MUSLIMAH

Menuju Insan yang Shalihah

This is default featured post 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

MUTIARA DAKWAH

This is default featured post 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

29 Maret 2013

Download Kitab Aqidah Washitiyah Karya Ibnu Taimiyah dengan Syarah Said bin Ali Al-Qahthani


Muqaddimah dari Said bin Ali Al-Qahthani

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam yang lengkap dan sempurna semoga dilimpahkan kepada Nabi dan Rasul paling mulia, Nabi dan Imam kita, Muhammad bin Abdullah, juga kepada segenap keluarga, shahabatnya, dan siapa saja yang mengikuti jejak mereka dengan baik, hingga Hari Kiamat. Amma ba'du.

Kitab "Al-Aqidah Al Wasithiyah" tulisan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah adalah Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah. Adapun latar belakang penulisan, dan penamaannya dengan Al Wasithiyah, ialah: bahwa seorang Qadhi dari negeri Wasith yang sedang melaksanakan haji datang kepada Syaikhul Islam dan memohon beliau untuk menulis tentang Aqidah Salafiyah yang beliau yakini. Maka, beliau menulisnya dalam tempo sekali jalsah (sekali duduk), seusai shalat 'Ashar.

Ini merupakan bukti nyata bahwa beliau memiliki ilmu yang luas dan dikaruniai oleh Allah kecerdasan dan keluasan ilmu yang mengagumkan. Dan itu tidak aneh, karena karunia Allah itu diberikan dan diharamkan bagi siapa saja yang Dia kehendaki. Kepada Allah Yang Maha Tinggi dan Agung, kita memohon akan keutamaan dan kemuliaan-Nya.

Ketika saya mengetahui betapa pentingnya kandungan Kitab "Al-'Aqidah Al-Wasithiyah" tersebut, saya berkeinginan untuk membuat syarah -penjelasan- ringkas tentang kitab Aqidah ini. Saya memohon kepada Allah agar hal itu saya laksanakan semata-mata untuk mencari ridha-Nya. Tidak diragukan lagi bahwa banyak ulama telah melakukan upaya yang besar untuk menjaga, mengajarkan, mengulas, dan mensyarah, terhadap kitab "Al-.'Aqidah Al-Wasithiyah" ini dan di antara yang aku ketahui dari syarah-syarah tersebut antara lain : "Ar-Raudhah An-Nadiyyah, Syarh Al-'Aqidah Al-Wasithiyah" tulisan Syaikh Zaid bin Fayadh, "Al-Kawasyif Al-Jaliyyah 'An- Ma'ani Al-Aqidah Al-Wasithiyah" tulisan Syaikh Abdul Aziz bin Muhammad1, "Syarh Al-'Aqidah Al-Wasithiyah" tulisan Muhammad Khalil Al-Haras, dan "At-Ta'liqat Al-Mufidah 'ala Al-''Aqidah Al-Wasithiyah" tulisan Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Asy-Syarif.

Beberapa syarah tersebut cukup baik dan berhasil menjelaskan makna-makna aqidah tersebut. Adapun dalam syarah ringkas yang saya susun ini, saya melakukan hal-hal sebagai berikut:

Saya mentakhrij hadist-hadits Rasulullah dan menisbahkannya, kadang-kadang kepada sumber aslinya, tapi kadang-kadang cukup saya tunjukkan sumber aslinya tanpa teks. Saya juga menisbahkan ayat-ayat kepada surah dan nomornya, selain saya juga memberikan judul yang sesuai untuk setiap tema, misalnya : "Definisi Al-Firqah An-Najiyah:, "Madzhab Ahlus Sunnah wal Jama'ah tentang Sifat-sifat Allah", "Rukun Iman menurut Firqah Najiyah", Metode Ahlus Sunnah wal Jama'ah dalam Menafikan dan Menetapkan Asma' dan Sifat-sifat Allah", "Madzhab Mereka dan Ayat-ayat serta hadits-hadits tentang Asma' dan Sifat-sifat Allah".

Kemudian saya membuat judul sendiri untuk masing-masing sifat, tapi kadang-kadang saya gabungkan beberapa sifat dalam satu judul. Ini tidak saya maksudkan untuk membatasi, melainkan untuk menyebutkan sifat-sifat yang telah disebutkan oleh penulis. Penulis juga menyebutkan banyak ayat dan hadits, akan tetapi saya hanya menyebutkan satu dalil untuk setiap sifat, dari ayat atau hadits, sementara yang lain saya hapuskan untuk meringkaskan syarah ini.

Kemudian saya menyebutkan "Sikap pertengahan Ahlus Sunnah dalam masalah sifat Allah" di antara golongan-golongan lain yang ada. Sikap pertengahan mereka dalam masalah perbuatan manusia, Sikap pertengahan mereka dalam masalah ancaman Allah", Sikap pertengahan mereka mengenai nama-nama Iman dan Dien", "Sikap pertengahan mereka mengenai shahabat-shahabat Rasulullah, "Iman kepada Hari Akhir dan hal-hal yang berkaitan dengannya", "Takdir dengan keempat tingkatannya", "Madzhab Ahlus Sunnah wal Jama'ah tentang Iman dan Dien, Shahabat Rasulullah, dan Karamah para wali", serta "Akhlak mulia Ahlus Sunnah wal Jama'ah".

Semoga Allah memberikan taufik kepada saya dalam melaksanakan apa yang dicintai dan diridhai-Nya. Shalawat, salam, dan barakah, semoga dilimpahkan Allah kepada hamba dan Rasul-Nya, Muhammad, juga kepada segenap keluarga dan shahabatnya.


Download Kitab Aqidah Washitiyah Karya Ibnu Taimiyah
dengan Syarah Said bin Ali Al-Qahthani (chm)
DOWNLOAD


20 Maret 2013

Teladan Akhlak Syaikh Abdurrazaq Al-Badr



Ada banyak pelajaran akhlak yang dapat kita petik dari kehidupan Syaikh Abdurrazaq Al-Badr sebagaimana ditulis oleh Ustadz Firanda dengan judul “Dari Madinah Hingga ke RadioRodja: Mendulang Pelajaran Akhlak dari Syaikh Abdurrazaq Al-Badr.”

Ustadz Abu Muhsin Firanda Andirja merupakan salah satu murid Syaikh Abdurrazaq Al-Badr di Universitas Islam Madinah. Ustadz Firanda menceritakan pelajaran-pelajaran akhlak yang dapat diambil selama pergaulannya dengan Syaikh Abdurrazaq Al-Badr.

Syaikh Abdurrazaq Al-Badr mempunyai pengalaman yang sangat berkesan dengan gurunya, yaitu Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin. Syaikh Abdurrazaq Al-Badr pernah menjadi moderator saat Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin menyampaikan nasehat kepada para mahasiswa di Universitas Islam Madinah. Syaikh Abdurrazaq Al-Badr memulai moderasinya dengan kalimat, “Alhamdulillah, pada kesempatan yang berbahagia ini kita akan mendengarkan muhadharah yang akan disampaikan oleh Al-‘Alamah Muhammad bin Shalih….”

Tiba-tiba Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin menimpali dengan suara yang lantang, “Uskut!” (Diam!)

Syaikh Abdurrazaq tersentak mendengar kalimat Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin yang memintanya diam. Beberapa saat kemudian barulah beliau sadar bahwa Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin tidak ridha jika digelari dengan Al-‘Alamah (orang yang sangat alim).

Peristiwa itu sangat membekas di dalam hati Syaikh Abdurrazaq sehigga beliau sering mengulang-ulang cerita ini dengan mengatakan, “Lihatlah bagaimana Syaikh Muhammad bin Shalih al-’Utsaimin sama sekali tidak suka untuk digelari dengan gelar Al-’Allamah. Spontan beliau menegurku di hadapan begitu banyak mahasiswa, tanpa ragu-ragu dan tidak dibuat-buat.”

Menolak Penulisan Gelar
Syaikh Abdurrazaq Al-Badr merasa enggan mencantumkan gelarnya pada buku-buku karangannya. Dikisahkan bahwa Saat salah seorang ikhwan dari Indonesia meminta izin untuk menerjemahkan buku beliau yang berjudul Fikhul Ad’iyaa wal Adzkar (Fikh Doa dan Dzikir) ke dalam bahasa Indonesia, beliau mengizinkan dengan syarat: tatkala buku tersebut dicetak, nama beliau hanya ditulis ‘Abdurrozaq bin Abdulmuhsin Al-Badr’, tanpa embel-embel gelaran Profesor Doktor. Begitu pula buku-buku beliau yang dicetak di Arab Saudi maupun di Aljazair (Algeria), semua tanpa embel-embel gelar tersebut.

Mengajarkan Ilmu kepada Siapa pun
Syaikh Abdurrazaq Al-Badr mempunyai semangat yang tinggi dalam menyampaikan ilmu. Beliau tidak menolak -bahkan sangat bersemangat- untuk mengisi kajian di Radio Rodja agar umat Islam di Indonesia dapat mengenyam ilmu dari beliau.
Padahal, beliau sangat sibuk mengajar di universitas dan di tempat lain. 

Ustadz Abu Muhsin mengisahkan saat ia menyampaikan permintaan kepada beliau untuk mengisi kajian di RadioRodja.
“Syaikh, saya menyampaikan permintaan teman-teman di Radiorodja agar Syaikh mengisi kajian rutin, seminggu sekali.”

Dan, jawaban beliau sungguh-sungguh di luar dugaan saya (Abu Muhsin). Syaikh berkata: “Saya siap mengisi kajian setiap hari.”

Saya takjub sekaligus bingung mendengar jawaban tersebut, karena justru sayalah yang tidak siap. Saya pun menawarkan kepada beliau untuk mengisi kajian sepekan dua kali, dengan mempertimbangkan kesiapan dari berbagai teknisnya. Alhamdulillah, Syaikh setuju dengan usulan tersebut.

Tawadhu’
Syaikh Abdurrazaq Al-Badr menunjukkan sikap tawadhu yang patut kita teladani. Dalam salah satu kajian, Syaikh Abdurrazaq Al-Badr memaksa penerjemahnya yaitu Ustadz Abu Muhsin agar mau duduk di kursi yang bagus, sedangkan beliau memilih duduk di kursi yang jelek dan datar tanpa spon. 


Tatkala kru Radio Rodja mengabarkan kepada Syaikh bahwa ternyata yang menghadiri tabligh akbar Syaikh Abdurrozzaq dengan materi yang berjudul "Sebab-sebab kebahagiaan" berjumlah lebih dari 100 ribu peserta, dan ini merupakan rekor terbaru, karena Masjid Istiqlal tidak pernah dihadiri oleh jamaah pengajian seramai ini dalam sejarah Indonesia. Maka Syaikh dengan tersenyum berkata, "Mereka para hadirin yang datang bukan karena aku akan tetapi karena si penerjemah Firanda". Spontan kami pun tertawa tatkala mendengar hal ini.

Ada juga kejadian lain yang menunjukan sikap tawadhu Syaikh, yaitu suatu ketika tatkala Syaikh mengisi pengajian di Radio Rodja ada seseorang yang bertanya kepada beliau, dan sebelum bertanya penanya tersebut berkata, "Wahai syaikh, aku setiap mendengar pengajian yang Anda sampaikan hatiku menjadi lembut, dan aku lihat dari tutur kata Anda tatkala menyampaikan pengajian menunjukan bahwa Anda adalah orang yang berhati lembut". 

Syaikh berkata mengomentari perkataan si penanya ini, "Adapun perkataan si penanya bahwa aku berhati lembut, maka itu hanyalah persangkaan penanya saja, dan
aku berharap dan berdoa agar Allah menjadikan aku berakhlak mulia, dan juga para
pendengar Radio Rodja sekalian". Sungguh sikap tawadhu dan tidak terpedaya dengan pujian yang sampai kepada beliau.


Syaikh Abdurrazaq Al-Badr bersikap lemah lembut kepada anak-anak orang tua. Beliau menyalami anak-anak, mengusap kepala mereka, dan memberikan hadiah kepada mereka. Terhadap orang tua, beliau merangkul mereka dengan sikap tawadhu dan sopan.
 
Menyenangkan Hati Saudara

Berikut ini pelajaran akhlak yang berharga dari Syaikh Utsaimin dan Syaikh Abdurrazaq.
Suatu saat, Syaikh Utsaimin datang mengunjungi kota Madinah. Salah seorang kaya
mengundang beliau makan malam di rumahnya. Hadir bersama beliau dalam jamuan makan malam tersebut, empat orang, termasuk Syaikh Abdrurrozaq dan Syaikh Utsaimin. 


Saat memasuki ruang makan, pandangan Syaikh Utsaimin tertuju pada tumpukan buah-buahan beraneka ragam yang tertata rapi menyerupai gunung kecil. Syaikh lalu mengambil buah apel dari tumpukan tersebut, lantas berkata kepada kami, “Tahukah kalian, kapan pertama kali akumemakan buah apel?”

Kemudian, Syaikh Utsaimin pun bercerita, “Dahulu, Syaikh As-Sa’di mengajar buku yang agak berat, yaitu Qawa’id Ibni Rajab. Kitab ini agak sulit dipahami karena berkaitan dengan kaidah-kaidah fikih. Pada awalnya, banyak murid beliau yang hadir, namun lama-kelamaan berkurang, hingga akhirnya saat beliau menamatkan kitab tersebut, hanya tinggal aku sendiri bersama beliau. Setelah itu, beliau merogoh sakunya dan mengeluarkan sebutir apel berwarna merah. Baru pertama kali aku melihat buah seperti itu. Beliau berkata, ‘Ini buah tuffahah (apel), yang dimakan bagian dalamnya. Ada bijinya di dalam. Jangan dimakan.’ Aku sangat gembira menerima hadiah tersebut, maka aku segera pulang dan mengumpulkan seluruh keluargaku, istri dan anak-anakku, lalu kutunjukkan kepada mereka buah tersebut. Karena mereka juga baru pertama kali melihat buah apel, maka ada yang berkata, ‘Apakah ini tomat?’ Akhirnya aku membelah-belah buah apel tersebut lantas kubagikan kepada
keluargaku.”


Demikianlah, Syaikh Abdurrozak menceritakan kisah yang pernah didengarnya langsung dari Syaikh Utsaimin. Hanya sebutir apel akan tetapi sangat berkesan di hati Syaikh Utsaimin dan menyenangkan beliau bahkan keluarga beliau. 

Syaikh Abdurrozaq pernah berkata, “Ya Firanda, meskipun sebuah hadiah nilainya tidak
seberapa tetapi bisa jadi sangat menyenangkan hati orang yang diberi. Suatu saat, aku pernah bertemu seorang penuntut ilmu dari Kuwait, dan aku hampir lupa kalau aku pernah mengajarnya. Lantas, saat kami bertemu, dia segera memelukku kemudian mengingatkan aku bahwa dia pernah aku ajar di bangku kuliah. Bahkan dia berkata, ‘Ya Syaikh, aku tidak pernah lupa hadiah bunga yang Syaikh berikan kepadaku, sampai sekarang masih aku simpan di bukuku.”
Lihatlah setangkai bunga yang tidak bernilai tetapi sangat berkesan di hati orang tersebut.


Akhlak dalam Dakwah
Ust. Firanda bertanya, “Ya Syaikh, sebagian orang ada yang menyatakan bahwa aku adalah kadzab (pendusta). Apakah aku berhak membela diri dan membantah tuduhan tersebut?”

“Wahai Firanda, jangan kau bantah dia, bagaimanapun dia adalah saudaramu se-aqidah,” jawab beliau. 

“Bahkan jika ada orang yang bertanya kepadamu tentang dia, maka tunjukkan bahwa engkau tidak suka untuk membantahnya dan tidak suka membicarakan tentangnya.”

Beliau terdiam sejenak, lalu melanjutkan nasihatnya, “Engkau bersabar, dan jika engkau
bersabar percayalah suatu saat dia akan melunak dan akan menjadi sahabatmu.”


Seorang mahasiwa berkata kepada Syaikh, "Ya Syaikh, sesungguhnya saya telah dikatakan sebagai seorang pendusta, dajjaal, dan khobiits oleh seseorang yang bermasalah denganku. Padahal orang tersebut telah merendahkan engkau dan merendahkan Syaikh Abdul Muhsin Al-'Abbad, serta menyatakan bahwa Syaikh Ibnu Jibrin adalah imam kesesatan, dan lain-lainnya. Saya sudah mengajak orang itu untuk berdialog perihal tuduhan yang ia lontarkan kepadaku dengan syarat pembicaraan kita harus direkam, akan tetapi orang itu menolak dan berkata bahwa jika aku datang menemuinya untuk mengakui kesalahanku maka dia akan menerimaku di rumahnya, namun jika aku mendatanginya untuk mendebatnya maka dia akan mengusirku dan akan memboikot aku serta tidak akan memberi salam kepadaku jika bertemu denganku. Bahkan orang ini mendoakan keburukan kepadaku dengan perkataannya, 'Semoga Allah memeranginya, aku berlindung kepada Allah dari si pendusta yang sombong, dan dia akan menjadi sampah sejarah.'


Demikianlah, ya Syaikh, perkataannya yang buruk yang dia lontarkan untukku, dan aku mendengarnya sendiri dengan kedua telingaku. Yang jadi masalah juga dia menyebarkan tuduhan tersebut di kalangan para da'i di negaraku. Apakah aku berhak untuk membela diriku dan menjelaskan keadaan yang sesungguhnya, mengingat terlalu banyak ikhwan yang bertanya melalui telepon atau surat perihal masalah ini?.

Syaikh serta merta berkata, "Sekali-kali jangan kau bantah dia, selamanya jangan kau bantah dia!. Apakah engkau ingin engkau yang membela dirimu sendiri?, ataukah engkau ingin Allah yang akan membelamu??!!". 

Lalu syaikh menunjukkan buah hadits yang terdapat dalam kitab Al-Adab Al-Mufrod karya Al-Imam Al-Bukhori yang menjelaskan agar seseorang sejauh mungkin menjauhkan dirinya dari perdebatan dengan saudaranya.

Dari 'Iyaadl bin Himaar bahwasanya ia bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
seraya berkata, "Wahai Rasulullah, bagaiamana pendapatmu jika ada  seseorang mencelaku padahal nasabnya lebih rendah daripada nasabku?, maka Nabi berkata , "Dua orang yang saling mencela adalah dua syaitan yang saling mengucapkan perkataan yang batil dan buruk dan saling berdusta" (HR. Ahmad 29/37 no 17489 dan Al-Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrod no 427 dan dishahihkan oleh syaikh Al-Albani)


Syaikh berkata, "Hadits ini menunjukan bahwa dua orang yang bertikai dan saling mencaci
maka disifati oleh Nabi dengan 2 syaitan.  Bahkan Nabi berkata bahwa keduanya pendusta dan saling mengucapkan perkataan yang buruk, rendah dan batil. Orang yang membantah saudaranya pasti –mau tidak mau- akan terjerumus dalam kedustaan agar bisa membuat orang-orang benci terhadap musuhnya. Atau paling tidak dia tidak akan menjelaskan kejadian yang terjadi antara dia dan musuhnya sebagaimana mestinya, akan tetapi dia menyajikan kejadian itu seakan-akan dialah yang berada di pihak yang benar, dan dengan cara pengajian yang menjadikan para pendengar akan benci terhadap musuhnya.
Selain itu dia akan terjerumus dalam peraktaan-perkataan yang rendah dan kotor serta batil"


 
Sukoharjo, 20 Maret 2013


18 Maret 2013

Menggapai Keikhlasan


Dalam kitab Tazkiyatun An-Nafs disebutkan bahwa Abu Muslim Abdullah bin Qutaibah Ad-Danuri menuturkan dalam kitabnya ‘Uyunul Akhbar bahwa Maslamah mengepung sebuah benteng. Ia menyuruh orang-orang untuk meyelinap masuk ke terowongannya. Tapi tidak ada seorang pun yang masuk. 

Lalu ada seorang lelaki dari pasukannya yang menawarkan diri. Ia berhasil menembusnya. Dan Allah akhirnya memenangkan mereka. Maslamah lalu memanggil, “Mana pemilik terowongan (maksudnya orang yang menembus lewat terowongan)?” Tidak ada seorang pun datang.

Maslamah lalu memanggil, “Aku telah memerintahkan memasukkan dia saat ini. Aku berharap di datang.”

Lalu seorang lelaki datang, “Izinkan aku menghadap panglima.”
Seorang pengawal bertanya, “Apakah kamu pemilik terowongan?”
Lelaki itu menjawab, “Aku akan mengabarkan kepadanya tentang pemilik terowongan.”

Pengawal lalu menghadap Maslamah dan mengabarkan tentangnya. Maslamah mengizinkannya menghadap. Lelaki itu berkata kepada Maslamah, “Pemilik terowongan memintamu untuk menepati tiga hal. Jangan kau tulis namanya dalam catatan ke khalifah, jangan kau perintahkan untuk member sesuatu kepadanya, dan jangan kau tanyakan dari mana dia?”

Maslamah menjawab, “Itu akan penuhi untuknya.”
Lelaki itu menjawab, “Akulah dia.”
Se
telah itu, setiap shalat Maslamah selalu berdoa, “Ya Allah, jadikanlah aku bersama pemilik terowongan.”

Menghindari Riya'
ibnu Qudamah dalam Mukhtashar Minhajil Qasidin berkata, "Bila seseorang merasakan adanya perbedaan amal yang dilihat manusia dan amal yang tidak dilihat manusia, maka di dalam dirinya terdapat suatu unsur riya’.

Termasuk obat yang manjur untuk menyembuhkan penyakit riya’ adalah membiasakan diri mengerjakan ibadah secara sembunyi-sembunyi dan menutup tempat beribadah persis seperti menutup pintu rumah agar tidak bisa mengerjakan perbuatan-perbuatan jahat. Sungguh tidak ada obat yang lebih manjur menyembuhkan penyakit riya’ daripada merahasiakan amal.

Merahasiakan ketaatan dapat memelihara keikhlasan dan menyelamatkan diri dari riya’. Sementara memperlihatkannya bisa mendorong orang lain untuk mengikuti dan memotivasi mereka untuk berbuat kebaikan. Orang yang memperlihatkan amalnya wajib memeriksa hatinya agar ia bebas dari riya’ samar dan mesti meniatkannya untuk menjadi teladan bagi orang lain."

Ibnul Jauzi dalam kitabnya Talbis Iblis menyebutkan kisah orang-orang shalih yang menyembunyikan amal mereka karena takut terhadap riya'. Amir bin Abdi Qais tidak suka jika orang-orang melihat dia sedang mendirikan shalat. Karena itu. Dia tidak pernah shalat sunnat di masjid.

Salafush shalih suka menyembunyikan ibadahnya. Bahkan, semua amal yang dilakukan Ar-Rabi’ bin Khutsaim tersembunyi. Ketika ada seseorang masuk ke dalam rumahnya, yang saat itu dia sedang menggelar mushaf, maka dia segera menutupi mushaf dengan selembar kain. Ahmad bin Hambal juga senantiasa membaca Al-Qur’an, namun tidak pernah diketahui kapan dia mengkhatamkannya.

Karena takut pada riya’, orang-orang shalih biasa menyembunyikan amal-amal mereka dan menampakkan sikap sebaliknya. Ibnu Sirin biasa tersenyum pada siang hari, namun dia banyak menangis pada malam harinya. Jika Ibnu Adham sakit, maka dia memperlihatkan makanannya seperti yang biasa dimakan orang yang sehat.

Sufyan Ats-Tsauri pernah berkata, “Aku tidak terbiasa memperlihatkan amalku.” Dia pernah berkata kepada seorang teman yang dilihatnya sedang shalat, “Apa yang mendorongmu berani mendirikan shalat, sementara semua orang melihatmu?”

Dari Muhammad bin Ziyad, dia berkata, “Abu Umamah melewati seseorang yang sedang sujud. Lalu dia berkata, “Buat apa dia mendirikan shalat itu? Andaikan saja dia mendirikannya di dalam rumahnya.”
Di antara orang-orang yang mempunyai harta ada yang membelanjakan harta untuk membangun masjid dan jembatan. Hanya saja dia melakukannya untuk riya’ dan mencari ketenaran, agar dirinya tetap dikenang dan namanya ditulis pada bangnunan itu. Andaikan perbuatannya itu karena Allah, cukuplah Allah yang mengetahuinya.

Orang-orang shalih pada zaman dulu suka memasukkan kepingan uang dinar yang lebih berat ke dalam tempat yang kecil, ia memberikannya kepada orang-orang miskin secara sembunyi-sembunyi.

Imam Adz-Dzahabi dalam Al-Kabair menyebutkan bahwa Muhammad bin Mubarok Ash-Shuri berkata, “Menampakkan ketaatan itu lebih baik di malam hari daripada di siang hari. Sebab, menampakkan ketaatan di siang hari itu untuk makhluk, sedangkan di malam hari untuk Rabb Semesta alam.”

Suatu hari Ibnu Sirin mendengar seseorang berkata kepada temannya, “Aku sudah berbuat baik kepadamu. Aku sudah melakukan ini dan itu.” Maka Ibnu Sirin menegurnya, “Hei, diamlah! Tidak ada kebaikan dalam amal kebajikanmu jika ia disebut-sebut.”

Sebagian ulama berkata, “Barangsiapa mengungkit-ungkit kebaikannya, ia bukan termasuk orang yang bersyukur. Dan barangsiapa merasa bangga dengan amalnya, pahalanya menjadi terhapus.”

Imam Syafi’I bersyair,

Janganlah engkau menerima kebaikan dari mereka
Yang mereka akan mengungkit-ungkitnya di hadapanmu
Pilihlah bagi dirimu apa yang menjadi bagianmu
Dan bersabarlah, karena sabar itu adalah surge
Ungkitan seseorang itu apabila melukai hati
Itu lebih sakit daripada tusukan tombak


Imam Nawawi dalam Syarh Hadits Arba'in berkata, "Sebagaimana halnya dengan riya’, sum’ah juga dapat menghapus (pahala) amalan. Sum’ah adalah mengerjakan amalan untuk Allah dalam kesendirian (tidak dilihat manusia), kemudian dia menceritakan amalannya itu di depan manusia.

Nabi bersabda,
Barangsiapa berbuat sum’ah (menceritakan amalannya kepada orang lain), maka Allah akan menceritakan aibnya, dan barangsiapa berbuat riya’ (memperlihatkan amalannya kepada orang lain), maka Allah akan memperlihatkan aibnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Para ulama berkata, “Jika dia seorang ‘alim yang menjadi teladan, dan dia menyebutkan amalannya itu dalam rangka mendorong orang-orang yang mendengarnya agar mengerjakan amalan tersebut, maka tidaklah mengapa.”


Referensi:
Ibnul Jauzi. Talbis Iblis. (Terjemahan Kathur Suhardi). 2011. Perangkap Setan. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar

Imam Adz-Dzahabi. Al-Kabair. (Terjemahan Abu Zufar Imtihan Asy-Syafi’i). 2007. Dosa-dosa Besar. Surakarta: Pustaka Arafah

Imam An-Nawawi. Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyyah. (Terjemahan Ahmad S. Marzuqi). 2006. Syarah Hadits Arba’in Imam Nawawi. Yogyakarta: Media Hidayah

M. Abdul Qadir Abu Faris. Tazkiyatun An-Nafs. (Terjemahan Habiburrahman Saerozi). 2005. Menyucikan Jiwa. Depok: Gema Insani 


7 Maret 2013

Jatuh Cinta


Sesungguhnya, telah ditanamkan rasa cinta ke dalam diri manusia. Itulah salah satu fitrah manusia. Termasuk rasa cinta kepada lawan jenis, itulah sunnatullah.

Disebutkan dalam kitab Raudhatul Muhibbin karya Ibnu Qayyim Al-Jauziyah:
Berkata seorang penyair,

Jika engkau tidak mencinta
Maka engkau tidak pernah mengerti apa itu cinta
Maka apa bedanya dirimu dengan unta padang sahara itu

Penyair lain juga berkata,

Jika engkau tidak mencinta
Maka engkau tidak pernah mengerti apa itu cinta
Lebih baik engkau menjadi batu-batuan padang pasir yang berserakan

Al-Marzubani berkata, "Abu Naufal pernah ditanya, 'Mungkinkah seseorang bisa terlepas dari perasaan jatuh cinta?'

Ia menjawab, 'Ya bisa, yaitu seseorang yang hatinya keras lagi bodoh, yang tidak memiliki keutamaan dan juga tidak memiliki pemahaman. Sekalipun seseorang hanya memiliki sedikit kepandaian atau kehalusan orang-orang Hijaz dan kepintaran orang-orang Irak, maka sekali-kali ia tidak mungkin terlepas dari perasaan jatuh cinta.'"


Sukoharjo, 16 September 2012


Engkau Bersama Orang yang Engkau Cintai


Berbahagialah orang-orang yang saling mencintai karena Allah.
Dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah bersabda, "Sesungguhnya Allah berfirman pada hari Kiamat, 'Di mana orang-orang yang saling mencintai karena keagungan-Ku? Naungan mereka pada hari Kiamat berada di bawah naungan-Ku, di mana tidak ada naungan selain naungan-Ku.'"
(HR. Muslim)

Dari Annas bin Malik, ia berkata, "Ada seseorang bertanya kepada Rasulullah tentang hari Kiamat, 'Kapankah hari Kiamat itu?'
Beliau balik bertanya, 'Apa yang telah engkau persiapkan untuk menghadapinya?'
Laki-laki tersebut menjawab, 'Tidak ada, kecuali bahwa aku mencintai Allah dan Rasul-Nya.'
Rasulullah bersabda, 'Engkau bersama orang yang engkau cintai.'"

Anas berkata, "Tiada sesuatu yang membahagiakan kami daripada perkataan Rasulullah, 'Engkau bersama orang yang engkau cintai.'"

Anas berkata, "Aku mencintai Nabi, Abu Bakar, dan Umar. Dan aku berharap bisa berkumpul bersama mereka karena kecintaanku kepada mereka. Meskipun aku tidak beramal seperti amalan yang mereka lakukan, (HR. Bukhari dan Muslim)

Wahai orang-orang yang beriman, cintailah Rasulullah, para sahabat yang diridhai oleh Allah, serta orang-orang shalih yang takut kepada Allah. Dan, semoga kecintaanmu pada mereka menghantarkanmu pada perkumpulan dengan mereka di Surga.


*Sukoharjo, 25 September 2012 


PROMO BUKU

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More