MUSLIMAH

Menuju Insan yang Shalihah

This is default featured post 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

MUTIARA DAKWAH

This is default featured post 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

30 April 2014

Masuk Surga Tanpa Hisab


Dalam Kitabut Tauhid, Muhammad bin Abdulwahab membuat judul bab “Mengamalkan Tauhid dengan Sebenar-benarnya Dapat Menyebabkan Masuk Surga Tanpa Hisab”.

Teladan dalam pengamalan tauhid ada pada diri Nabi Ibrahim. Allah berfirman,

“Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang imam yang dapat dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan hanif (berpegang teguh pada kebenaran), dan sekali kali ia bukanlah termasuk orang orang yang mempersekutukan (Tuhan)” (QS. An-Nahl: 120)
Ibnu Katsir berkata, “Al-hanif artinya menyimpang dari kemusyrikan dan menempuh jalan tauhid. Karena itulah disebutkan di akhir ayat, ‘dan sekali kali ia bukanlah termasuk orang orang yang mempersekutukan (Tuhan).’

Hal tersebut sebagaimana firman Allah,

“Dan orang orang yang tidak mempersekutukan dengan Rabb mereka (sesuatu apapun).” (QS. Al-Mu’minun: 59)
Ibnu Katsir menjelaskan, “Yakni, mereka tidak beribadah kepada yang lain bersama-Nya, tetapi mereka mengesakannya seraya mengetahui bahwasanya tidak ada Rabb selain Allah yang Maha Esa yang menjadi tempat bergantung. Dia tidak mengambil istri dan tidak juga mempunyai anak. Dan bahwasanya tidak ada tandingan bagi-Nya serta tidak ada pula yang setara dengan-Nya.”

Muhammad bin Abdulwahab menyebutkan salah satu hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim bahwa Rasulullah bersabda, 

“Telah diperlihatkan kepadaku beberapa umat, lalu aku melihat seorang Nabi, bersamanya sekelompok orang. Dan seorang Nabi, bersamanya satu dan dua orang saja. Dan Nabi yang lain lagi tanpa ada seorang pun yang menyertainya. Tiba-tiba diperlihatkan kepadaku sekelompok orang yang banyak jumlahnya, aku mengira bahwa mereka itu umatku, tetapi dikatakan kepadaku bahwa mereka itu adalah Musa dan kaumnya.
Tiba-tiba aku melihat lagi sekelompok orang yang lain yang jumlahnya sangat besar. Maka dikatakan kepadaku: mereka itu adalah umatmu, dan bersama mereka ada 70.000 (tujuh puluh ribu) orang yang masuk surga tanpa hisab dan tanpa disiksa lebih dahulu.”
Kemudian beliau bangkit dan masuk ke dalam rumahnya, maka orang-orang pun memperbincangkan tentang siapakah mereka itu? Ada di antara mereka yang berkata, “Barangkali mereka itu orang-orang yang telah menyertai Nabi dalam hidupnya. Dan ada lagi yang berkata, “Barangkali mereka itu orang-orang yang dilahirkan dalam lingkungan Islam hingga tidak pernah menyekutukan Allah dengan sesuatupun. Dan yang lainnya menyebutkan yang lain pula.
Kemudian Rasulullah keluar dan mereka pun memberitahukan hal tersebut kepada beliau. Maka beliau bersabda, “Mereka itu adalah orang-orang yang tidak pernah minta ruqyah, tidak melakukan tathayyur dan tidak pernah meminta lukanya ditempeli besi yang dipanaskan, dan mereka pun bertawakkal kepada tuhan mereka.”
Kemudian Ukasyah bin Muhshan berdiri dan berkata, “Mohonkanlah kepada Allah agar aku termasuk golongan mereka.”
Kemudian Rasul bersabda, “Ya, engkau termasuk golongan mereka.”
Kemudian seseorang yang lain berdiri juga dan berkata, “Mohonkanlah kepada Allah agar aku juga termasuk golongan mereka.”
Rasul menjawab, “Kamu sudah kedahuluan Ukasyah.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
***
Di antara pelajaran paling berharga yang bisa dipetik dari hadits ini adalah bahwa tidak meminta ruqyah, tidak berobat dengan cara ditempeli dengan besi panas (kayy), dan tidak menganggap akan mengalami kesialan setelah mendengar atau melihat sesuatu (tathayyur) merupakan wujud dan realisasi dari tawakal kepada Allah.

Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah menyebutkan dalam kitabnya, Madarijus Salikin, “Pada hakikatnya tawakal ini merupakan keadaan yang terangkai dari berbagai perkara, yang hakikatnya tidak bisa sempurna kecuali dengan seluruh rangkaiannya.”

Salah satu perkara tersebut ialah, “Memantapkan hati pada pijakan tauhid. Tawakal seorang hamba tidak dianggap benar jika tauhidnya tidak benar. Bahkan, hakikat tawakal adalah tauhidnya hati. Selagi di dalam hati masih ada kaitan-kaitan syirik, maka tawakalnya cacat. Seberapa jauh kemurnian tauhid, maka sejauh itu pula kebenaran tawakal. Jika seorang hamba berpaling kepada selain Allah, maka hal ini akan membentuk cabang di dalam hatinya, sehingga mengurangi tawakalnya kepada Allah karena adanya cabang itu.”

Hakikat tawakal adalah tauhidnya hati. Maka, sungguh tepat Muhammad bin Abdulwahab membuat judul bab, “Mengamalkan Tauhid dengan Sebenar-benarnya Dapat Menyebabkan Masuk Surga Tanpa Hisab”.

***
Referensi:
Ibnu Katsir. Tafsir Al-Qur’anil Adzim. Peneliti dan Peringkas: Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin Ishaq Alu Syaikh. (Terjemahan: Tafsir Ibnu Katsir. 2008. Jakarta: Penerbit Pustaka Imam Syafi’i)

Muhammad bin Abdulwahab. Kitabut Tauhid. (Terjemahan: Kitab Tauhid. 2009. Yogyakarta: Penerbit Media Hidayah)

Ibnu Qayyim Al-Jauziyah. Madarijus Salikin. (Terjemahan: Madarijus Salikin: Pendakian Menuju Allah. 1999. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. Ebook oleh http:kampungsunnah.co.nr)
***
Sukrisno Santoso
Ditulis pada hari Rabu, 30 April 2014, di SMPIT Mutiara Insan Sukoharjo


28 April 2014

Buku Al-Wafi: Syarah Hadits Arba'in Nawawi Karya Dr. Musthofa Dieb Al-Bugha & Dr. Muhyiddin Mistu


Judul Buku : Al-Wafi: Syarah Kitab Hadist Arbain An-Nawawi
Penulis: Dr. Musthofa Dieb Al-Bugha, Dr. Muhyiddin Mistu
Penerbit : Insan Kamil
Tebal: 608 halaman
Harga: Rp   Rp 70.000,-


--------------------------------------
Kitab Al Arba’in Nawawiyah merupakan kitab yang berisi 42 hadits yang dikumpulkan oleh Imam Nawawi rahimahullah yang mencakup pokok-pokok permasalahan dalam agama Islam. Sudah selayaknya bagi seorang muslim untuk memahami makna yang terkandung dalam hadits-hadits tersebut. Buku Al-Wafi: Syarah Kitab Hadist Arbain An-Nawawi adalah syarah kitab hadist arbain an-nawawiyah merupakan Salah satu keunggulan hadits-hadits pilihan ini adalah redaksi haditsnya yang singkat namun memiliki makna yang sangat luas. Memang,secara umum Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam memiliki kelebihan dalam menyampaikan pesan dengan ungkapan jawami al-kalim (kalimat singkat tetapi padat). Dan itulah Teladan kami Rasulullah saw.

karena dasar itu,banyak para ulama-ulama salafushalih yang berusaha menyelami kedalaman maknanya, lalu mengeluarkan mutiaranya untuk dipersembahkan kepada umat islam. Buku Al-Wafi: Syarah Kitab Hadist Arbain An-Nawawi ini merupakan salah satu mutiara yang perlu didalami ini.

Pembahasannya yang sistematis dan komprenhensif membuat buku islami ini menjadi lebih baik dan istimewa.

Tidak hanya itu,hikmah dan pelajaran penting dari setiap hadits pun menambah pembendaharaan ilmu keislaman yang selama ini belum kita raih dan juga menjadi rujukan kita dalam bertindak setelah alqur’an. Keistimewaan itu menjadi lebih lengkap saat kita dapati biografi perawi hadits dalam buku al-wafi syarah hadist arbain ini.
 

--------------------------------------
Cara pembelian
SMS dengan format :
(buku) AL-WAFI (nama) (alamat)
Kirim ke : 0856 4231 8421


Contoh:
(buku)
AL-WAFI (Santoso) (Kec. Grogol, Kab. Sukoharjo)

Selanjutnya kami akan segera membalas dan memproses pesanan anda.
Informasi pembelian buku:
Telp/SMS: 0856 4231 8421
Pin BBM: 5782EAE1


Prosedur pembelian

  1. Kirim SMS pesanan ke nomor 0856 4231 8421.
  2. Kami akan konfirmasi harga dan biaya kirim.
  3. Membayar sejumlah harga pesanan dan biaya kirim ke rekening: Bank Syariah Mandiri (BSM) a.n. Sukrisno Santoso, Nomor rekening: 7076497065
  4. Kami akan mengirimkan pesanan setelah transfer pembayaran sudah masuk.
  5. Kami akan mengirimkan SMS yang berisi nomor resi pengiriman sebagai bukti bahwa barang pesanan benar-benar sudah dikirim.

27 April 2014

Limpahan Ilmu dalam Rekaman Kajian


“Demi Allah,” kata Abdul Aziz bin Muhammad bin Adbullah As-Sadhan, “rekaman kaset (berupa tilawah, kajian, dan lainnya yang bermanfaat) merupakan salah satu bentuk kenikmatan dari Allah. Tapi kebanyakan kita menyia-nyiakannya. Penyebabnya ialah ketidakpedulian kita mengaturnya.”

Dalam kitabnya, Ma’alim fi Thariq Thalab Al-Ilm, Abdul Aziz bin Muhammad bin Adbullah As-Sadhan menyebutkan pasal tentang kesempatan yang sering disia-siakan oleh sebagian penuntut ilmu. Salah satunya yaitu adanya kaset rekaman (berupa tilawah, kajian, dan lainnya yang bermanfaat) yang tidak dimanfaatkan secara maksimal. Padahal, pada zaman sekarang, sarana untuk menimba ilmu sangat melimpah. Salah satunya rekaman kajian yang memuat ilmu-ilmu yang bermanfaat yang disampaikan oleh para ulama.

Abdul Aziz bin Muhammad bin Adbullah As-Sadhan mengatakan, “Orang-orang yang telah memanfaatkan fasilitas tersebut mengatakan bahwa rekaman tersebut sangat bermanfaat. Saya sendiri pun telah memanfaatkan kenyamanan tersebut. Dan sungguh saya telah mendapatkan kebaikan yang sangat banyak. Saya menyampaikan hal ini sebagai bentuk tahadduts binni’mah (ungkapan rasa syukur atas nikmat Allah, bukan karena kesombongan).”

Memang benar apa yang dikatakan tersebut. Saya sendiri juga mendapatkan banyak kebaikan dari mendengarkan rekaman kajian. Di tengah kesibukan sehari-hari, sebagian dari kita tidak mempunyai waktu yang banyak dan rutin untuk bisa menghadiri majelis ilmu para ulama secara langsung. Oleh karena itu, mendengarkan rekaman kajian menjadi aktivitas menimba ilmu yang bermanfaat.

Saya senang mendengarkan rekaman kajian ketika sedang menghadap komputer. Atau ketika ada waktu luang, misalnya ketika sedang menunggu seseorang. Atau ketika di dalam perjalanan. Ketika masih kuliah, saya mendengarkan rekaman kajian saat perjalanan berangkat dan pulang yang masing-masing memerlukan waktu sekitar setengah jam.

Saya telah selesai mendengarkan rekaman kajian yang membahas kitab Aqidah Thahawiyah yang disampaikan oleh Ustadz Abdullah Shaleh Hadrami. Rekaman kajian tersebut terdiri dari sekitar 100 file rekaman yang masing-masingnya berdurasi sekitar 1 jam. Alhamdulillah, saya telah selesai mendengarkannya di sebagian besar perjalanan.

Saya mempunyai teman yang biasa menyalakan rekaman kajian di dalam kendaraannya. Teman saya tersebut adalah seorang manajer salah satu perusahaan penerbitan. Hampir setiap minggu ia tugas dinas ke luar kota sehingga ia senantiasa berada dalam kesibukan. Salah satu cara yang ia lakukan untuk menimba ilmu ialah dengan mendengarkan rekaman kajian selama dalam perjalanan. Beberapa kali ketika naik di dalam mobilnya, saya mendengarkan rekaman kajian pembelajaran bahasa Arab yang dinyalakannya.

Imam Ash-Shan’ani menyebutkan bait syair,
Siapa saja yang belum pernah mencoba, ia tidak akan tahu manfaatnyaCobalah, niscaya engkau akan dapatkan apa yang telah saya sebutkan

Segala pujian bagi Allah yang telah memudahkan kita untuk mendapatkan ilmu. Adalah sebuah kelalaian jika kita tidak memanfaatkan nikmat tersebut. Abdul Aziz bin Muhammad bin Adbullah As-Sadhan memberikan nasehat, “Aturlah waktu untuk mendengarkan pelajaran dalam perjalanan Anda; apalagi jarak rumah jauh, atau sering melakukan bepergian untuk bekerja dan berkunjung, seperti mengunjungi kerabat dan saudara seiman, atau membeli kebutuhan rumah tangga. Lakukanlah hal ini terus-menerus. Ibaratnya, jangan turun dari mobil kecuali setelah mendengarkan berbagai pelajaran bermanfaat.”

“Saya menyebutkan hal ini,” lanjutnya, “karena rekaman kaset (berbentuk CD atau semisalnya) banyak terdapat di mana-mana. Ia menyimpan banyak ilmu. Seolah-olah ilmu para guru dan ulama tersimpan di dalamnya. Rekaman-rekaman tersebut dijual dengan harga murah (bahkan, ada yang bisa diunduh gratis dari internet), dan kita semua dapat memanfaatkannya setiap saat. Saya tahu bahwa banyak saudara-saudara kita yang tidak sempat menghadiri majelis ilmu karena kesibukan mereka dan karena pekerjaan mereka. Maka seyogyanya mereka mengganti hal tersebut dengan mendengarkan rekaman. Melalui rekaman itu, dia akan mendapatkan manfaat yang banyak.”

Aktivitas pokok dalam menimba ilmu ialah menghadiri majelis ilmu secara langsung. Mendengarkan rekaman kajian memang mendatangkan banyak kebaikan, namun menghadiri majelis ilmu secara langsung mendatangkan kebaikan yang lebih banyak. Maka, sediakanlah waktu luang untuk menghadiri majelis ilmu. Apalagi, saat ini banyak diadakan kajian di masjid-masjid.

Bakr bin Abdillah Abu Zaid mengatakan dalam Hilyah Thalabil Ilmi, “Pada prinsipnya, menuntut ilmu itu harus dengan belajar kepada guru dan langsung mendengarkan ucapan syaikh, bukan dari tulisan atau buku.”

Mendengarkan secara langsung dengan menghadiri majelis ilmu mempunyai banyak kelebihan dari sekadar mendengarkan rekaman kajian. Beberapa kelebihan tersebut di antaranya: (1) bisa bertemu dengan saudara seiman dan sesama penuntut ilmu, (2) duduk di majelis ilmu dapat mendatangkan rahmat dari Allah, (3) mendapatkan penjelasan yang lebih melalui gerak dan ekspresi ulama yang menyampaikan ilmu, (4) dapat belajar adab dari ulama, dan (5) menambah kebaikan dari panjangnya perjalanan ke tempat majelis ilmu.

Apapun cara dan sarana dalam menuntut ilmu, yang perlu kita tekankan ialah niat ikhlas di dalamnya. Kemudian juga perlunya penjagaan semangat dan motivasi dalam menuntut ilmu. Hal yang penting juga ialah memanfaatkan waktu sebaik mungkin untuk mendapatkan ilmu.

Bakr bin Abdillah Abu Zaid memberi nasehat, “Jagalah waktu dengan sungguh-sungguh dan penuh kesungguhan, selalu belajar bersama guru, dan sibuk dengan ilmu, baik dengan membaca, membacakan, mengkaji, menghayati, menghafal, dan mencari (menelaah).”

***
Abdul Aziz bin Muhammad bin Abdullah As-Sadhan. Ma’alim fi Thariq Thalab Al-Ilm. (Terjemahan: Adab dan Kiat dalam Menggapai Ilmu. 2013. Jakarta: Penerbit Darus Sunnah Press.)

Bakr bin Abdullah Abu Zaid. Hilyah Thalibil 'Ilmi. (Terjemahan: Perhiasan Penuntut Ilmu. 2014. Surakarta: Penerbit Al-Qowam

***
Sukrisno Santoso
Ditulis pada hari Minggu, 27 April 2014, di rumah, kota Sukoharjo


26 April 2014

Download Kitab Arba'in Nawawiyah Syarah Ibnu Daqiqil 'Ied




Kitab Al Arba’in Nawawiyah merupakan kitab yang berisi 42 hadits yang dikumpulkan oleh Imam Nawawi rahimahullah yang mencakup pokok-pokok permasalahan dalam agama Islam. Sudah selayaknya bagi seorang muslim untuk memahami makna yang terkandung dalam hadits-hadits tersebut. 

Al Imam An Nawawy Rahimahullah bukanlah ulama pertama yang mengumpulkan/ menyusun kitab Al Arba’in sebagaimana beliau terangkan dalam muqaddimah kitab beliau : 

“Dan para ulama yang telah menyusun kitab Al Arba’in tidak terkira jumlahnya. Dan orang yang pertama kali saya ketahui menyusunnya adalah Abdullah bin Mubarak Rahimahullah kemudian diikuti oleh banyak ulama lain diantaranya Muhammad bin Aslam Ath Thusi –seorang ‘Alim Rabbani-, Hasan bin Sufyan An Nawawi, Abu Bakar Al Ajuri, Abu Bakar Muhammad bin Ibrahim Al Ashfahani, Ad Daruquthni, Hakim, Abu Nu’aim Al Ashfahani, Abu Abdirrahman As Sulami, Abu Said Al Maliki, Abu Usman As Shobuni, Muhammad bin Abdullah Al Anshori, Abu Bakar Al Baihaqi, dan banyak lagi dari kalangan ulama terdahulu maupun belakangan Rahimahumullahu Ajmain .

Download kitab Arba'in Nawawiyah syarah Ibnu Daqiqil 'Ied :
DOWNLOAD (chm) 
atau
DOWNLOAD (pdf)


--------------------------------------------------------------------
PEMBELIAN BUKU VERSI CETAK


Judul Buku : Al-Wafi: Syarah Kitab Hadist Arbain An-Nawawi
Penulis: Dr. Musthoda Dieb Al-Bugha, Dr. Muhyiddin Mistu
Penerbit : Insan Kamil
Tebal: 608 halaman
Harga: Rp 70.000,-
 
--------------------------------------------------------------------
Cara pembelian
SMS dengan format :
(buku) AL-WAFI (nama) (alamat)
Kirim ke : 0856 4231 8421


Contoh:
(buku)
AL-WAFI (Santoso) (Kec. Grogol, Kab. Sukoharjo)

Selanjutnya kami akan segera membalas dan memproses pesanan anda.
Informasi pembelian buku:
Telp/SMS: 0856 4231 8421
Pin BBM: 5782EAE1


Prosedur pembelian

  1. Kirim SMS pesanan ke nomor 0856 4231 8421.
  2. Kami akan konfirmasi harga dan biaya kirim.
  3. Membayar sejumlah harga pesanan dan biaya kirim ke rekening: Bank Syariah Mandiri (BSM) a.n. Sukrisno Santoso, Nomor rekening: 7076497065
  4. Kami akan mengirimkan pesanan setelah transfer pembayaran sudah masuk.
  5. Kami akan mengirimkan SMS yang berisi nomor resi pengiriman sebagai bukti bahwa barang pesanan benar-benar sudah dikirim.



Buku Kado Pernikahan Karya Karim Asy-Syadzili


Judul: Kado Pernikahan
Pengarang: Dr. Karim Asy-Syadzili
Penerbit: Insan Kamil
Harga : Rp 80.000,-


-----------------------------------------
 “Kami belum pernah melihat (indahnya) dua orang yang saling mencintai seperti menikah.” (HR. Ibnu Majah dan dishahihkan Al-Albani)

Cinta merupakan sebuah perasaan yang membuat manusia dapat menikmati indahnya dunia, oleh karena itulah cinta menjadi kebutuhan setiap manusia dalam kehidupan ini. Dengan cinta, kehidupan manusia akan lebih bermakna, dengan keagungan cinta pula manusia dapat menikmati hidup walaupun masalah dan kesusahan senantiasa mengelilinginya.

Cinta… akan terealisasi melalui bingkai pernikahan di mana di sana ada cinta suami dan cinta istri, sehingga harus ada cara untuk mempertemukan cinta keduanya dalam satu bangunan cinta yang kokoh dan abadi.

Beberapa ide cerdas dalam buku  Kado Pernikahan karya Karim Asy-Syadzili
ini,
* Panduan hubungan seks untuk suami istri
* Tips-tips romantis bagi suami agar bisa mengikat hati sang istri
* Tips-tips bagi istri agar senantiasa dicintai oleh suami

Buku ini hadir kehadapan anda sebagai jawaban atas ketidaktahuan kita bagaimana cara untuk memperindah jalinan cinta suami istri agar mencapai kebahagiaan sejati di antara keduanya, yaitu kebahagiaan sesungguhnya yang diimpikan oleh setiap insan, baik di dunia maupun di akhirat kelak.

-----------------------------------------

Cara pembelian
SMS dengan format :
(buku) KADO PERNIKAHAN (nama) (alamat)
Kirim ke : 0856 4231 8421


Contoh:
(buku)
KADO PERNIKAHAN (Santoso) (Kec. Grogol, Kab. Sukoharjo)

Selanjutnya kami akan segera membalas dan memproses pesanan anda.
Informasi pembelian buku:
Telp/SMS: 0856 4231 8421
Pin BBM: 5782EAE1
 
Prosedur pembelian
  1. Kirim SMS pesanan ke nomor 0856 4231 8421.
  2. Kami akan konfirmasi harga dan biaya kirim.
  3. Membayar sejumlah harga pesanan dan biaya kirim ke rekening: Bank Syariah Mandiri (BSM) a.n. Sukrisno Santoso, Nomor rekening: 7076497065
  4. Kami akan mengirimkan pesanan setelah transfer pembayaran sudah masuk.
  5. Kami akan mengirimkan SMS yang berisi nomor resi pengiriman sebagai bukti bahwa barang pesanan benar-benar sudah dikirim.
 
 

25 April 2014

Kisah Orang yang Masuk Neraka dan Masuk Surga Gara-gara Seekor Lalat


Katakanlah, sesungguhnya shalatku, sembelihanku (ibadahku), hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. Al-An’am: 162)

Dalam menafsirkan ayat tersebut, Ibnu Katsir berkata, “Allah memerintahkan Rasulullah agar memberitahukan kepada orang-orang musyrik yang menyembelih selain untuk Allah dan menyembelih dengan menyebut selain nama-Nya, bahwa dalam hal itu beliau berseberangan dengan mereka. Karena sesungguhnya shalatnya untuk Allah dan sembelihannya adalah atas nama-Nya saja yang tiada sekutu bagi-Nya.

Hal ini sama seperti firman-Nya, “Maka dirikanlah shalat karena Rabb-mu dan berkurbanlah,” (QS. Al-Kautsar: 2). Dengan pengertian, serahkanlah dengan tulus ikhlas kepada-Nya, shalat dan penyembelihanmu itu. Karena orang-orang musyrik itu menyembah berhala dan menyembelih untuk para berhala tersebut. Maka Allah memerintahkan beliau (Rasulullah) untuk menyelisihi mereka dan berpaling dari apa yang mereka lakukan, dan mengarahkan tujuan, niat, dan keinginan hanya tertuju pada Allah semata.”

Berkurban merupakan bentuk salah satu ibadah. Ibadah haruslah ditujukan hanya untuk Allah. Berkurban (menyembelih) untuk selain Allah merupakan kesyirikan. Dan syirik adalah dosa terbesar. Sebagaimana perkataan Adz-Dzahabi dalam kitabnya Al-Kaba’ir, “Dosa terbesar adalah syirik, menyekutukan Allah.”

Kemudian Adz-Dzahabi menyebutkan dua macam kesyirikan, yang salah satunya yaitu, “menjadikan sesuatu sebagai salah satu tandingan Allah dan atau beribadah kepada selain-Nya, baik berupa batu, pohon, matahari, bulan, nabi, guru, bintang, raja, maupun yang lain.”

Dalam Kitabut Tauhid bab “Menyembelih Binatang Bukan Karena Allah”, Muhammad bin Abdulwahab menyebutkan kisah orang yang berkurban dengan seekor lalat yang menyebabkan ia masuk neraka. Kisah ini dituturkan oleh Rasulullah yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad.

Rasulullah bersabda, “Ada seseorang yang masuk surga karena seekor lalat, dan ada lagi yang masuk neraka karena seekor lalat pula.”Para sahabat bertanya, “Bagaimana itu bisa terjadi, ya Rasulullah?
Rasul menjawab, “Ada dua orang berjalan melewati sekelompok orang yang memiliki berhala, yang mana tidak boleh seorang pun melewatinya kecuali dengan mempersembahkan sembelihan binatang untuknya terlebih dahulu.
Maka mereka berkata kepada salah satu di antara kedua orang tadi, ‘Persembahkanlah sesuatu untuknya! Ia menjawab, ‘Saya tidak mempunyai apapun yang akan saya persembahkan untuknya.’ Mereka berkata lagi, “Persembahkan untuknya walaupun seekor lalat!’
Ia pun mempersembahkan untuknya seekor lalat, maka mereka lepaskan ia untuk meneruskan perjalanannya, dan ia pun masuk ke dalam neraka karenanya.
Kemudian mereka berkata lagi kepada seseorang yang lain, ‘Persembahkanlah untuknya sesuatu!’ Ia menjawab, “Aku tidak akan mempersembahkan sesuatu apapun untuk selain Allah. Maka mereka pun memenggal lehernya, dan ia pun masuk ke dalam surga.”

Muhammad bin Abdulwahab menyebutkan beberapa faidah dari kisah tersebut di antaranya:
1. Masuknya orang tersebut ke dalam neraka dikarenakan mempersembahkan seekor lalat yang ia sendiri tidak sengaja berbuat demikian, tapi ia melakukan hal tersebut untuk melepaskan diri dari perlakuan buruk para pemuja berhala itu.

2. Mengetahui besarnya bahaya kemusyrikan dalam pandangan orang-orang mukmin, bagaimana ketabahan hatinya dalam menghadapi eksekusi hukuman mati dan penolakannya untuk memenuhi permintaan mereka, padahal mereka tidak meminta kecuali amalan lakhiriyah saja.

3. Mengetahui bahwa amalan hati adalah tolok ukur yang sangat penting, walaupun bagi para pemuja berhala.

***
Referensi:

Ibnu Katsir. Tafsir Al-Qur’anil Adzim. Peneliti dan Peringkas: Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin Ishaq Alu Syaikh. (Terjemahan: Tafsir Ibnu Katsir. 2008. Jakarta: Penerbit Pustaka Imam Syafi’i)

Adz-Dzahabi. Al-Kaba’ir. (Terjemahan: Dosa-dosa Besar. 2007. Surakarta: Penerbit Pustaka Arafah)

Muhammad bin Abdulwahab. Kitabut Tauhid. (Terjemahan: Kitab Tauhid. 2009. Yogyakarta: Penerbit Media Hidayah)

***

Sukrisno Santoso
Ditulis pada hari Jumat, 25 April 2014, di rumah, Kota Sukoharjo



Kitab Apa yang Perlu Kita Pelajari

Kitab Apa yang Perlu Kita Pelajari

Kebodohan adalah kematian bagi manusia sebelum mereka mati
Dan tubuh mereka bak kuburan sebelum mereka dikuburkan
Dan ruh mereka ingin kembali kepada tubuhnya
Akan tetapi mereka tidak akan dibangkitkan hingga hari kebangkitan


Syair tersebut disebutkan oleh Ibnu Qayyim Al-Jauziyah dalam kitabnya Miftah Dar As-Sa’adah. Kebodohan adalah penyakit kronis yang harus diobati karena kebodohan adalah pangkal kesesatan dan kesengsaraan. Obat kebodohan adalah belajar dan menuntul ilmu.

Ibnu Qayyim Al-Jauziyah berkata, “Mengenai kemuliaan ilmu dan pemiliknya, maka Allah telah menyatakan ketidaksetaraan antara orang-orang yang berilmu dan orang-orang yang tidak berilmu, sebagaimana Allah membedakan antara penghuni neraka dengan penghuni surga. Allah berfirman, "Katakanlah (Muhammad), tidak sama antara orang yang mengetahui dengan orang yang tidak mengetahui." (QS. Az-Zumar: 9)
"Tidak sama antara penghuni neraka dan penghuni surga." (QS. Al-Hasyr: 20)
Ini menunjukkan tingginya kemuliaan dan keutamaan mereka.

Allah memposisikan orang-orang bodoh sebagai orang-orang buta. Allah berfirman, "Apakah orang yang mengetahui bahwa hanya kebenaran yang diturunkan kepadamu sama dengan orang buta?" (QS. Ar-Ra'ad: 19)

Jadi di sini hanya ada dua komunitas, yaitu orang-orang berilmu dan orang-orang bodoh. Dan di dalam beberapa ayat Al-Qur'an, Allah SWT menyebutkan bahwa orang-orang bodoh adalah orang yang tuli, bisu, dan buta.”

Menuntut ilmu adalah aktivitas yang panjang. Agar memudahkan dalam menuntut ilmu, seseorang haruslah mengetahui mana ilmu yang penting dan yang lebih penting untuk dipelajari. Mempelajari ilmu haruslah dimulai dari dasar-dasarnya karena orang yang tidak menguasai yang dasar akan kesulitan memahami tingkatan ilmu selanjutnya.

Dalam Hilyah Thalibil ‘Ilmu disebutkan sebuah ungkapan, “Barangsiapa yang tidak menguasai dasar-dasar ilmu dengan baik pasti gagal meraihnya.”

Yang pertama-tama harus dilakukan oleh para penuntut ilmu adalah mempelajari Al-Quran dan menghafalnya. Para ulama terdahulu menghafal Al-Quran sejak kecil. Setelah menghafal Al-Quran, mereka pergi ke majelis-majelis para ulama untuk belajar hadits dan lainnya.

Kitab-kitab yang menjadi rujukan dalam mempelajari ilmu bermacam-macam sesuai dengan kondisi dan madzab. Bakr bin Abdullah Abu Zaid mengatakan dalam Hilyah Thalibil Ilmi, “Ketahuilah, daftar buku mukhtashar maupun buku besar yang menjadi rujukan dalam menuntut ilmu di kalangan para syaikh umumnya berbeda-beda antara satu kawasan dengan kawasan lain, sesuai dengan perbedaan madzab serta buku mukhtashar manakah yang dikuasai dan biasa dipelajari para ulama di kawasan tersebut dalam proses pendidikannya.

Di sini, kondisi juga berbeda-beda antara satu murid dengan murid lain, sesuai dengan perbedaan tingkat intelektual, pemahaman, kuat-lemahnya bakat, serta tajam-tumpulnya kecerdasannya.”

Kemudian Bakr bin Abdullah Abu Zaid menyebutkan kitab-kitab yang biasa dipelajari sesuai tingkatannya.

1. Dalam bidang tauhid:
  • Tsalatsatul Ushul wa Adillatuha karya Muhammad bin Abdulwahab
  • Al-Qawa’idul Arba’ karya Muhammad bin Abdulwahab
  • Kasyfusy Syubuhat karya Muhammad bin Abdulwahab
  • Kitabut Tauhid karya Muhammad bin Abdulwahab

2. Dalam bidang tauhid asma’ wa shifat:
  • Al-Aqidah Wasithiyyah karya Ibnu Taimiyah
  • Al-Hamawiyyah karya Ibnu Taimiyah
  • At-Tadmuriyyah karya Ibnu Taimiyah
  • Al-Aqidah Ath-Thahawiyah karya Ath-Thahawi beserta syarahnya

3. Dalam bidang nahwu:
  • Al-Ajurumuyyah karya Al-Hariri
  • Mulhatul I’rab karya Al-Hariri
  • Qathrun Nada karya Ibnu Hisyam
  • Alfiyyah karya Ibnu Malik beserta syarahnya yang ditulis oleh Ibnu Aqil

4. Dalam bidang hadits:
  • Al-Arba’in karya An-Nawawi
  • ‘Umdatul Ahkam karya Al-Maqdisi
  • Bulughul Maram karya Ibnu Hajar Al-Asqalani
  • Al-Muntaqa karya Al-Majd Ibnu Taimiyah
  • berlanjut pada pembacaan enam kitab induk dan lainnya

5. Dalam bidang musthalah hadits:
  • Nukhbatul Fikar karya Ibnu Hajar Al-Asqalani
  • Alfiyyah karya Al-Iraqi

6. Dalam bidang fikih:
  • Adabul Masyyi ilash Shalah karya Muhammad bin Abdulwahab
  • Zadul Mustaqni’ karya Al-Hijawi
  • ‘Umdatul Fiqh dan Al-Muqni’ karya Ibnu Qudamah Al-Maqdisi untuk perbedaan pendapat.
  • Al-Mughni karya Ibnu Qudamah Al-Maqdisi untuk perbedaan pendapat tingkat tinggi.

7. Dalam bidang ushul fikih:
  • Al-Waraqat karya Al-Juwaini
  • Raudhatun Nazhir karya Ibnu Qudamah

8. Dalam bidang faraidh:
  • Ar-Rahabiyyah beserta beberapa syarahnya
  • Al-Fawa’idh Al-Jaliyah

9. Dalam bidang tafsir:
  • Tafsirul Al-Qur’anil Adzim karya Ibnu Katsir 

10. Dalam bidang ushul tafsir:
  • Al-Muqaddimah karya IbnuTaimiyah

11. Dalam bidang sirah nabawiyah:
  • Mukhtashar Sirah Rasul karya Muhammad bin Abdulwahab
  • As-Sirah An-Nabawiyah karya Ibnu Hisyam
  • Zadul Ma’ad karya Ibnu Qayyim Al-Jauziyah

12. Dalam bidang bahasa Arab:
  • Al-Mu’allaqat As-Sab
  • Al-Qamus karya Fairuz Abadi

Kemudian Bakr bin Abdullah Abu Zaid memberikan tambahan, “Para penuntut ilmu juga membaca secara cepat kitab-kitab tebal seperti kitab Tarikh dan Tafsir yang ditulis oleh Ibnu Jarir dan Ibnu Katsir. Mereka juga fokus mengkaji buku-buku karya Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, juga buku dan fatwa para ulama pemuka dakwah di bidang akidah.”

***
Referensi:
Bakr bin Abdullah Abu Zaid. Hilyah Thalibil 'Ilmi. (terjemah: Perhiasan Penuntut Ilmu. 2014. Surakarta: Penerbit Al-Qowam

Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah. Miftah Dar As-Sa’adah. (Terjemahan: Kunci Kebahagiaan. 2004. Jakarta: Penerbit Akbar Media Eka Sarana. Ebook oleh Maktabah Raudhatul Muhibbin)

***
Sukrisno Santoso
Ditulis pada hari Jumat, 25 April 2014, di Masjid Munazayid, SMPIT Mutiara Insan Sukoharjo


23 April 2014

Keridhaan dan Ketenangan


Ketika ujian semakin terasa berat, mungkin kita merasakan seolah-olah Allah berlaku zalim kepada kita. Kita merasa ditelantarkan, dihinakan, dan dijatuhkan ke dalam jurang kehancuran. Namun, apakah kita akan menolak takdir itu? Sekali-kali tidak, karena kita tidak mempunyai hak dan tidak mempunyai kemampuan untuk menolak takdir.

Umar bin Khaththab pernah berkata, 
“Aku tidak peduli dengan keadaanku, apakah aku dalam hal yang aku senangi, atau yang aku benci. Itu karena aku tidak tahu apakah kebaikan itu terdapat dalam hal yang aku senangi atau dalam hal yang aku benci.”

Sikap yang baik dalam menghadapi ujian adalah ridha atas ketentuan Allah tersebut. Meskipun kita membenci kejadian buruk menimpa kita, akan tetapi “boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 216)

Dalam kitab Jadid Hayataka, Muhammad A-Ghazali mengatakan, 
“Ketentuan yang dialami manusia yang tidak menyenangkannya, tidak ada tempat untuk menyesal atau kecewa dan tidak ada tempat untuk khawatir dan ragu.”

Ketentuan Allah yang “dirasakan tidak menyenangkan” bagi orang-orang beriman tidak ada tempat untuk menghindarinya atau menyesalinya. Juga tidak ada kekhawatiran dan ketakutan. Karena orang-orang yang beriman sudah memasrahkan jiwanya untuk ditimpa ketentuan apapun yang datang dari Allah. Keridhaan semacam itulah yang melahirkan ketenangan hati dan ketenteraman pikiran.

Umar bin Khaththab berkata, “Sesungguhnya kebaikan itu semuanya berada dalam keridhaan. Jika engkau mampu untuk ridha, maka lakukanlah. Dan jika tidak bisa maka bersabarlah.”

Dalam kitabnya, Syarh Ushul Iman, Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin menyebutkan salah satu buah iman kepada takdir yaitu dapat menimbulkan ketenangan serta kepuasan jiwa terhadap seluruh takdir yang terjadi, tidak gelisah karena hilangnya sesuatu yang disukai atau sesuatu yang tidak disukai menimpanya. Karena dia tahu bahwa hal itu terjadi dengan takdir Allah, Pemilik langit dan bumi dan bahwa hal itu pasti akan terjadi.

Aidh Al-Qarni memberikan nasehat dalam kitabnya Hada’iq Dzatu Bahjah, “Ridha kepada Allah akan membuat Anda senantiasa ridha dengan semua hukum syariah-Nya sehingga Anda akan ridha dengan semua perintah-Nya dan taat menjalankannya. Anda akan ridha dengan semua larangan-Nya dengan senantiasa menjauhinya.

Anda akan ridha dengan takdirnya yang terasa getir sehingga akhirnya Anda akan ridha dengan semua nikmat dan musibah. Anda akan senantiasa tenang dalam keterhalangan dan pemberian, dalam kesulitan dan kemudahan.

Anda akan ridha kepada-Nya jika Dia memberi kesehatan dan memberi kesembuhan. Anda akan ridha dengan semua cobaan yang Allah timpakan kepada Anda. Anda akan ridha kepada-Nya jika Dia membuat Anda sakit.

Anda akan ridha jika Allah menempatkan Anda dalam penjara sehingga Anda terisolasi. Anda ridha jika Dia membuat Anda kaya dan memanjakan Anda. Anda ridha jika Dia menjadikan Anda fakir dan tak berdaya.

Allah sangat senang jika hambanya ridha dengan semua ketentuan-Nya. Dia Mahabijaksana. Tak diragukan lagi bahwa semua takdir dan qadha-Nya adalah baik. Dia Maha Pengatur dan semua rekayasa-Nya adalah baik.

Dia akan senantiasa memilih yang terindah, paling sempurna, dan paling utama bagi hamba-Nya. Oleh karena itu, janganlah Anda menentang semua pilihan-Nya dengan kebencian. Janganlah Anda membentur semua takdir-Nya dengan penolakan. Jangan pula Anda merespon ketentuan-Nya dengan pembangkangan.”

***
Referensi:
Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin. Syarh Ushul Iman. (Terjemahan: Penjelasan Tentang Prinsip-prinsip Dasar Keimanan. 2007. Ebook oleh islamhouse.com)

Aidh Abdullah Al-Qarni. Hada’iq Dzatu Bahjah. (Terjemahan: Berbahagialah. 2004. Jakarta: Penerbit Pustaka Al-Kautsar)

Muhammad Al-Ghazali. Jadid Hayataka. (Terjemahan: Perbaharuilah Hidupmu. 2009. Yogyakarta: Sajadah Press.)

Shalih Ahmad Asy-Syami. Mawa’izu Ash-Shahabah. (Terjemahan: Untaian Hikmah Penggugah Jiwa. 1999. Sukoharjo: Penerbit Roemah Buku)
***

Sukrisno Santoso
Ditulis pada hari Rabu, 23 April 2014, di rumah, Kota Sukoharjo


20 April 2014

Kisah Dahsyatnya Doa dalam Mendapatkan Keturunan


Ketahuilah bahwa Allah senang apabila hamba-Nya memohon kepada-Nya. Rasulullah bersabda, “Mohonlah kepada Allah dari karunia-Nya, karena Allah suka jika dimintai dari karunia-Nya, dan tidak ada sesuatu yang diminta dari Allah yang lebih disukai-Nya selain dari afiat." (HR. Tirmizi)

Dalam beberapa ayat Allah memerintahkan hamba-Nya untuk berdoa. Allah memiliki sifat Maha Mengabulkan Doa. Barangsiapa yang dengan tulus berdoa kepada-Nya, niscaya akan terkabul permohonannya.

  • Dan, apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwa Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku." (QS. Al-Baqarah: 186)
  • Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut." (QS. Al-A'raf : 55).
  • Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan kuperkenankan kepada kalian.” (QS. Al-Mukmin: 60)
Dalam menafsirkan Surat Al-Baqarah ayat 186, Ibnu Katsir berkata, “Allah tidak akan mengecewakan orang yang berdoa kepada-Nya, dan tidak sesuatu pun menyibukkan (melalaikan) Dia. Bahkan, Dia Maha Mendengar Doa. Di dalam pengertian ini terkandung anjuran untuk berdoa dan bahwa Allah tidak akan menyia-nyiakan doa yang dipanjatkan kepada-Nya.”

Kemudian Ibnu Katsir menyebutkan beberapa hadits tentang anjuran dan pengabulan doa. Di antaranya:
  • “Sesungguhnya Allah benar-benar malu bila ada seorang hamba mengangkat kedua tangannya memohon suatu kebaikan kepada-Nya, lalu Allah menolak permohonannya dengan kedua tangan yang hampa.” (HR. Ahmad)
  • “Tiada seorang muslim pun yang memanjatkan suatu doa keapda Allah yang di dalamnya tidak mengandung permintaan yang berdosa dan tidak pula memutuskan silaturahim, melainkan Allah pasti memberinya berkat doa itu salah satu dari tiga perkara berikut, yaitu: Adakalanya permohonannya itu segera dikabulkannya, adakalanya permohonannya itu disimpan oleh Allah untuknya kelak di hari kemudian, dan adakalanya dipalingkan darinya suatu keburukan yang semisal dengan permohonannya itu. Mereka (para sahabat berkata, “Kalau begitu, kami akan memperbanyak doa.” Nabi Saw. menjawab, “Allah Maha Banyak (Mengabulkan Doa).” (HR. Ahmad)

Ibnu Qayyim AL-Jauziiyah dalam kitabnya Madarius Salikin berkata, “Hamba mempunyai hak atas Allah, seperti memberikan pahala kepada hamba-hamba yang taat, menerima taubat di antara mereka yang bertaubat dan memenuhi doa mereka. Inilah hak-hak terpenting yang dipenuhi Allah, sesuai dengan hukum janji dan kemurahan-Nya, bukan karena itu semua merupakan hak yang bisa dituntut dari-Nya.”

Demikian dahsyatnya doa. Tak inginkah kita memohon kepada Dzat Yang Maha Mengabulkan Doa. Banyak kebutuhan yang belum tercukupi, mengapa tidak memohon kepada Allah untuk mencukupinya. Banyak keingingan belum terwujud, mengapa tidak memohon kepada Allah untuk mewujudkannya. Banyak halangan dan musibah dalam hidup ini, mengapa tidak memohon kepada Allah untuk meneguhkan hati dan menghilangkan musibah.

Dahsyatnya doa dibuktikan dalam kisah yang disampaikan oleh Abdul Malik bin Muhammad Al-Qasim dalam kitabnya Az-Zaman Al-Qadim berikut ini.

***

Aku sudah menikah lebih dari tujuh tahun. Alhamdulillah, segala yang aku dambakan –dalam pandanganku- sudah aku dapatkan. Aku sudah mapan dalam pekerjaan dan sudah mapan dalam pernikahanku. Yang kukeluhkan hanyalah rasa bosa. Aku dan istriku belum juga dikaruniai seorang anak. Aku pun mulai diiliputi kejemuan.
Aku sudah banyak mengunjungi dokter. Aku yakin bahwa aku sudah semaksimal mungkin. Aku pergi berobat di dalam dan luar negeri. Ketika aku mendengar ada seorang dokter spesialis kemandulan baru datang, aku segera membuat janji untuk konsultasi.
Berbagai kiat banyak diberikan, dan obat-obatan lebih banyak lagi. Namun, tidak ada gunanya sama sekali. Lebih sering kami berbicara tentang dokter “fulan” dan apa yang dia katakan dan apa yang akan kami alami.
Masa menunggu itu terus berlangsung selama setahun atau dua tahun. Masa pengobatan itu lama sekali. Ada yang menyatakan bahwa kemandulan itu berasa dari diriku. Namun, sebagian lain menyatakan bahwa itu berasal dari istriku. Hari-hari kami hanya diisi dengan pemeriksaan dan pemecahan masalah tersebut. 
Bayangan tentang anak menguasai jiwa kami. Padahal, aku sudah berusaha untuk tidak mengusik perasaan istriku. Namun, segala yang berlangsung tetap mengusik perasaannya.
Banyak pertanyaan yang muncul. Ada yang bertanya kepada istriku, “Apa lagi yang kamu tunggu?” Seolah urusan itu berada di tangan istriku.
Ada lagi yang menyarankan agar ia berobat kepada dokter “fulan” di suatu tempat. Seseorang sudah mencoba ke sana dan kini sudah melahirkan anak. Demikian juga orang lain. Begitulah, orang-orang di sekitar istriku memiliki banyak andil dalam melontarkan pertanyaan. Namun, tak seorang pun yang berkata kepada kami, “Mengapa tidak menghadap kepada Allah dan berdoa kepada-Nya dengan penuh keikhlasan?”
Berlalu sudah tujuh tahun, kami seolah menjulurkan lidah di belakang para dokter dan lupa berdoa. Kami lupa berserah diri kepada Allah.
Pada suatu sore, aku menyeberang jalan. Tiba-tiba kulihat seorang laki-laki buta menyeberang jalan yang sama. Aku segera menuntunnya dan menyeberang separuh jalan bersamanya. Di tengah jalan, kami berhenti. Kami menunggu sampai bagian jalan di seberang menjadi agak sepi dari kendaraan.
Lelaki itu menyempatkan untuk bertanya kepadaku, setelah sebelumnya mendoakan diriku agar sehat dan mendapat taufik.“Anda sudah menikah?” tanyanya.“Sudah,” jawabku.
Ia bertanya lagi, “Sudah punya anak?”“Allah belum menakdirkannya untukku,” jawabku. “Sudah tujuh tahun kami menunggu kabar gembira itu.”
Kami pun menyeberangi jalan. Ketika kami hendak berpisah, lelaki itu berkata, “Wahai anakku, Aku sudah pernah mengalami apa yang engkau alami. Namun, dalam setiap shalat aku berdoa, ‘Ya Tuhanku janganlah Engkau membiarkan aku hidup seorang diri dan Engkaulah waris yang paling baik’ (QS. Al-Anbiya’: 89). Alhamdulillah, kini aku sudah memiliki tujuh orang anak.”
Lelaki tua itu menekan tanganku sambil berkata, “Jangan lupa berdoa.”Sebelumnya, aku tidak mengharapkan nasehat seperti itu. Aku sudah mendapatkan sesuatu yang hilang.
Aku menceritakan kejadian itu kepada istriku. Kami pun tertarik memperbincangkannya. Mengapa selama ini kami tidak berdoa? Padahal, segala sesuatu sudah kami cari dan kami coba.

Semua dokter sudah kami dengarkan ucapannya dan sudah kami ketuk pintu rumahnya. Mengapa kami tidak pernah mengetuk pintu Allah? Padahal, itulah pintu terbesar dan pintu terdekat. Istriku juga baru ingat bahwa ada wanita tua yang pernah menasehatinya dua tahun yang lalu, “Hendaknya engkau berdoa.”
Namun, sebagaimana dikisahkan istriku, kala itu kami sudah memiliki banyak jam konsultasi bersama banyak dokter sehingga kami sudah terbiasa mengkonsultasikan persoalan kami dengan para dokter tersebut. Tanpa rasa khawatir atau gelisah, hanya sebatas konsultasi saja. Kami hanya menyelidiki cara penyembuhan yang terbatas saja, sebagai salah satu usaha.
Kami pun menghadap Allah dengan sepenuh hati dalam shalat wajib dan juga dalam shalat di tengah malam. Kami berusaha mencari waktu-waktu berdoa yang mudah dikabulkan.
Persangkaan kami tidaklah sia-sia. Kami pun juga tidak ditolak. Bahkan, Allah membuka pintu terkabulnya doa. Istriku hamil, dan akhirnya melahirkan seorang anak. Sungguh Maha Suci Allah, sebaik-baik pencipta.
Kami tidak bisa menyembunyikan kegembiraan dan suka cita. Dan kini yang selalu kami baca berulang-ulang ialah, “Ya Tuhan Kami, anugerahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa” (QS. AL-Furqan: 74).
***
Referensi:

Ibnu Katsir. Tafsir Al-Qur’anil Adzim. Peneliti dan Peringkas: Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin Ishaq Alu Syaikh. (Terjemahan: Tafsir Ibnu Katsir. 2008. Jakarta: Penerbit Pustaka Imam Syafi’i)

Ibnu Qayyim Al-Jauziyah. Madarijus Salikin. (Terjemahan: Madarijus Salikin: Pendakian Menuju Allah. 1999. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. Ebook oleh http:kampungsunnah.co.nr)

Abdul Malik bin Muhammad Al-Qasim. Az-Zaman Al-Qadim. (Terjemahan: Akhirnya Mereka Bertaubat). 2013. Jakarta: Penerbit Darul Haq)

***


Sukrisno Santoso
Ditulis pada hari Minggu, 20 April 2014, di rumah, Kota Sukoharjo

Seni Menuntut Ilmu


Ulama terdahulu sangat bersemangat dalam menuntut ilmu. Mereka mengetahui keutamaan ilmu dan keutamaan orang yang menuntut ilmu, serta keutamaan orang yang berilmu.
  • Imam Syafi’i berkata, “Siapa yang tidak mencintai ilmu, tidak ada kebaikan padanya.”
  • Ibnu Abbas berkata, “Mengulang ilmu dalam satu malam lebih baik bagiku daripada menghidupkan malam tersebut dengan ibadah.”
  • Abu Darda berkata, “Mempelajari satu masalah lebih kucintai dari qiyamullail.

Atas dasar cinta ilmu, mereka berjalan berbulan-bulan, menempuh jarak yang jauh, menahan cuaca yang dingin menusuk atau panas yang menyengat.
  • Ibnu Mandah pergi menuntut ilmu pada usia 20 tahun dan ia pulang dalam usia 65 tahun. Ia menghabiskan perjalanan menuntut ilmu selama 45 tahun.
  • Ya’kub bin Sufyan mengembara selama 30 tahun untuk menuntut ilmu.
  • Ibnu Najjar melakukan perjalanan menuntut ilmu selama 27 tahun.
  • Jabir bin Abdillah berjalan selama satu bulan untuk mencari satu hadits.

Mampukah kita menapak jejak para ulama dalam menuntut ilmu? Dalam menuntut ilmu dibutuhkan semangat yang membakar; motivasi yang tinggi; pikiran yang cemerlang; hati yang bersih; pemahaman yang mendalam; ketekunan dan ketelitian.

Bakr bin Abdullah Abu Zaid memberikan nasehat kepada para penuntut ilmu, “Milikilah sifat tekun dan teliti, terutama dalam menghadapi musibah dan tugas. Di antaranya adalah tekun dan sabar dalam belajar dan menjalani waktu demi waktu untuk belajar kepada guru. Karena. ‘Siapa yang tekun niscaya akan tumbuh’.

Agar tercapai kepemahaman ilmu, perlu kiat-kiat dalam menuntut ilmu. Aidh Al-Qarni menyebutkan beberapa seni menuntut ilmu dalam kitabnya yang bagus, Hada’iq Dzatu Bahjah. Ia menghimpun kaidah-kaidah cara dan adab dalam menuntut ilmu.

1. Semangat untuk menuntut ilmu akan membuat yang sulit menjadi mudah; siksa menjadi nikmat; jiwa akan memancar laksana api yang berkobar dan berlalu laksana awan.

2. Senantiasa menyibukkan diri dengannya siang dan malam; baik diam-diam atau secara terang-terangan dan selalu bersahabat dengannya.

3. Mengulang-ulang dan mempelajarinya pagi dan petang. Membahasnya dengan para ahli ilmu, baik yang tua maupun yang muda. Bertanya kepada mereka untuk lebih memperdalam.

4. Selalu melihat kualitas, bukan kuantitas. Memulainya dengan yang paling penting lalu yang penting. Mempelajari dengan sebaik-baiknya hingga tamat. Memiliki disiplin ilmu yang paling berfaedah dan paling umum.

5. Mempelajari yang panjang-panjang karena banyak faedah dan manfaat, memuaskan otak dengan bahasan panjang dan mengokohkan ilmu dengan cara mengulang-ulanginya.

6. Menjauhi matan-matan (teks) yang terlalu ringkas laksana teka-teki, sebab ia hanya melelahkan otak dan pikiran serta menyia-nyiakan waktu.

7. Memilih disiplin ilmu yang disukai jiwa, sebab ia akan merasuk ke kedalamannya. Dengan kecenderungan itu, ketidakjelasan akan menjadi sirna. Pemahaman akan semakin mendalam karena seringnya belajar.

8. Tidak tenggelam dalam sarana-sarana dengan mengabaikan tujuan dan maksud. Jangan sekali-kali berpaling dari ilmu walaupun hambatannya besar. Hendaknya senantiasa mengingat keutamaan seorang alim atas seorang ahli ibadah; dan bahwa orang yang menuntut ilmu itu sama dengan mujahid.

9. Perbanyaklah membaca istighfar agar awan-awan mencurahkan air laksana hujan yang deras. Dan setiap melakukan dosa maka segeralah bertaubat.

10. Keyakinan bahwa sesungguhnya ilmu itu adalah kekayaan paling berharga, teman duduk paling mulia, dan teman berjalan paling manis. Ia adalah pedang jika terjadi pedang, dan ia adalah simpanan saat kantong kempis.

11. Keindahan ilmu itu adalah memberikan perlindungan dan buahnya adalah mantapnya agama. Mahkotanya adalah amanah, dan mengamalkannya adalah seagung-agung bantuan. Sementara maksiat akan tunduk dan luluh dihadapannya.

12. Ilmu tidak akan kokoh mengakar kecuali dengan diajarkan, dan tidak akan bermanfaat kecuali dengan pelurusan terus-menerus. Barangsiapa yang tidak mengagungkannya maka ia tidak akan mendapat penghargaan.

13. Maksud dari ilmu adalah untuk taat kepada Sang Maha Rahman. Penyakitnya adalah lupa. Kegetirannya adalah iri pada teman, dan kegelapannya adalah kebohongan dan kedustaan.

14. Buku-buku orang-orang terdahulu lebih bermanfaat dan buku-buku yang bahasanya gampang akan lebih menancap dalam pemahaman. Karya-karya para imam lebih inovatif, tulisan-tulisan mengenai syariah lebih indah, lebih tinggi, dan lebih konprenhensif.

15. Buku-buku tentang filsafat itu rumit, orang yang pandai tentangnya tidak bisa memberi manfaat. Filsafat tidak memberi manfaat kepada orang-orang bodoh. Ia ditulis oleh orang-orang yang mengada-ada. Semuanya asing dan jauh dari wahyu.

16. Ambillah dari tafsir, kitab yang menerangkan makna dan maksud ayat, memperjelas kalimat-kalimat yang sulit , dan menunjukkan isyarat yang terdapat di dalamnya.

17. Wajib bagimu untuk mempelahari hadits sang musthafa Rasulullah, sebab ia akan mengantarkanmu pada keselamatan. Dia menjadi tujuan orang-orang yang memenuhi janji, memenuhi impian orang-orang yang bersih suci. Di dalamnya ada obat, ada kesenangan, dan kesembuhan jiwa.

18. Buku fikih yang paling baik adalah buku fikih yang dikuatkan dengan dalil, jauh dari perkataan omong kosong, selamat dari pendapat yang terlalu berat, dan ditulis dengan kalimat-kalimat yang indah.

19. Kebanyakan buku ushul fikih penuh dengan sesuatu yang membosankan dan menjemukan. Oleh karena itu, ambillah buku A’lam Al-Muwaqqi’in, Al-Muwafaqat, dan Ar-Risalah, karena pembahasannya meski mendalam namun gampang, jelas, dan lengkap.

20. Para penuntut ilmu itu akan menemukan demikian banyak disiplin ilmu. Dan ilmu hadits memiliki ujian kepedihannya sendiri. Jika orang yang menuntutnya tidak memiliki pengertian kecuali pengertian umum dari kandungan isinya, maka akan tercela tatkala ditanya mengenai disiplin ilmu yang lain, lalu ia mengatakan, “Usir dan janganlah kalian berbicara mengenainya.”

21. Jika seorang penuntut ilmu telah merasa pantas untuk menulis, maka hendaknya ia berhati-hati dalam tulisannya dengan memilih lafaz yang lembut dan makna yang mulia. Jangan terlalu mengambang, antara banyak dan sedikit.

22. Perbanyaklah berteman dengan kitab. Janganlah makanan dan minuman menyibukkannya, tidak juga keluarga dan sahabat. Dengan itu, ia akan memetik buah ilmu yang indah dan lezat. Jangan lupa, infakkan sebagian harta untuk membeli kitab.

23. Jangan tenggelam dalam mendalami sebuah disiplin ilmu yang tidak memberi banyak manfaat, seperti seseorang yang menghabiskan umurnya untuk mendalami ilmu nahwu yang berat, atau ilmu ‘arudh-nya Al-Khalil, atau syair yang kotor, atau kisah-kisah yang tidak memiliki sumber dan dasar.

24. Ketahuilah bahwa keunggulan itu ada pada akal yang sehat, hafalan nan indah, lisan yang fasih. Pemahaman tanpa hafalan laksana wajah yang terluka, hafalan tanpa pemahaman laksana orang yang pincang, sedangkan hafalan dan pemahaman tanpa fashahah laksanan jasad yang dilempar.

***
Referensi:
Bakr bin Abdullah Abu Zaid. 
Hilyah Thalibil 'Ilmi(terjemah: Perhiasan Penuntut Ilmu. 2014. Surakarta: Penerbit Al-Qowam

Aidh Abdullah Al-Qarni. Hada’iq Dzatu Bahjah. (Terjemahan: Berbahagialah. 2004. Jakarta: Penerbit Pustaka Al-Kautsar)
Abu Anas Majid Al-Bankani. Rihlatul Ulama fi Thalabil Ilmi. (Terjemahan: Perjalanan Ulama Menuntut Ilmu. 2012. Bekasi: Penerbit Darul Falah)
***

Sukrisno Santoso
Ditulis pada hari Sabtu, 19 April 2014, di rumah, Kota Sukoharjo


19 April 2014

Ilmuwan yang ‘Alim


Dikotomi ilmu dunia dan akhirat telah menjadikan umat Islam menjadi umat yang hanya mendalami beberapa ilmu saja dan meninggalkan ilmu yang lain. Ada yang sangat ahli dalam ilmu teknik, namun tidak mengerti sama sekali bahasa Arab. Yang lain ahli dalam bidang ekonomi, namun tidak paham syarat sah shalat. Yang lain lagi menjadi master dalam bidang teknologi, namun tidak mengetahui sifat-sifat Allah. Yang lain menjadi politisi, namun jauh dari nilai-nilai keislaman.

Masih ada yang berpandangan bahwa “ilmu dunia” sama sekali tidak berfaidah untuk dipelajari. “Ilmu dunia” dianggap bukan ilmu yang mulia.

Sungguh ini adalah suatu kekeliruan dalam pandangan. Tidakkah kita melihat seorang Umar bin Khaththab, seorang yang dikatakan oleh Rasulullah sebagai orang yang diberikan ilham oleh Allah. Tak diragukan lagi beliau sangat memahami ilmu agama. Dan beliau adalah seorang pemimpin yang ulung. Mengatur pemerintahan dengan adil dan bijaksana.

Abdurrahman bin Auf, seseorang yang ketika rombongan perniagaannya sejumlah 700 kendaraan beserta muatannya datang ke Mekkah, disangka oleh orang-orang Mekkah sedang terjadi angin ribut yang menyapu dan menerbangkan pasir. Hal itu karena besarnya rombongan itu dan banyaknya harta benda yang diangkutnya. Besarnya infaq beliau di jalan Allah, sungguh hanya Allah yang mengetahui. Harta beliau halal lagi berkah. Hingga Utsman bin Affan pun berkata, “Harta Abdurrahman bin 'Auf halal lagi bersih, dan memakan harta itu membawa selamat dan berkah”.

Lalu, lihatlah kepada Khalid bin Walid, yang dijuluki saiffullah ‘Pedang Allah’. Seorang jenderal perang yang tak terkalahkan. Rasulullah pernah berkata tentang Khalid bin Walid sebelum keislamannya, “Orang seperti dia, tidak dapat tanpa diketahui dibiarkan begitu saja. Dia harus diincar sebagai calon pemimpin Islam. Jika dia menggabungkan diri dengan kaum muslimin dalam peperangan melawan orang-orang kafir, kita harus mengangkatnya kedalam golongan pemimpin.”

Zaid bin Tsabit, sang sekretaris Nabi. Seorang ahli bahasa, menguasai berbagai bahasa asing. Dialah yang menulis surat-surat Rasulullah kepada penguasa negeri lain. Dialah yang telah mengumpulkan Al-Quran atas perintah Abu Bakar Ash-Shidiq.

Tidakkah kita mengenal Ummul Mukminin, Aisyah binti Abu Bakar, seorang ahli pengobatan. Dan tak diragukan lagi keilmuan beliau dalam syariat Islam hingga beliau sering dijadikan rujukan dalam suatu permasalahan.

Sudah lupakah kita dengan nama-nama ilmuwan muslim sekaliber dunia. Al-Khawarizmi, seorang ahli Matematika dan astronomi. Ia adalah penemu aljabar hingga dia dijuluki Bapak Aljabar. Al-Farabi, seseorang yang ahli dalam Filsafat dan Matematika. Ibnu Hayyan, sang ilmuwan kimia, yang penemuannya menjadi pijakan keilmuan dalam bidang kimia.

Al-Mawardi yang menulis kitab Al-Ahkam Al-Sulthaniyah (tentang tata pemerintahan), Qanun Al-Wazarah (tentang kementerian), dan Nasihat Al-Mulk (nasehat kepada penguasa). Ibnu Khaldun dengan kitabnya yang monumental, Muqaddimah. Ia seorang yang ahli sejarah, sosiologi, dan ekonomi.

Sungguh sangat besar sumbangan para ilmuwan muslim bagi kemajuan keilmuan dunia. Mereka menjadi menara ilmu yang hasil karyanya dinikmati oleh seluruh umat di dunia. Mereka adalah ilmuwan yang ahli agama. Atau ulama yang ahli ilmu. Mereka mendalami semua ilmu yang bermanfaat.

Pada masa sekarang kita mendapati nama-nama ulama yang juga mempelajari ilmu-ilmu sarana yang lain. 


  • Syaikh Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim, seorang ulama dengan kitab terbaiknya Shahih Fiqh Sunnah, adalah seorang sarjana engineering
  • Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid, ulama masa kini yang lulusan Bachelor Manajemen Industri. 
  • Syaikh Musthafa Al-‘Adawi, ulama dari Mesir, seorang sarjana Teknik Mesin. 
  • Syaikh Amru bin Abdul Mun’im bin Abdul Ali Alu Salim, ulama dari Mesir juga, yang lulusan ilmu komputer.

Sesungguhnya, semua ilmu adalah sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah. Mereka, para ilmuwan muslim, berpijak pada ajaran-ajaran Islam untuk mengembangkan ilmu-ilmu teknologi, sains, sosial, humaniora, ekonomi, dan lain-lain. Hingga Allah pun mengangkat dan mengabadikan nama mereka.

Dikotomi “ilmu dunia” dan “ilmu akhirat” hanyalah sesuatu yang semu. Sesuatu yang dibuat-buat untuk menjauhkan umat Islam dari ilmu-ilmu yang sangat bermanfaat jika dipelajari. Saat ini umat Islam membutuhkan orang-orang yang pandai dalam agama dan menguasai bidang ilmu yang bermanfaat untuk umat. Misalnya, seorang ahli ekonomi yang akan menggunakan keahliannya untuk membangun ekonomi umat. Seorang ahli kedokteran yang akan memberikan pengobatan yang halal bagi umat Islam. Seorang ahli teknologi yang akan mengembangkan teknologi untuk kemajuan umat Islam.

Wallahu ‘alam
***

Tulisan ini terinspirasi dari artikel “Ilmuwan yang Menjadi Ulama” yang ditulis oleh Muhammad Abduh Tuasikal, M.Sc. dalam rumasyo.com

Muhammad Abduh Tuasikal, M.Sc. mengenyam pendidikan S1 di Teknik Kimia UGM Yogyakarta dan S2 Polymer Engineering di King Saud University Riyadh. Pernah menimba ilmu kepada beberapa ulama; Syaikh Shalih Al-Fauzan, Syaikh Sa’ad Al-Asy Syatsri, dan Syaikh Shalih Al-Ushoimi. Saat ini menjadi Pimpinan Pondok Pesantren Darush Sholihin, Gunungkidul.
***

Referensi:
“Ilmuwan yang Menjadi Ulama”. 2012. Muhammad Abduh Tuasikal, M.Sc. dalam rumasyo.com

“Tokoh Islam” dalam http://alsofwah.or.id. Ebook oleh La Adri At Tilmidz

“Ilmuwan Islam Dunia”. Dalam id.wikipedia.org
***

Sukrisno Santoso
Ditulis pada hari Minggu, 6 April 2014, di rumah, Kota Sukoharjo


18 April 2014

Sedekah Secara Sembunyi-sembunyi



Seseorang bertanya kepada Ustadz Abdullah Shaleh Hadrami, “Ustadz tahu apa makanan saya?”
Ustadz Abdullah menjawab, “Apa?”
“Pujian manusia,” jawab orang itu dengan jujur.

Orang itu mempunyai banyak harta dan sering mengeluarkan infaq dan sedekah. Akan tetapi, sebagaimana diakuinya bahwa tujuannya ialah untuk mendapatkan pujian manusia. Orang tersebut ketika mendengarkan kajian tentang keikhlasan, hatinya merasa takut karena sangat jauh niatnya bersedekah dengan keikhlasan.

Kisah tersebut diceritakan oleh Ustadz Abdullah Shaleh Hadrami dalam kajiannya yang bertema “Ilmu Ikhlas”.

Orang-orang yang suka menyebut-nyebut pemberiannya kepada orang lain, difirmankah oleh Allah bahwa pahalanya terhapus. Allah berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 264,


“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia.”

Ibnu Katsir menjelaskan, “Maksudnya, janganlah kalian menghapuskan pahala sedekah kalian dengan menyebut-nyebut pemberian dan menyakiti si penerima sedekah, sebagaimana terhapusnya pahala sedekah yang dikerjakan karena riya’ kepada manusia. Ia memperlihatkan kepada orang-orang bahwa ia bersedekah untuk mencari keridhaan Allah, padahal niat yang sebenarnya adalah agar mendapat pujian orang lain serta bermaksud mendapatkan kepopuleran dengan sifat-sifat yang baik sehingga ia akan memperoleh ucapan terima kasih atau mendapat sebutan orang yang dermawan dan hal-hal duniawi lainyya, dengan memutuskan perhatiannya dari muamalah dengan Allah dan dari tujuan meraih keridhaan Allah serta memperoleh limpahan pahala-Nya.”

Allah berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 271, 


“Jika kamu menampakkan sedekah(mu), maka itu adalah baik sekali. Dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, maka Menyembunyikan itu lebih baik bagimu.”

Ibnu Katsir menjelaskan, “Di dalam ayat tersebut terdapat dalil yang menunjukkan bahwa memberi sedekah secara sembunyi-sembunyi itu lebih baik daripada menampakkannya, karena yang demikian itu lebih jauh dari sikap riya’. Namun, menampakkan sedekah bisa saja dilakukan jika akan mendatangkan kemaslahatan dan menjadi contoh bagi yang lain sehingga hal itu menjadi lebih afdhal. Pada dasarnya, bersedekah secara sembunyi-sembunyi itu lebih afdhal.”

Berikut ini beberapa teladan ulama salaf dalam hal sedekah secara sembunyi-sembunyi.

Abu Bakar Ash-Shidiq

Ada seorang nenek buta yang biasa dibantu oleh Umar bin Khaththab. Suatu hari Umar menjenguknya dan menemukan nenek itu telah dibantu seseorang. Rumah, makanan, dan lain sebagainya telah dalam keadaan baik. Umar bertanya pada nenek buta siapa itu orang yang membantunya. Nenek itu tidak bisa menjawab karena orang itu tidak memberitahukan namanya.
Umar berkali-kali datang ke rumah nenek itu dan menemukannya dalam keadaan baik dan rapi. Akhirnya ia memutuskan untuk mengawasi rumah nenek buta itu 24 jam. Sampai akhirnya ia masuk rumah nenek itu ketika ada seseorang masuk tengah malam. Ternyata orang itu adalah Abu Bakar.

Umar bin Khaththab
Imam Al-Auza’i meriwayatkan bahwa Umar bin Khaththab keluar di kegelapan malam. Thalhah melihatnya. Umar pergi dan masuk sebuah rumah. Lalu masuk rumah lain. Pagi harinya, Thalhah pergi ke rumah itu. Di sana ada seorang nenek tua buta sedang duduk. 
Thalhah berkata kepada nenek itu, “Mengapa orang ini mendatangimu?” Nenek menjawab, “Ia telah bernjanji kepadaku sejak begini dan begini. Ia mendatangiku membawa keperluanku dan mengeluarkan derita dariku.” Thalhah berkata, “Celaka kau Thalhah, apakah pada rahasia Umar kau mengintip-intip?”


Ali bin Al-Husein

Dahulu Ali bin Al-Husein biasa memanggul karung roti bakar (makanan) setiap malam untuk disedekahkan. Dan beliau pernah berkata, “Sesungguhnya sedekah dapat memadamkan kemurkaan Allah.”
Sedekah yang dikeluarkan oleh Ali bin Al-Husein ini tidak ada orang yang mengetahuinya. Bahkan, orang-orang yang diberi sedekah olehnya juga tidak tahu.
Dari Ibnu Aisyah, dia berkata, ayahku pernah berkata, “Aku pernah mendengar penduduk Madinah menyatakan, ‘Kami terus-menerus mendapatkan sedekah misterius (yang diberikan seseorang di malam hari), hingga Ali bin Al-Husein wafat.’”
Setelah Ali bin Al-Husein wafat, sedekah itu tidak datang lagi. Maka, orang-orang pun tahu bahwa yang memberikan sedekah ialah Ali bin Al-Husein. Karena seringnya memanggul karung makanan, pada bagian punggung beliau terdapat bekas-bekas menghitam.
Amr bin Tsabit berkata, “Tatkala Ali bin Al-Husein wafat dan orang-orang memandikannya, tiba-tiba mereka melihat bekas-bekas menghitam di punggung beliau. Mereka lantas bertanya, ‘Apa ini?’ Sebagian mereka menjawab, ‘Beliau biasa memanggul karung gandum di waktu malam untuk dibagikan kepada orang-orang fakir miskin dari penduduk Madinah.’”

Abdullah bin Mubarak

Abdullah bin Mubarak biasa bolak-balik ke Tarsus. Beliau biasa singgah beristirahat di sebuah penginapan di sana. Ada seorang pemuda yang acapkali melayani dan mengurus kebutuhan beliau sambil belajar hadits.
Suatu hari beliau mampir ke penginapan itu, namun tidak mendapati pemuda itu. Kala itu, beliau tergesa-gesa dan keluar berperang bersama sekelompok kaum muslimin. Sepulangnya dari peperangan tersebut, beliau kembali ke penginapan dan menanyakan tentang pemuda itu.

Orang-orang memberitahukan bahwa pemuda itu ditahan akibat hutang yang belum dibayarnya. Abdullah bin Mubarak bertanya, “Berapa jumlah hutangnya?”
Mereka menjawab, “Sepuluh ribu dirham.”
Beliau menyelidiki sampai beliau mendapatkan pemilik piutang tersebut. Beliau memanggil orang tersebut pada malam hari, dan langsung menghitung serta membayar hutang pemuda itu. Lalu beliau meminta lelaki itu bersumpah agar tidak memberitahukan siapapun perihal pelunasan itu selama beliau masih hidup.
Beliau berkata, “Apabila datang pagi, segera keluarkan pemuda tersebut dari tahanan.”
Abdullah bin Mubarak segera pulang. Pemuda itu pun dibebaskan. Orang-orang mengatakan kepadanya, “Kemarin Abdullah bin Mubarak ke sini dan menanyakan tentang dirimu, namun sekarang sudah pergi.”
Si pemuda segera menyusuri jejak Abdullah dan berhasil menyusul beliau dalam jarak dua atau tiga marhalah dari penginapan.
Beliau bertanya, “Ke mana saja engkau anak muda? Aku tidak melihatmu di penginapan.”
Pemuda itu menjawab, “Betul wahai Abu Abdurrahman, saya ditahan karena hutang.”
Beliau bertanya lagi, “Lalu bagaimana engkau dibebaskan?”
Dia berkata, “Seseorang membayarkan hutangku, lalu aku dibebaskan. Aku tidak mengetahui siapa lelaki itu.”
Maka beliau berkata, “wahai pemuda, bersyukurlah kepada Allah yang telah memberi taufik kepadamu sehingga engkau terbebas dari hutang.”
Lelaki yang memberi hutang tidak pernah memberitahukan kepada siapapun sampai Abdullah bin Mubarak wafat.

***
Referensi:
Abdullah Shaleh Hadrami. Rekaman kajian bertema “Ilmu Ikhlas”.

Ibnu Katsir. Tafsir Al-Qur’anil Adzim. Peneliti dan Peringkas: Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin Ishaq Alu Syaikh. (Terjemahan: Tafsir Ibnu Katsir. 2008. Jakarta: Penerbit Pustaka Imam Syafi’i)

Abdul Aziz bin Nashir Al-Julayyil & Baha’udin bin Fatih Uqail. Aina Nahnu min Akhlaq As-Salaf. (Terjemahan: Meneladani Akhlak Generasi Terbaik. 2011. Jakarta: Penerbit Darul Haq)

M. Abdul Qadir Abu Faris. Tazkiyatun An-Nafs. (Terjemahan: Menyucikan Jiwa. 2005. Depok: Gema Insani)

***
Sukrisno Santoso
Ditulis pada awal malam, Jumat, 18 April 2014, di rumah, Kota Sukoharjo



Teladan Ulama dalam Berbakti kepada Ibu


Jasa dan budi baik seorang ibu kepada anaknya sangat besar. Seorang ibu telah melahirkan dalam kepayahan, memberikan air susu dengan ketulusan, membesarkan dengan kasih sayang, dan mendidik dengan penuh perhatian. Pengorbanannya sungguh besar. Nyawanya dipertaruhkan untuk anaknya. Maka, siapakah anak yang mampu membalas jasa ibunya.

Dari Abi Burdah, ia melihat Ibnu Umar dan seorang penduduk Yaman yang sedang Thawaf di sekitar Ka’bah sambil menggendong ibunya di punggungnya. Orang itu bersenandung,

“Sesungguhnya diriku adalah tunggangan ibu yang sangat patuh
Apabila tunggangan yang lain lari, maka aku tidak akan lari”
Orang itu lalu berkata, “Wahai Ibnu Umar, apakah aku telah membalas budi kepadanya (ibunya)?
Ibnu Umar menjawab, “Belum, walaupun setarik napas yang ia keluarkan ketika melahirkan.”

Ulama salaf sangat memperhatikan hak ibunya. Mereka senantiasa memenuhi segala kebutuhan, menjaga perasaan, membuat senang, dan tenteram ibunya. Karena mereka tahu, seorang ibu mempunyai hak yang harus ditunaikan oleh anaknya. Dan dosa durhaka kepada ibu sangatlah besar.

Usamah bin Zaid pernah menebang sebatang pohon kurma untuk diambil umbutnya (bagian ujung pokok kurma yang bisa dimakan). Padahal, saat itu harga sebatang kurma mencapai seribu dirham. Ketika orang-orang bertanya kepadanya, ia menjawab, “Ibuku menghendakinya. Setiap ibuku menginginkan sesuatu yang mampu kudapatkan, aku pasti memberikannya.”

Berbakti kepada Ibu bisa dilakukan dengan melayani keperluannya dan memperhatikan kesehatannya.

Suatu malam, Muhammad bin Al-Munkadir pernah memijiti kaki ibunya, sedangkan saudaranya melakukan shalat malam. Muhammad bin Al-Munkadir memilih untuk memijiti kaki ibunya daripada shalat sunnah semalaman. Ia berkata, “Umar (saudaranya) suatu malam melakukan shalat, sementara aku memijit-mijit kaki ibuku. Aku tidak ingin kalau malamku kugunakan seperti malamnya (yaitu digunakan untuk shalat).”

Berbakti kepada ibu dapat ditunjukkan dengan selalu berbicara yang lembut, tidak keras, dan menyenangkan hati kepada ibunya. Berkata, “Ah,” saja tidak diperbolehkan sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran.

Muhammad bin Sirin biasa bertutur lembut kepada ibunya. Ia tidak berani berbicara dengan suara lebih keras dari suara ibunya. Hingga orang-orang yang tidak mengenal Ibnu Sirin bertanya-tanya apakah ia sedang sakit karena suaranya sangat pelan. Orang-orang yang sudah mengenal Ibnu Sirin pun menjawab, “Tidak, tetapi demikianlah dia bila berada di rumah ibunya.”

Ibnu Aun pernah menyahut panggilan ibunya dengan suara yang lebih keras. Ia sangat menyesali hal tersebut. Sebagai tebusannya, ia membebaskan dua orang budak dengan harapan agar perbuatanya itu dapat diampuni.

Berbuat baik kepada ibu harus didahulukan daripada berbuat baik kepada istri. Hal ini ditunjukkan oleh Hudzail bin Hafshah. Ia biasa mengumpulkan kayu bakar pada musim panas. Pada musim dingin, ia membawakan tungku dan meletakkannya di dekat ibunya. Ia duduk; membakar kayu bakar, dan berusaha agar asapnya tidak mengganggu ibunya. Dengan begitu ibunya bisa merasa hangat pada musim dingin.

Ibunya menceritakan, “Sebenarnya ada orang yang bisa menggantikannya melakukan itu, kalau ia mau. Bahkan, ingin kukatakan padanya, ‘Wahai anakku, kamu bisa pulang ke rumah istrimu.’ Tapi kemudian aku teringat apa yang diinginkannya (yaitu berbakti kepada ibunya), maka aku membiarkannya.”
Selain itu, Hudzail bin Hafshah juga biasa mengantarkan susu perasan unta setiap pagi.

Tak lupa, mendoakan ibu merupakan kewajiban seorang anak. Doa anak yang shalih akan dikabulkan oleh Allah. Seorang ibu yang telah mendidik anaknya hingga anaknya menjadi orang yang saleh dan senantiasa mendoakannya, hal itu menjadi amal jariyah bagi sang ibu tersebut.

***

Referensi:
Aina Nahnu min Akhlaq As-Salaf. Abdul Aziz bin Nashir Al-Julayyil & Baha’udin bin Fatih Uqail. (Terjemahan: Meneladani Akhlak Generasi Terbaik. 2011. Jakarta: Penerbit Darul Haq)

Muhammad Abduh Tuasikal. “Sambil Menggendongnya, Tidak Bisa Membalas Budi Baik Orang Tua” dalam http://rumasyo.com
***

Sukrisno Santoso
Ditulis pada pagi yang cerah, hari Jumat, 18 April 2014, di rumah, Kota Sukoharjo 




PROMO BUKU

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More