MUSLIMAH

Menuju Insan yang Shalihah

This is default featured post 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

MUTIARA DAKWAH

This is default featured post 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

7 Mei 2014

Khansa’: Ibunda Para Syuhada


Jika umat Islam tidak mempelajari perjalanan perjuangan generasi pertama umat Islam, kepada siapa mereka akan mengambil teladan. Akankah kisah-kisah menakjubkan dari Rasulullah dan para sahabatnya hanya akan tercetak di dalam buku tanpa ada yang membaca dan mempelajarinya?

Aktivitas mempelajari dan mengajarkan kisah-kisah perjuangan generasi salaf menjadi kebutuhan yang akan berguna untuk menguatkan ruhani, menambah semangat, dan membakar gelora perjuangan di dalam dada-dada kaum muslimin. Ada beberapa manfaat ketika kita mau mempelajari sejarah mereka sebagaimana disebutkan oleh Ahmad Farid dalam kitabnya Min A’lam As-Salaf.

Salah satu manfaat tersebut yaitu kita dapat mengetahui kedudukan kita dibandingkan dengan mrereka. Dengan memperlajari kisah-kisah salaf, kita menjadi sadar diri bahwa kita sebenarnya sangat jauh dari mereka dalam hal iman dan amal. Dengan begitu, akan terdorong dalam diri kita untuk meningkatkan iman dan amal.

Manfaat lainnya yaitu kita dapat meneladani amal-amal mereka yang melimpah. Dengan mempelajari sejarah generasi salaf yang penuh dengan amal-amal kebaikan yang melimpah akan menimbulkan motivasi dalam diri untuk meniru amalan mereka.

Sungguh, telah ada teladan pada generasi yang membersamai Nabi Muhammad menyampaikan risalah Islam. Salah satunya seorang shahabiyat (sahabat wanita). Marilah kita simak kisah Khansa’ yang menakjubkan sebagaimana disebutkan dalam kitab Nisaa Haular Rasul.

Nama lengkapnya ialah Tumadhir binti ‘Amr bin Al-Harits bin Syarid. Dikenal dengan nama Khansa’. Ia terkenal sebagai seorang penyair wanita yang ulung. Suatu ketika Rasulullah meminta Khansa’ untuk bersyair dan beliau sangat mengaguminya. Ketika Khansa’ sedang bersyair, Rasulullah bersabda, “Aduhai, wahai Khansa’, hariku terasa indah dengan syairku.

Di samping keahliannya dalam syair, Khansa’ juga menjadi muslimah yang memiliki semangat juang yang tinggi dalam membela agama Allah. Hal itu terlihat dari seringnya ia keluar berjihad bersama kaum muslimin.

Ketika Mutsanna bin Haritsah asy-Syaibani berangkat ke Qadisiyah di masa Amirul Mukminin Umar bin Khaththab, Khansa’ berangkat bersama keempat putranya untuk menyertai pasukan tersebut.

Di medan peperangan, di saat malam ketika para pasukan sedang siap berperang satu sama lain, Khansa’ mengumpulkan keempat putranya untuk memberikan pengarahan kepada mereka dan mengobarkan semangat kepada mereka untuk berperang dan agar mereka tidak lari dari peperangan serta agar mereka mengharapkan syahid di jalan Allah. Dengarkanlah wasiat al-Khansa’ yang mulia tersebut :

“Wahai anak-anakku, sesungguhnya kalian telah masuk Islam dengan ketaatan, kalian telah berhijrah dengan sukarela dan Demi Allah, tiada ilah selain Dia, sesungguhnya kalian adalah putra-putra dari seorang wanita yang tidak pernah berkhianat kepada ayah kalian, kalian juga tidak pernah memerlukan paman kalian, tidak pernah merusak kehormatan kalian dan tidak pula berubah nasab kalian.
Kalian mengetahui apa yang telah Allah janjikan bagi kaum muslimin berupa pahala yang agung bagi yang memerangi orang-orang kafir, dan ketahuilah bahwa negeri yang kekal lebih baik dari negeri yang fana (binasa).
Allah befirman, ‘Wahai orang-orang yang berfirman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan) dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu beruntung.’ (Ali Imran: 20).
Maka, ketika datang waktu esok, jika Allah menghendaki kalian masih selamat, persiapkanlah diri kalian untuk memerangi musuh dengan penuh semangat dan mohonlah kepada Allah untuk kemenangan kaum muslimin.
Jika kalian melihat perang telah berkecamuk, ketika api telah berkobar, maka terjunlah kalian di medan laga, bersabarlah kalian menghadapi panasnya perjuangan, niscaya kalian akan berjaya dengan ghanimah (rampasan perang) dan kemuliaan atau syahid di negeri yang kekal.”


Setelah keempat putranya mendengarkan nasehat tersebut dengan penuh seksama, mereka keluar dari kamar ibu mereka dengan menerima nasihatnya dan tekad hatinya untuk melaksanakan nasihat tersebut. Maka, ketika datang waktu pagi, mereka segera bergabung bersama pasukan dan bertolak untuk menghadapi musuh, sedangkan mereka berangkat seraya melantunkan syair. Keempat putra Khansa’ tersebut akhirnya mendapat kemuliaan berupa mati syahid.

Ketika berita syahidnya empat bersaudara itu sampai kepada ibunya yang mukminah dan sabar, beliau tidaklah menjadi goncang ataupun meratap, bahkan beliau mengatakan suatu perkataan yang masyhur yang dicatat oleh sejarah dan akan senantiasa diulang-ulang oleh sejarah sampai waktu yang dikehendaki Allah, yakni, “Segala puji bagi Allah yang memuliakan diriku dengan syahidnya mereka, dan aku berharap kepada Rabb-ku agar Dia mengumpulkan diriku dengan mereka dalam rahmat-Nya”.

Umar bin Khaththab mengetahui keutamaan al-Khansa’ dan putra-putranya sehingga beliau senantiasa memberikan bantuan yang merupakan jatah keempat anaknya kepada beliau hingga beliau wafat.

***
Referensi:
Mahmud Mahdi Al-Istanbuli & Musthafa Abu Nashr Asy-Syilbi. Nisaa Haular Rasul. (Terjemahan: Wanita Teladan. 2005. Bandung: Penerbit Irsyad Baitus Salam)
 Ahmad Farid. Min A’lam As-Salaf. (Terjemahan: Biografi 50 Ulama Ahlisunnah. 2012. Jakarta: Penerbit Darul Haq)

***
Sukrisno Santoso
Ditulis saat senja pada hari Rabu, 7 Mei 2014, di rumah, Kota Sukoharjo





6 Mei 2014

Dzikir Sesudah Shalat Fardhu


Berikut ini dzikir dan doa dari Rasulullah sebagaimana ditulis oleh Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz dalam kitabnya Tuhfatul Akhyar.
  • Telah menjadi kebiasaan Rasulullah setelah mengucapkan salam pada setiap shalat fardhu beliau beristighfar tiga kali.

  • Kemudian mengucapkan:


(( اللَّهُمَّ أَنْتَ السَّلاَمُ وَمِنْكَ السَّلاَمُ تَبَارَكْتَ يَا ذَا الجَلاَلِ وَالإِكْرَام لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ لَهُ المُلْكُ وَلَهُ الحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ، اللهمَّ لاَ مَانِعَ لِمَا أَعْطَيْتَ وَلاَ مُعْطِيَ لِمَا مَنَعْتَ وَلاَ يَنْفَعُ ذَا الجدُّ مِنْكَ الجَدِّ. لاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ. لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَلاَ نَعْبُدُ إِلاَّ إِيَّاهُ لَهُ النِّعْمَةُ وَلَهُ الفَضْلُ وَلَهُ الثَّنَاءُ الحَسَنُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ وَلَوْ كَرِهَ الكَافِرُوْنَ ))
Ya Allah, Engkaulah Yang Maha Pemberi Sejahtera, dan dari-Mu kesejahteraan, Engkau Pemberi barakah, wahai pemilik Keagungan dan Kemuliaan. Tidak ada Ilah yang berhak disembah kecuali Allah, yang Esa tiada sekutu bagi-Nya. Milik-Nya kekuasaan dan segala pujian, dan Ia Maha Kuasa atas segala sesuatu, Ya Allah tiada seorangpun yang mampu menghalangi terhadap pemberian-Mu dan tidak ada pula yang dapat memberi sesuatu yang Engkau halangi, dan tidak ada manfaat kekayaan seseorang dari siksa-Mu, tidak ada upaya dan kekuatan kecuali dari Allah, tidak ada Ilah yang berhak disembah selain Allah, dan tidaklah kami beribadah kecuali kepada-Nya, hanya milik-Nya kenikmatan, keutamaan dan sanjungan yang baik. Tidak ada Ilah yang berhak disembah melainkan Allah dengan rasa ikhlas kami beribadah kepada-Nya walaupun orang-orang kafir benci”.

  • Kemudian membaca tasbih, tahmid dan takbir masing-masing 33 kali:
Maha suci Allah :سُبْحَانَ اللهِ
Segala puji bagi Allah: الْحَمْدُ ِللهِ
Allah Maha Besar: اللهُ أَكْبَرُ

  • Kemudian digenapkan yang keseratusnya dengan ucapan:


(( لا إِلَهَ إِلا اللهُ وَحْدَهُ لا شَرِيْكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ ))

“Tidak ada Ilah yang berhak disembah melainkan Allah yang Maha Esa tiada sekutu bagi-Nya. Milik-Nya segala kekuasaan dan segala pujian dan Dia atas segala sesuatu Maha Kuasa

  • Dilanjutkan dengan membaca ayat kursi (QS. Al Baqarah: 255).
  • Kemudian membaca surat Al-ikhlas
  • Kemudian membaca surat Al Falaq
  • Lalu membaca surat An-Nas
(Dan disunnahkan mengulang sampai tiga kali untuk tiga surat yang terakhir (
Al-ikhlas, Al-Falaq, An-Nas), khusus setelah shalat subuh dan shalat maghrib. Hal ini berdasarkan hadits shahih dari Nabi.)
  • Di samping itu, sesuai dengan sunnah Nabi pada setiap selesai shalat maghrib dan subuh, juga disunnahkan membaca dzikir di bawah ini 10 kali:

(( لا إِلَهَ إِلا اللهُ وَحْدَهُ لا شَرِيْكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ يُحْيِي وَيُمِيْتُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ )) 
Tidak ada Ilah yang berhak disembah melainkan Allah, Yang Maha Esa dan tiada sekutu bagi-Nya, hanya milik-Nya kekuasaan dan segala pujian. Ia yang menghidupkan dan yang mematikan dan Dia berkuasa atas segala sesuatu”. (HR. Muslim).
  • Apabila ia seorang imam, sesudah mengucapkan istighfar tiga kali, dan mengucapkan: “Allahumma antas salaam wa minkas salaam tabaarakta ya dzal jalali wal ikram” disunnahkan mengubah posisi duduk menghadap kepada jama'ah. Setelah itu barulah ia melanjutkan dzikir sesuai dengan yang dijelaskan di atas. Ini sebagaimana yang dijelaskan dalam hadits-hadits yang cukup banyak dari Aisyah dalam riwayat Muslim. Semua do’a dan dzikir tersebut hukumnya sunnah bukan wajib.

***
Referensi:
Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz. Tuhfatul Akhyar Bibayaani Jumlah Nafi’ah Mimmaa Warada fil Kitab was Aunnah minal Ad’iyah wal Adzkar. (Terjemahan: Do’a dan Dzikir Pilihan. 2007. Jakarta: Maktab Dakwah Dan Bimbingan Jaliyat Rabwah. Ebook oleh islamhouse.com)

***
Sukrisno Santoso
Ditulis selepas Ashar pada hari Selasa, 6 Mei 2014, di rumah, Kota Sukoharjo


5 Mei 2014

8 Pelajaran dari Hatim Al-A'sham


Disebutkan dalam kitab Mukhtashar Minhajil Qashidin karangan Ibnu Qudamah Al-Maqdisi, dua macam ulama yaitu ulama su’ (buruk) dan ulama akhirat. Ulama su’ (buruk) adalah mereka yang dengan ilmunya ingin mendapatkan kenikmatan di dunia dan mendapatkan kedudukan terpandang di kelompoknya.

Kebalikan dari ulama su’ ialah ulama akhirat. Ibnu Qudamah mengatakan, “Di antara sifat-sifat ulama akhirat, mereka mengetahui bahwa dunia ini hina, sedangkan akhirat adalah mulia. Keduanya seperti dua macam kebutuhan pokok, namun mereka lebih mementingkan akhirat. Perbuatan mereka tidak bertentangan dengan perkataan, kecenderungan mereka hanya kepada ilmu-ilmu yang bermanfaat di akhirat dan menjauhi ilmu-ilmu yang manfaatnya lebih sedikit.”

Berkaitan dengan ulama akhirat, Ibnu Qudamah meriwayatkan sebuah kisah dari Syaqiq Al-Balkhi, bahwa ia pernah bertanya kepada Hatim Al-A’sham –salah seorang muridnya, “Sudah berapa lama engkau menyertai aku? Lalu apa saja pelajaran yang bisa engkau serap?”

Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Hatim Al-A’sham berguru kepada Syaqiq Al-Balkhi selama tiga puluh tahun lebih. Hatim Al-A’sham menjawab, “Ada delapan pelajaran.”

Berikut ini delapan pelajaran yang diserap oleh Hatim Al-A’sham dari gurunya tersebut.

1. Aku suka mengamati manusia. Ternyata setiap orang, ada sesuatu yang dicintainya. Namun, jika ia sudah dibawa ke kuburannya, ia harus berpisah dengan sesuatu yang dicintainya. Maka, kujadikan sesuatu yang kucintai adalah amal kebaikanku, agar kebaikan itu tetap menyertaiku di kuburan.

2. Aku merenungi firman Allah, “... dan menahan diri dari keinginan hawa nafsu,” (QS. An-Naziat: 40). Sebisa mungkin aku mengenyahkan hawa nafsu, hingga jiwaku menjadi tenang karena taat kepada Allah.

3. Setelah kurenungi, aku mengetahui bahwa setiap orang mempunyai sesuatu yang bernilai dalam pandangannya, lalu ia pun menjaganya. Kemudian kurenungi firman Allah, “Apa yang di sisi kalian akan lenyap dan apa yang di sisi Allah akan kekal,” (QS. An-Nahl: 96). Setiap kali aku mempunyai sesuatu yang berharga maka aku segera menyerahkannya kepada Allah agar ia kekal di sisi-Nya.

4. Kuamati banyak manusia yang membanggakan harta, keturunan, kemuliaan, dan kedudukannya. Padahal, semua itu tidak ada artinya apa-apa. Lalu kurenungi firman Allah, “Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa di antara kalian,” (QS. Al-Hujurat: 13). Maka, aku beramal dalam lingkup takwa agar aku menjadi mulia di sisi-Nya.

5. Kulihat manusia sering iri dan dengki. Lalu kurenungi firman Allah, “Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia,” (QS. Az-Zukhruf: 32). Oleh karena itu, kutinggalkan sifat iri dan dengki.

6. Kulihat mereka saling bermusuhan. Lalu kurenungi firman Allah, “Sesungguhnya setan itu adalah musuh bagimu, Maka anggaplah ia musuh(mu),” (QS. Fathir: 6). Oleh karena itu, aku tidak mau bermusuhan dengan mereka dan hanya setan semata yang kujadikan musuh.

7. Kulihat mereka berjuang habis-habisan untuk mencari rezeki. Lalu kurenungi firman Allah, “Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya,” (QS. Hud: 6). Oleh karena itu, aku menyibukkan diri dalam perkara yang memang menjadi kewajibanku dan kutinggalkan sesuatu meskipun memberikan keuntungan kepadaku.

8. Kuamati mereka mengandalkan perdagangan, usaha, dan kesehatan badan mereka, tetapi aku mengandalkan Allah dengan bertawakal kepada-Nya.

Itulah delapan pelajaran yang diserap oleh Hatim Al-A’sham setelah berguru selama tiga puluh tahun lebih kepada Syaqiq Al-Balkhi. Semoga kita bisa mengamalkan apa yang disampaikan oleh Hatim tersebut.

***
Referensi:
Ibnu Qudamah Al-Maqdisi. Mukhtashar Minhajil Qashidin. (Terjemahan: Minhajul Qashidin. Cetakan ke-19. 2013. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar)

***
Sukrisno Santoso
Ditulis pada hari Senin, 5 Mei 2014, di basecamp IMTAQ, Kota Sukoharjo

Inilah Perjalanan Ruh Orang Beriman Menuju Alam Barzakh


Salah satu keyakinan orang-orang beriman yaitu meyakini adanya alam barzakh sesudah kematian. Dalam Aqidah Wasithiyah disebutkan, “Dan termasuk beriman dengan hari akhir adalah beriman dengan segala sesuatu yang Nabi kabarkan tentang apa yang terjadi setelah mati. Maka Ahlussunnah beriman (mempercayai) dengan fitnah kubur dan beriman dengan azab kubur dan nikmat kubur.”

Fitnah kubur adalah benar adanya. Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin memberikan penjelasan, “Fitnah di sini bermakna ujian. Yang dimaksud dengan fitnah kubur adalah apabila selesai dikubur akan diajukan kepada mayit pertanyaan-pertanyaan berupa pertanyaan tentang Rabbnya, agamanya dan nabinya. Sesungguhnya Ahlussunnah wal Jamaah beriman kepada fitnah kubur karena Al-Quran dan Assunnah telah menerangkan demikian.”

Sesungguhnya fitnah kubur sangat dahsyat. Dan orang-orang yang beriman akan melalui fitnah kubur dengan selamat dan mendapat janji surga dari Allah. Bagi orang-orang beriman, Allah benar-benar memberi kabar gembira. Kabar gembira ini tentu akan menenteramkan orang-orang yang beriman.

Allah memberi kabar gembira kepada orang-orang mukmin tentang hal tersebut. Melalui lisan Rasul-Nya, Allah mengabarkan kejadian dicabutnya ruh dari jasad kemudian dinaikkan ruh tersebut ke langit dan kemudian diturunkan kembali ke bumi ke alam kubur.

Perjalanan ruh orang-orang beriman sejak berpisah dengan raganya hingga ke alam barzakh dikisahkan oleh Nabi Muhammad yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Al Barra’ bin ‘Azib berikut ini.

***

Kami berangkat bersama Nabi mengiringi seorang jenazah Anshar. Lantas kami sampai pekuburan. Ketika tanah digali, Rasulullah duduk dan kami duduk di sekitarnya, seolah-olah kepala kami ada burung-burung sedang tangan beliau membawa dahan yang beliau pukulkan ke tanah.
Beliau tengadahkan kepala beliau ke langit dan bersabda, “Mintalah kalian perlindungan kepada Allah dari siksa kubur.” (Beliau mengucapkannya dua atau tiga kali).
Kemudian beliau bersabda, “Seorang hamba mukmin jika berpisah dari dunia dan menghadapi akhirat, malaikat dari langit turun menemuinya dengan wajah putih seolah-olah wajah mereka matahari. Mereka membawa sebuah kafan dari kafan surga dan minyak wangi dari minyak wangi surga hingga duduk di sisinya (yang besarnya malaikat tersebut) sejauh mata memandang. Kemudian malaikat maut datang hingga duduk di sisi kepalanya dan berucap, ‘Wahai jiwa yang tenang, sambutlah olehmu ampunan Allah dan keridhaan.’”
Nabi bersabda, “Lantas jenazah tersebut mengalir sebagaimana tetesan air mengalir dari mulut kendi dan malaikat mencabutnya. Jika malaikat mencabutnya, ia tidak membiarkannya di tangannya sekejap mata pun hingga ia cabut rohnya dan ia masukkan dalam kafan dan minyak wangi tersebut. Maka si mayit meninggal dunia sebagaimana halnya aroma minyak wangi paling harum yang ada dimuka bumi.”
Nabi bersabda, “Malaikat tersebut lantas membawa naik jenazah itu, hingga tidaklah mereka melewati sekawanan malaikat selain mereka bertanya-tanya, ‘Oh, oh, oh, roh siapa sewangi ini?’
Para malaikat menjawab, ’Amboi, ini roh si fulan anak si fulan’, dan mereka sebut dengan nama terbaiknya yang manusia pergunakan untuk menyebutnya ketika di dunia, begitulah terus hingga mereka sampai ke langit dunia dan mereka meminta dibukakan, lantas dibukakan.
Para malaikat ahli taqarrub mengabarkan berita kematiannya kepada penghuni langit berikutnya hingga sampai ke langit ke tujuh, lantas Alllah 'azza wajalla berfirman, ‘Tulislah catatan hamba-Ku di 'iliyyin dan kembalikanlah ia ke bumi, sebab darinya Aku mencipta mereka dan ke dalamnya Aku mengembalikan, serta darinya Aku membangkitkan sekali lagi.”
Nabi bersabda, “Lantas rohnya dikembalikan ke jasadnya, kemudian dua malaikat mendatanginya dan mendudukkannya dan bertanya, 'Siapa Tuhanmu?'.Ia menjawab, 'Tuhanku Allah'.
Tanya keduanya, ‘Apa agamamu?’‘Agamaku Islam,’ jawabnya.
Keduanya bertanya, ‘Bagaimana pendapatmu tentang laki-laki yang diutus kepada kamu ini?’Si mayit menjawab, ‘Dia Rasulullah’.
Keduanya bertanya, ‘Dari mana kamu tahu?’Ia menjawab, ‘Aku membaca kitabullah sehingga aku mengimaninya dan membenarkannya.’
Lantas ada Penyeru di langit memanggil-manggil, ‘Hamba-Ku benar, hamparkanlah surga baginya dan berilah pakaian surga, dan bukakanlah pintu baginya menuju surga.”
Nabi bersabda, “Maka hamba itu memperoleh bau harum dan wangi surga dan kuburannya diperluas sejauh mata memandang. Lantas ia didatangi oleh laki-laki berwajah tampan, pakainnya indah, wanginya semerbak, dan malaikat itu berucap, ‘Bergembiralah dengan kabar yang menggembirakanmu. Inilah hari yang dijanjikan untukmu’.
Si mayit bertanya, ‘Siapa kamu ini sebenarnya, wajahmu adalah wajah yang mendatangkan kebaikan’.Si laki-laki tampan menjawab, ‘Aku adalah amalan salehmu’.
Lantas hamba tadi meminta, ‘Ya Rabbi, tolong jadikan Kiamat sekarang juga sehingga aku bisa kembali menemui keluargaku dan hartaku.’”

***
Demikianlah perjalanan panjang ruh menuju alam barzakh. Orang-orang beriman –atas taufik dari Allah- mampu melewati fitnah kubur. Mereka mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan malaikat di dalam kubur. Jawaban yang benar yang Allah teguhkan pada orang-orang beriman ialah, “Rabb-ku adalah Allah, agamaku Islam, dan Nabiku Muhammad.”

Allah berfirman, “Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu dalam kehidupan di dunia dan di akhirat.” (QS. Ibrahim: 27)

Dalam menafsirkan ayat tersebut, Ibnu Katsir membawakan hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari bahwa Nabi bersabda: “Apabila (jenazah) seorang muslim sudah didudukkan dalam kuburnya maka dia akan dihadapkan (pertanyaan malaikat), kemudian ia bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak disembah kecuali Allah dan Muhammad utusan Allah. Itulah perkataan seorang muslim sebagaimana firman Allah, ‘Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu dalam kehidupan di dunia dan di akhirat.’”


Dalam kitabnya At-Ta’liqat Al-Mukhtasharah ‘ala Matni Al-Aqidah Ath-Thahawiyah, Shalih bin Fauzan Al-Fauzan menjelaskan, "Kesaksian seorang mukmin di dalam kubur ini disebabkan imannya kepada Allah dan Rasul-Nya bukan karena belajar atau berwawasan luas. Barangsiapa yang tidak memiliki iman, ia tidak akan bisa menjawab, yaitu orang munafik yang menampakkan iman di dunia dan menyimpan kekufuran di dalam batinnya. Ia (orang munafik) tidak akan bisa menjawab, dan hanya akan mengatakan, 'Ah... ah... saya tidak tahu, aku mendengar orang mengatakan sesuatu maka aku mengatakannya.'"

Alam barzakh ialah negeri tempat singgah sementara sebelum akhirnya menuju negeri keabadian. Bagi orang-orang yang beriman dan dianugerahi rahmat oleh Allah, alam barzakh (kubur) dikatakan oleh Ath-Thahawi sebagai, “kebun indah di antara kebun-kebun surga.”

***
Referensi:
Ibnu Katsir. Tafsir Al-Qur’anil Adzim. Peneliti dan Peringkas: Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin Ishaq Alu Syaikh. (Terjemahan: Tafsir Ibnu Katsir. 2008. Jakarta: Penerbit Pustaka Imam Syafi’i)

Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin. Syarh Al-Aqidah Al-Wasithiyah bab Al-Iman bil Yaumil Akhir. (Terjemahan: Ada Apa Setelah Kematian. 2008. Tangerang: Pustaka Al-Isnaad)

Shalih bin Fauzan Al-Fauzan. At-Ta’liqat Al-Mukhtasharah ‘ala Matni Al-Aqidah Ath-Thahawiyah. (Terjemahan: Penjelasan Matan Al-Aqidah Ath-Thahawiyah. Cetakan V. 2013. Jakarta: Darul Haq)


***
Sukrisno Santoso
Ditulis saat pagi pada hari Senin, 5 Mei 2014, di rumah, Kota Sukoharjo


3 Mei 2014

Jenis-jenis Mimpi Menurut Islam

Jenis-jenis Mimpi Menurut Islam

Sebagian orang mengatakan bahwa mimpi sekadar bunga tidur. Sebagian yang lain berucap bahwa mimpi adalah angan-angan yang tak nyata. Sedangkan yang lain mengemukakan pendapat bahwa mimpi itu tidak ada artinya apa-apa. Lalu bagaimanakah Islam memandang masalah mimpi?

Dalam Islam, mimpi mempunyai kedudukan yang tinggi. Para Nabi mendapatkan wahyu dari Allah, salah satunya melalui mimpi. Sebagaimana yang terjadi pada Nabi Ibrahim. Allah mewahyukan kepadanya untuk menyembelih anaknya melalui perantara mimpi. Allah berfirman, “Ibrahim berkata, ‘Hai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu!’” (QS. Ash-Shaffat: 102)

Berdasarkan wahyu Allah yang diturunkan melalui mimpi tersebut, Nabi Ibrahim berniat menyembelih anaknya, Ismail. Namun, kemudian Allah menggantinya dengan hewan ternak. Dari peristiwa yang berawal dari mimpi Nabi Ibrahim tersebut, kini umat Islam memperingati Hari Raya Idhul Adha dengan menyembelih hewan kurban.

Demikian halnya dengan Nabi Yusuf yang bermimpi melihat sebelas bintang, matahari dan bulan; dan semuanya sujud kepadanya. Allah berfirman, “(ingatlah), ketika Yusuf berkata kepada ayahnya, ‘Wahai ayahku, Sesungguhnya aku bermimpi melihat sebelas bintang, matahari dan bulan; kulihat semuanya sujud kepadaku.’” (QS. Yusuf: 4)

Dalam menafsirkan ayat tersebut, Ibnu Katsir mengemukakan, “Ibnu Abbas berkata, ‘Mimpi para nabi itu merupakan wahyu.’ Para ulama tafsir telah membicarakan ta’bir (penafsiran) mimpi Nabi Yusuf itu bahwa sebelas bintang menunjukkan saudara-saudaranya yang berjumlah tepat sebelas orang laki-laki, sedang matahari dan bulan menunjukkan pada ibu dan bapaknya.”

“Tafsir dari mimpi tersebut,” lanjut Ibnu Katsir, “menjadi kenyataan 40 tahun kemudian. Ada pula yang mengatakan 80 tahun kemudian. Yaitu ketika ia menaikkan kedua orang tuanya di atas singgasananya, sementara saudara-saudaranya berada di depannya, sedang mereka semua sujud kepadanya, dan Yusuf berkata, “Wahai ayahku, inilah ta'bir mimpiku yang dahulu itu; Sesungguhnya Tuhanku telah menjadikannya suatu kenyataan,” (QS. Yusuf: 100)

Imam Bukhari dalam kitab Shahih-nya menulis bab “Permulaan Wahyu”. Ibnu Hajar Al-Asqalani menjelaskannya dalam Fathul Bari’, “...turunnya wahyu kepada Nabi Muhammad tidak berbeda dengan cara turunnya wahyu kepada nabi-nabi sebelumnya. Seperti cara turunnya wahyu pertama kali kepada para nabi adalah dengan mimpi, sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Nu'aim dalam kitab Dalail dengan sanad hasan dari Alqamah bin Qais, teman Ibnu Mas'ud, dia berkata, “Sesungguhnya wahyu yang pertama turun kepada para nabi adalah dengan cara mimpi sehingga hati mereka menjadi tenang, setelah itu Allah menurunkan wahyu kepada mereka dalam keadaan sadar.”

Mimpi yang benar juga dialami oleh orang-orang saleh. Bahkan mimpi tersebut merupakan bagian dari nubuwah. Rasulullah bersabda, “Mimpi yang baik dari orang yang saleh adalah satu dari 
empat puluh enam bagian kenabian (nubuwah).” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dalam riwayat lain disebutkan, “Mimpi seorang mukmin adalah satu bagian dari empat puluh enam bagian kenabian.”

Adakalahnya seseorang bermimpi yang baik, melihat sesuatu yang indah dan menyenangkan. Di lain waktu bisa jadi ia bermimpi sebaliknya, yaitu mimpi yang buruk dan menakutkan. Di lain waktu, ia bermimpi mendapatkan apa yang diinginkannya atau melakukan kegiatan yang menjadi kebiasaannya.

Dari berbagai keadaan tersebut, mimpi dapat digolongkan menjadi tiga jenis. Pembagian jenis mimpi ini berdasarkan sabda Nabi Muhammad yang diriwayatkan oleh Imam Muslim.

Dari Abu Hurairah, dari Nabi Muhammad beliau telah bersabda, “Apabila hari kiamat sudah dekat, maka jarang mimpi seorang muslim yang tidak benar dan orang yang paling benar mimpinya adalah orang yang paling benar bicaranya. Mimpi seorang muslim adalah satu bagian dari empat puluh lima bagian kenabian.

Mimpi itu sendiri terbagi menjadi tiga bagian, yaitu:
1) Mimpi yang baik adalah berita gembira dari Allah.
2) Mimpi yang menyedihkan adalah dari syetan.
3) Mimpi dari bisikan (angan-angan) dari diri sendiri.

Apabila ada seseorang yang bermimpi yang tidak ia sukai, maka bangunlah dan laksanakan shalat serta jangan menceritakan mimpinya kepada orang lain.”

Abdullah bin Muhammad Ath-Thayar menjelaskan –setelah menyebutkan beberapa nash tentang mimpi, “Ru’ya (mimpi) itu tidak keluar dari tiga hal berikut ini:
1) Ru’ya shalihah (mimpi yang baik), yang tidak sedikitpun mengandung sesuatu yang dibenci oleh orang yang melihatnya. Bahkan, di dalamnya terdapat kemaslahatan agama dan dunia.

2) Ru’ya (mimpi) yang merupakan upaya setan untuk menimbulkan rasa duka cita bagi orang yang melihatnya. Mimpi ini dari setan.

3) Ru’ya al-khathir (mimpi lintasan pikiran), yang dinamakan juga oleh Nabi dengan bisikan jiwa seseorang. Adapun, hakikatnya ialah sibuknya alam pikiran seseorang dengan satu permasalahan lalu ia tertidur, kemudian ia melihat hal-hal yang menyibukkan pikirannya tadi. Ini termasuk hal-hal yang tidak ada bahaya ataupun manfaatnya.”

***
Referensi:
Ibnu Katsir. Tafsir Al-Qur’anil Adzim. Peneliti dan Peringkas: Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin Ishaq Alu Syaikh. (Terjemahan: Tafsir Ibnu Katsir. 2008. Jakarta: Penerbit Pustaka Imam Syafi’i)

Ibnu Hajar Al-Asqalani. Fathul Bari’ Syarh Shahih Bukhari. (Terjemahan: Fathul Bari’: Penjelasan Kitab Shahih Bukhari. 2002. Jakarta: Penerbit Putaka Azzam. Ebook oleh kampungsunnah.co.nr)

Khalid Al-Anbari & Abdullah bin Muhammad Ath-Thayar. Kamus Tafsir Mimpi. 2008. Kartasura: Penerbit Pustaka Ar-Rayyan)

***
Sukrisno Santoso
Ditulis saat sepertiga malam terakhir pada hari Jumat, 2 Mei 2014, di basecamp IMTAQ, Kota Sukoharjo


2 Mei 2014

Kisah Bekas Perampok Menjadi Ulama


Al-Fudhail bin Iyadh, dijuluki sebagai Abid Al-Haramain (Ahli Ibadah Makkah Madinah). Kawan sejawatnya ialah Imam Malik, Sufyan, dan Ibnul Mubarak. Para ulama memberikan pujian atasnya. Ahmad Farid dalam kitabnya Min A’lam As-Salaf menyebutkan pujian beberapa ulama kepada Al-Fudhail bin Iyadh.

  • Ibnu Sa’ad mengatakan, “Ia adalah tsiqah, memiliki keutamaan, ahli ibadah, wara’, dan banyak hadits.”
  • Adz-Dzahabi mengatakan, “Al-Fudhail bin Iyadh, orang zuhud, syaikh al-haram, salah seorang perawi yang tsabat, disepakati ketsiqahan dan kebesarannya.”
  • Ibnul Mubarak mengatakan, “Menurutku, tidak tersisa lagi di permukaan bumi ini seorang pun yang lebih utama daripada Al-Fudhail bin Iyadh.”

Al-Fudhail bin Iyadh dahulunya ialah seorang perampok atau pemalak jalanan. Kisah taubatnya disebutkan oleh Ibnu Qudamah dalam kitab At-Tawwabin berikut ini.

Dulu Al-Fudhail bin Iyadh menjadi pemalak jalanan. Suatu malam, ia keluar untuk memalak. Ternyata, ada satu kafilah (kelompok) yang mendekat ke arahnya.
Salah seorang dari mereka berkata kepada yang lainnya, “Mari kita singgah terlebih dahulu ke desa ini, karena di hadapan kita ada orang yang biasa merampok bernama Fudhail.”
Fudhail mendengarnya dan menggigil gemetar seraya berseru, “Hai kalian, akulah Fudhail, teruskanlah perjalanan kalian. Demi Allah, aku akan berusaha semaksimal mungkin untuk tidak mendurhakai Allah untuk selama-lamanya.”
Lalu ia meninggalkan apa yang biasa dilakukannya.
Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Fudhail menjamu rombongan kafilah pada malam itu juga. “Kalian aman dari bahaya Fudhail,” seru Fudhail.
Kemudian ia keluar untuk mencari makanan buat mereka. Setelah kembali, tiba-tiba ia mendengar seorang pembaca Al-Quran tengah membaca, “Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman untuk tunduk hati mereka mengingat Allah,” (QS. Al-Hadid: 16).
Fudhail berseru, “Tentu, telah tiba waktunya....” Inilah awal taubatnya.

Abu 'Ammaar Al-Husain bin Huraits meriwayatkan kisah yang mempunyai kemiripan, sebagaimana dikutip oleh Ustadz Firanda dalam firanda.com berikut ini.

Al-Fadhl bin Musa berkata, “Al-Fudhail bin ‘Iyadh dulunya adalah seorang perampok yang menghadang orang-orang di daerah antara daerah Abiwarda dan dan daerah Sarkhos. Sebab beliau bertaubat adalah beliau pernah terpikat dengan seorang wanita, maka tatkala beliau tengah memanjat tembok untuk menemui (mengintip) wanita tersebut, tiba-tiba saja beliau mendengar seseorang membaca firman Allah, “Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah,” (QS Al-Hadid : 16).
Maka tatkala beliau mendengar lantunan ayat tersebut maka beliau langsung berkata, “Tentu saja, wahai Rabbku. Sungguh telah tiba saatku (untuk tunduk hati mereka mengingat Allah).”
Maka beliau pun kembali, dan beliau pun beristirahat di sebuah bangunan rusak. Tiba-tiba saja di sana ada sekelompok orang yang sedang lewat. Sebagian mereka berkata, “Kita jalan terus,” dan sebagian yang lain berkata, “Kita istirahat saja sampai pagi, karena si Fudhail berada di arah jalan kita ini, dan ia akan menghadang dan merampok kita.”
(Mendengar hal ini) Fudhail pun berkata, “Kemudian aku merenung dan berkata, ‘Aku sedang melakukan kemaksiatan di malam hari (yaitu ia berusaha untuk mengintip sang wanita-pent) padahal sebagian dari kaum muslimin di sini ketakutan kepadaku (karena menyangka Fudhal sedang menghadang mereka, padahal Fudhail sedang mau mengintip wanita-pent), dan menurutku tidaklah Allah menggiringku kepada mereka ini melainkan agar aku berhenti (dari kemaksiatan ini). Ya Allah, sungguh aku telah bertaubat kepada-Mu dan aku jadikan taubatku itu dengan tinggal di Baitul Haram’.”
(Lihat biografi beliau di Siyar A'lam An-Nubala dan Tahdzib At-Tahdzib)
***
Referensi:
Ibnu Qudamah Al-Maqdisi. Kitab At-Tawwabin. Peneliti (tahqiq): Abdul Qadir Al-Arnauth. (Terjemahan: Menuju Surga-Mu. 2007. Yogyakarta: Penerbit Uswah, Kelompok Pro-U Media)

Ahmad Farid. Min A’lam As-Salaf. (Terjemahan: Biografi 50 Ulama Ahlisunnah. 2012. Jakarta: Penerbit Darul Haq)

Firanda Andirja. 2010. “Bekas Perampok Jadi Ulama?” dalam http://firanda.com (diakses pada tanggal 2 Mei 2014)

***
Sukrisno Santoso
Ditulis saat hujan gerimis pada hari Jumat, 2 Mei 2014, di rumah, Kota Sukoharjo


1 Mei 2014

Kata-kata Mutiara Abu Ubaidah bin Al-Jarrah


Namanya Abu Ubaidah, Amir bin Abdullah Al-Jarrah Al-Fihri, Al-Qurasyi. Orang terpercaya umat ini. Ia adalah salah satu dari sepuluh orang yang diberi kabar gembira dengan surga.

Ia masuk Islam melalui tangan Abu Bakar Ash-Shidiq pada masa-masa awal dakwah Islam. Ia mempunyai beberapa keutamaan. Ia meninggal dunia karena penyakit tha’un, pada masa penyakit ini mewabah di Syam pada tahun 18 H. Saat itu ia berumur 85 tahun.
Semoga Allah meridhainya.

Berikut ini beberapa kata-kata mutiara yang diriwayatkan darinya, sebagaimana dituliskan oleh Shalih Ahmad Asy-Syam dalam kitabnya, Mawa’izhu Ash-Shahabah.

  • Aku Tahu Apa yang Engkau Butuhkan
Umar pernah menulis surat kepada Abu Ubaidah saat penyakit tha’un mewabah. Isi suratnya adalah, “Sesungguhnya aku sangat membutuhkan sesuatu dan aku tidak bisa penuhi tanpa keberadaanmu. Maka segeralah kemari.”

Setelah membaca surat dari Umar tersebut, Abu Ubaidah berkata, “Aku tahu apa yang diinginkan oleh Amirul Mikminin. Sesungguhnya ia menginginkan keberadaan orang yang tidak kekal.”

Lalu Abu Ubaidah membalas surat Umar dengan menulis, “Sesungguhnya aku mengerti apa yang engkau inginkan. Maka izinkanlah aku untuk tidak memenuhi permintaanmu karena saat ini aku adalah salah seorang dari pasukan muslimin. Dan aku tidak akan mementingkan diriku sendiri dan mengabaikan mereka.”

Setelah membaca surat Abu Ubaidah, Umar menangis. Lalu ada yang bertanya kepadanya, “Apakah Abu Ubaidah telah meninggal?”
Ia menjawab, “Tidak, tetapi seakan-akan ia telah tiada.

  • Kehancuran
“Kehancuran itu adalah: orang yang berbuat dosa, lalu ia tidak pernah melakukan satu kebaikan pun setelah itu, hingga ia meninggal.”

  • Buah Kebaikan
“Ketahuilah, sudah berapa banyak orang selalu membersihkan bajunya, namun menodai agamanya. Ketahuilah, sudah berapa banyak orang yang memuliakan dirinya sendiri, padahal ia justru menghinakannya.

Tutuplah keburukan-keburukan yang telah lalu dengan kebaikan-kebaikan yang baru. Seandainya salah seorang dari kalian melakukan keburukan hingga memenuhi apa yang ada di antara langit dan bumi, kemudian ia berbuat sebuah kebaikan, niscaya kebaikan itu akan lebih tinggi daripada keburukan-keburukannya hingga meleburnya.”

  • Bagian dari Kulitnya 
“Tidak seorang pun -baik berkulit hitam maupun merah, merdeka maupun sahaya (budak), orang Arab maupun bukan- yang aku tahu bahwa ia lebih tinggi ketakwaannya daripada aku, kecuali aku pasti lebih suka menjadi bagian dari kulitnya.”

  • Seperti Kertas
“Hati seorang mukmin itu bagaikan selembar kertas yang selalu berbolak-balik begini dan begitu setiap hari.”

  • Andaikan Aku
“Andaikan aku seekor kambing. Lalu pemilikku menyembelihku, kemudian mereka makna dagingku dan menyamak kulitku.”

(Maksudnya, lebih baik baik menjadi hewan yang mati disembelih tanpa menjalani tanggung jawab apapun setelahnya. Sedangkan menjadi manusia, setelah mati, ia masih harus mempertanggungjawabkan amal-amal perbuatannya di akhirat kelak)

  • Introspeksi Diri
Suatu ketika, Abu Ubaidah pernah mengimami (shalat) suatu kaum. Setelah selesai, ia berkata, “Setan masih saja menggangguku tadi, hingga ditampakkan kepadaku bahwa aku mempunyai kelebihan atas yang lain. Maka mulai saat ini aku tidak mau menjadi imam lagi selamanya.”

***
Referensi:
Shalih Ahmad Asy-Syami. Mawa’izu Ash-Shahabah. (Terjemahan: Untaian Hikmah Pelembut Jiwa. 1999. Sukoharjo: Penerbit Roemah Buku)

***
Sukrisno Santoso
Ditulis pada waktu sore, Kamis, 1 Mei 2014, di rumah, Kota Sukoharjo



PROMO BUKU

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More