persoalannya kepada penguasa atau hakim atau siapapun yang memegang kekuasaan atau memiliki kemampuan untuk memberikan keadilan terhadap orang yang menekannya.

2. Meminta pertolongan dalam mengubah kemungkaran dan mengembalikan pelaku maksiat kepada kebenaran.
Seseorang harus berkata kepada orang yang dianggap mempunyai kemampuan untuk menghentikan kejahatan. Tujuannya adalah untuk mencari jalan mengakhiri kejahatan. Jika dia tidak meniatkan hal itu sebagai tujuannya, maka haram baginya (menyebutkannya).

3. Mencari fatwa. Seseorang melakukannya dengan berkata kepada mufti (ulama yang memiliki kemampuan mengeluarkan fatwa).

4. Memperingatkan dan menasihati kaum muslimin terhadap kejahatan. Ada beberapa pandangan mengenai hal ini, salah satunya adalah: Menyatakan seseorang tidak terpercaya dalam bidang periwayatan hadits dan memberikan persaksian. Kasus lain adalah ketika seseorang berkeinginan untuk menjalin hubungan dengan orang lain, apakah melalui perkawinan, bisnis, konsinyasi (jual titip) properti, penitipan sesuatu kepadanya atau hal-hal lain dalam kehidupan sehari-hari. Wajib bagimu untuk menyebutkan kepada orang tersebut apa yang engkau ketahui mengenai orang yang hendak dijalin hubungan dengannya, dengan maksud untuk menasihatinya. Contoh lainnya, penuntut ilmu pergi kepada seorang ahlul bid’ah atau orang yang sesat, untuk menimba ilmu darinya, dan engkau takut hal itu akan mempengaruhi pelajar tersebut. Dalam kondisi itu, engkau boleh menyampaikan keadaan ahlul bid’ah tersebut, dengan syarat bahwa tujuannya hanya sebagai nasihat.

5. Ketika seseorang secara terang-terangan menunjukkan kejahatan dan kebid’ahannya. Contohnya ketika seseorang secara terang-terangan meminum khamr, atau menyita uang orang lain secara tidak sah dan menaikkan pajak dengan tidak adil atau merebut kekuasaan secara dzalim. Maka diperbolehkan untuk membicarakan apa yang ditampakkan orang tersebut. Tetapi haram menyebutkan kelemahannya yang lain, kecuali termasuk kedalam salah satu kategori yang telah kita sebutkan dimana ghibah diperbolehkan.

6. Untuk mengenali (mengidentifikasi) seseorang. Jika seseorang dikenal manusia dengan nama panggilannya, seperti “orang bermata bilis”, “si pincang”, “si tuli”, “si buta”, “si mata juling”, “si hidung pesek”, dan selainnya, maka diperbolehkan untuk mengkhususkan dirinya seperti itu, dengan maksud untuk menggambarkan dirinya. Namun demikian, haram melakukan hal tersebut kepadanya, ketika niat seseorang adalah untuk menjatuhkannya. Jika dia dapat digambarkan dengan nama lain (yang lebih sesuai), maka hal itu lebih disukai. 



Referensi:
Imam Nawawi. Al-Adzkar
Imam Nawawi. Syarah Shahih Muslim
Shalih Ahmad Asy-Syami. Mawa'izhu Ash-Shahabah


14 September 2012

Download Kitab Aqidah Thahawiyah Syarah wa Ta'liq Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani

Download kitab Aqidah Thahawiyah Syarah wa Ta'liq Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani

Matan Al-Aqidah ath-Thahawiyah ditulis oleh Imam Abu Ja'far ath-Thahawiyah rahimahullah, yang lahir th. 239 H dan wafat th. 321 H, seorang ulama Islam yang teguh di atas Manhaj Ahlus Sunnah, as-Salaf ash-Shalih.

Beliau dikenal sebagai salah seorang yang bermadzhab Hanafi dalam fikih, tetapi salah seorang di antara guru beliau yang paling berpengaruh pada diri beliau adalah Imam al-Muzani yang bermadzhab Syafi'i bahkan murid besar dari Imam asy-Syafi'i rahimahullah.

Ini menunjukkan bahwa Imam ath-Thahawi adalah seorang ulama yang merdeka dari belenggu panatisme madzhab yang tercela. Ini dari satu sisi, dan sisi yang lain, ini menunjukkan bahwa sekalipun dalam satuan-satuan masalah fikih di antara para ulama terjadi beda pendapat, tetapi dalam pokok-pokok agama, ushuluddin, akidah, mereka adalah satu.

Salah satu bukti paling autentik dari dalamnya ilmu seorang ulama adalah karya tulisnya, tak terkecuali Imam ath-Thahawi, di mana beliau telah membuktikannya dengan meninggalkan banyak karya tulis. Sebagian di antaranya bahkan termasuk rujukan wajib bagi para akademisi dan peneliti, seperti: Syarh Ma'ani al-Atsar, Syarh Musykil al-Atsar, dan matan buku ini.

Buku ini adalah terjemahan dari kitab Al-Aqidah Ath-Thahawiyah Syarah wa Ta'liq Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani. Buku ini membahas aqidah ahlussunnah wal jama'ah dan dasar-dasar agama yang menjadi pegangan kaum muslimin dalam melakukan ketataan kepada Allah.
 
Download kitab Aqidah Thahawiyah Syarah wa Ta'liq
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani
DOWNLOAD

4 September 2012

Penggunaan Alat Pencegah atau Perangsang haid, Pencegah Kehamilan




1. Pencegah Haid
Diperbolehkan bagi wanita menggunakan alat pencegah haid, tapi dengan dua syarat:

a. Tidak dikhawatirkan membahayakan dirinya. 
Bila dikhawatirkan membahayakan dirinya karena menggunakan alat tersebut, maka hukumnya tidak boleh. Berdasarkan firman Allah Ta 'ala:
"Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan,...” (Al-Baqarah : 195).
"Dan janganlah kamu membunuh dirimu sesungguhnya Allah adalah Maha penyayang kepadamu." (An Nisa': 29).

b. Dengan seizin suami, apabila penggunaan alat tersebut mempunyai kaitan denganya.
Contohnya, si isteri dalam keadaan beriddah dari suami yang masih berkewajiban memberi makan kepadanya, menggunakan alat pencegah haid supaya lebih lama masa iddahnya dan bertambah nafkah yang diberikannya. Hukumya, tidak boleh bagi si isteri menggunakan alat pencegah haid saat itu kecuali dengan izin suami.

Demikian pula jika terbukti bahwa pencegahan haid dapat mencegah kehamilan,maka harus dengan seizin suami. Meski secara hukum boleh, namun lebih utama tidak menggunakan alat pencegah haid kecuali jika dianggap perlu. Karena membiarkan sesuatu secara alami akan lebih menjamin terpeliharanya kesehatan dan keselamatan.

2. Perangsang Haid
Diperbolehkan juga penggunaan alat perangsang haid, dengan dua syarat:
a. Tidak menggunakan alat tersebut dengan tujuan menghindarkan diri dari suatu kewajiban. 
Misalnya, seorangwanita menggunakan alat perangsang haid pada saat menjelang Ramadhan dengan tujuan agar tidak berpuasa, atau tidak shalat, dan tujuan negatif lainnya.

b. Dengan seizin suami karena terjadinya haid akan mengurangi kenikmatan hubungan suami isteri. 
Maka tidak boleh bagi si isteri menggunakan alat yang dapat menghalangi hak sang suami kecuali dengan restunya. Dan jika si isteri dalam keadaan talak, maka tindakan tersebut akan mempercepat gugurya hak rujuk bagi sang suami jika ia masih boleh rujuk

3. Pencegah Kehamilan
Ada dua macam penggunaan alat pencegah kehamilan:

a. Penggunaan alat yang dapat mencegah kehamilan untuk selamanya.
Ini tidak boleh hukumnya, sebab dapat menghentikan kehamilan yang mengakibatkan berkurangnya j~rmlah ketunaan Dan hal ini bertentangan dengan anjuran Nabi shallallahu alaihi wasalam agar memperbanyak jumlah umat Islam, selain itu bisa saja anak-anaknya yang ada semuanya meninggal dunia sehingga ia pun hidup menjanda seorang diri tanpa anak.

b. Penggunaan alat yang dapat mencegah kehamilan sementara.
Contohnya, seorang wanita yang sering hamil dan hal itu terasa berat baginya, sehingga ia ingin mengatur jarak kehamilannya menjadi dua tahun sekali. Maka penggunaan alat ini diperbolehkan dengan syarat: seizin suami, dan alat tersebut tidak membahayakan dirinya Dalilnya, bahwa para sahabat pernah melakukan 'azl terhadap isteri mereka pada zaman Nabi shallallahu alaihi wasalam untuk menghindari kehamilan dan Nabi shallallahu alaihi wasalam tidak melarangnya. 'Azl yaitu tindakan - pada saat bersenggama - dengan menumpahkan sperma diluar farji (vagina) si isteri.


4. Penggugur Kandungan
Adapun penggunaan alat penggugur kandungan, ada dua macam:

a. Penggunaan alat penggugur kandungan yang bertujuan membinasakan janin.
Jika janin sudah mendapatkan ruh, maka tindakan ini tak syak lagi adalah haram, karena termasuk membunuh jiwayang dihormati tanpa dasar yang benar. Membunuh jiwa yang dihormati haram hukumnya menurut Al Qur'an, Sunnah dan ijma' kaum Muslimin.

Namun, jika janin belum mendapatkan ruh, maka para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini. Sebagian ulama membolehkan, sebagian lagi melarang. Ada pula yang mengatakan boleh sebelum berbentuk darah, artinya sebelum benrmur 40 hari. Ada pula yang membolehkan jika janin belum berbentuk manusia.

Pendapat yang lebih hati-hati adalah tidak boleh melakukan tindakan menggugurkan kandungan, kecuali jika ada kepentingan Misalnya, seorang ibu dalam keadaan sakit dan tidak mampu lagi mempertahankan kehamilannya, dan sebagainya. Dalam kondisi seperti ini, ia boleh menggugurkan kandungannya, kecuali jika janin tersebut diperkirakan telah berbentuk manusia maka tidak boleh.
Wallallahu A 'lam.

b. Penggunaan alat penggugur kandungan yang tidak bertujuan membinasakan janin. Misalnya, sebagai upaya mempercepat proses kelahiran pada wanita hamil yang sudah habis masa kehamilannya dan sudah waktunya melahirkan. Maka hal ini boleh hukumnya, dengan syarat: tidak membahayakan bagi si ibu maupun anaknya dan tidak memerlukan operasi. Kalaupun memerlukan operasi, maka dalam masalah ini ada empat hal:
1. Jika ibu dan bayi yang dikandungnya dalam keadaan hidup, maka tidak boleh dilakukan operasi kecuali dalam keadaan darurat, seperti: sulit bagi si ibu untuk melahirkan sehingga perlu dioperasi. Hal itu demikian, karena tubuh adalah amanat Allah yang dititipkan kepada manusia, maka dia tidak boleh memperlakukannya dengan cara yang mengkhawatirkan kecuali untuk maslahat yang amat besar. Selain itu dikiranya bahwa mungkin tidak berbahaya operasi ini, tapi temyata membawa bahaya.

2. Jika ibu dan bayi yang dikandungnya dalam keadaan meninggal, maka tidak boleh dilakukan operasi untuk mengeluarkan bayinya. Sebab, hal ini tindakan sia-sia.

3. Jika si ibu hidup, sedangkan bayi yang dikandungnya meninggal. Maka boleh dilakukan operasi untuk mengluarkan bayinya, kecuali jika dikhawatirkan membahayakan si ibu. Sebab, menurut pengalaman- Wallallahu a'lam - bayi yang meninggal dalam kandungan hampir tidak dapat dikeluarkan kecuali dengan operasi. Kalapun dibiarkan terus dalam kandungan, dapat mencegah kehamilan si ibu pada masa mendatang dan merepotkannya pula, selain itu si ibu akan tetap hidup tak bersuami jika ia dalamkeadaan menunggu iddah dari suami
sebelumnya.

4. Jika si ibu meninggal, sedangkan bayi yang dikandungnya hidup. Dalam kondisi ini, jika bayi yang dikandung diperkirakan tak ada harapan untuk hidup, maka tidak boleh dilakukan operasi. Namun, jika ada harapan untuk hidup, seperti sebagian tubuhnya sudah keluar, maka boleh dilakukan pembedahan terhadap perut ibunya untuk mengeluarkan bayi tersebut.

Tetapi,jika sebagian tubuh bayi belum ada yang keluar,maka ada yang berpendapat bahwa tidak boleh melakukan pembedahan terhadap perut ibu untuk mengeluarkan bayi yang dikandungnya,karena hal itu merupakan tindakan penyiksaan.

Yang benar, boleh dilakukan pembedahan terhadap perut si ibu untuk mengeluarkan bayinya jika tidak ada cara lain. Dan pendapat inilah yang menjadi pilihan Ibnu Hubairah. Dikatakan dalam kitab Al Inshaf, "Pendapat ini yang lebih utama".

Apalagi pada zaman sekarang ini,operasi bukanlah merupakan tindakan penyiksaan Karena, setelah perut dibedah, ia dijahit kembali. Dan kehormatan orang yang masih hidup lebih besar daripada orang yang sudah meninggal. Juga menyelamatkan jiwa orang yang terpelihara dari kehancuran adalah wajib hukumnya dan bayi yang dikandung adalah manusia yang terpelihara, maka wajib menyelamatkannya.
Wallahu a'lam.

Perhatian:
Dalam hal diperbolehkannya menggunakan alat penggugur kandungan sebagaimana di atas (untuk mempercepat proses kelahiran), harus ada izin dari pihak pemilik kandungan, yaitu suami.


PENUTUP
Sampai di sinilah apa yang ingin kami tulis dalam judul segala cabang dan bagian masalah serta apa yang terjadi pada wanita dalam permasalahan ini bagai samudera tak bertepi. Namun, orang yang mengerti tentu dapat mengembalikan cabang dan bagian permasalahan kepada pokok dan kaidah umumnya serta dapat mengkiaskan segala sesuatu dengan yang semisalnya.

Perlu diketahui oleh mufti (pemberi fatwa), bahwa dirinya adalah penghubung antara Allah dan para hamba-Nya dalam menyampaikan ajaran yang dibawa RasuI-Nya dan menjelaskannya kepada mereka. Dia akan ditanya tentang kandungan Al Qur'an dan Sunnah, yang keduanya merupakan sumber hukum yang diperintahkan untuk dipahami dan diamalkan. Setiap yang bertentangan dengan Al Qur'an dan Sunnah adalah salah, dan wajib ditolak siapapun orang yang mengucapkannya serta tidak boleh diamalkan, sekalipun orang yang mengatakannya mungkin dimaafkan karena berijtihad dan mendapat pahala atas ijtihadnya, tetapi orang lain yang mengetahui kesalahannya tidak boleh menerima ucapannya.

Seorang mufti wajib memurnikan niatnya, semata-mata karena Allah Ta'ala, selalu memohon ma'unah-Nya dalam segala kondisi yang dihadapi, meminta ke hadirat-Nya ketetapan hati dan petunjuk kepada kebenaran. Al-Qur'an dan Sunnah wajib menjadi pusat perhatiannya. Dia mengamati dan meneliti keduanya atau menggunakan pendapat para ulama untuk memahami keduanya.

Sering terjadi suatu permasalahan, ketika jawabannya dicari pada pendapat para ulama tak didapati ketenangan atau kepuasan dalam keputusan hukumnya, bahkan mungkin tidak diketemukan jawabannya sama sekali. Akan tetapi setelah kembali kepada Al-Qur'an dan Sunnah tampak baginya hukum permasalahan itu dengan mudah dan gamblang.Hal itu sesuai dengan keikhlasan, keilmuan dan pemahamannya.

Wajib bagi mufti bersikap hati-hati dan tidak tergesa-gesa dalam memutuskan hukum manakala mendapatkan sesuatu yang rumit. Betapa banyak hukum yang diputuskan secara tergesa-gesa, kemudian setelah diteliti ternyata salah. Akhirnya hanya bisa menyesali dan mungkin fatwa yang terlanjur disampaikan tidak bisa diluruskan.

Seorang mufti jika diketahui bersikap hati-hati dan teliti, ucapanmya akan dipercaya dan diperhatikan. Tetapi jika dikenal ceroboh yang seringkali membuat kekeliruan, niscaya fatwanya tidak akan dipercaya orang. Maka dengan kecerobohan dan kekeliruannya dia telah menjauhkan dirinya dan orang lain dari ilmu dan kebenaran yang diperolehnya.


Semoga Allah Ta'ala menunjukkan kita dan kaum Muslimin kepada jalan-Nya yang lurus, melimpahkan inayah-Nya dan menjaga kita dengan bimbingan-Nya dari kesalahan. Sungguh, Dia Maha Pemurah lagi Maha Mulia. Salawat dan salam semoga tetap dilimpahkan Allah kepada Nabi kita Muhammad, juga kepada keluarga dan para sahabatnya. Puji bagi Allah, dengan nikmat-Nya tercapailah segala kebaikan.


Dikutip dari:


PROMO BUKU

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More