MUSLIMAH

Menuju Insan yang Shalihah

This is default featured post 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

MUTIARA DAKWAH

This is default featured post 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

1 Mei 2012

Tawadlu'



 “Dan hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan.” (Qs. Al-Furqan: 63)

Maksud ayat tersebut adalah berjalan di muka bumi dengan tenang, berwibawa, rendah hati, tidak jahat, tidak congkak dan sombong. Menurut Al-Hasan, mereka adalah orang-orang yang berilmu dan bersikap lemah lembut. Menurut Muhammad bin Al-Hanafiah, mereka adalah orang-orang yang berwibawa, menjaga kehormatan diri dan tidak berlaku bodoh. Kalaupun mereka dianggap bodoh, maka mereka tetap bersikap lemah lembut. [1]

Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa Rasulullah bersabda
إِذَا نَظَرَ أَحَدُكُمْ إِلَى مَنْ فُضِّلَ عَلَيْهِ فِي الْمَالِ وَالْخَلْقِ فَلْيَنْظُرْ إِلَى مَنْ هُوَ أَسْفَلَ مِنْهُ مِمَّنْ فُضِّلَ عَلَيْهِ
“Ketika seorang dari kalian memandang orang yang melebihi dirinya dalam harta dan anak, maka hendaklah ia juga memandang orang yang lebih rendah darinya, yaitu dari apa yang telah dilebihkan kepadanya.” (HR. Muslim)

Sikap Tawadhu’ Nabi dan Para Sahabat
Dalam kitab Madarijus Salikin disebutkan bahwa Rasulullah senantiasa menunjukkan sikap tawadhu' kepada siapa pun. Jika beliau melewati sekumpulan anak-anak kecil, maka beliau mengucapkan salam kepada mereka. Ada seorang budak wanita yang menggelendeng tangan beliau menuju tempat yang dikehendakinya. Jika beliau makan, maka beliau menjilat jari-jari tangannya tiga kali. Jika berada di rumah, maka beliau mengerjakan tugas-tugas keluarganya. 
Beliau biasa menjahit sandalnya, menambal pakaian, memerah susu untuk keluarganya, memberi makan onta, makan bersama para pelayan, duduk bersama orang-orang miskin, berjalan bersama para janda dan anak-anak yatim, memenuhi keperluan mereka, selalu mengucapkan salam terlebih dahulu kepada mereka, memenuhi undangan siapa pun yang mengundangnya, sekalipun untuk keperluan yang sangat ringan dan reman. Akhlak beliau lembut, tabiat beliau mulia, pergaulan beliau baik, wajah senantiasa berseri, mudah tersenyum, rendah hati namun tidak menghinakan diri, dermawan tapi tidak boros, hatinya mudah tersentuh dan menyayangi setiap orang Muslim dan siap melindungi mereka. [2]

Abu Bakar biasa memerahkan susu kambing orang-orang di sebuah perumahan. Setelah Abu Bakar menjadi khalifah, seorang anak perempuan dari perumahan itu berkata, “Mulai sekarang tidak ada lagi yang memerahkan susu kambing untuk kita.” Abu Bakar mendengar ucapan anak itu, maka ia pun berkata, “Sungguh, aku akan terus memerahkan susu untuk kalian. Demi Allah, aku tidak ingin kesibukanku yang baru ini mengubah kebiasaan baikku yang sudah-sudah.

Suatu hari ‘Umar bin Khaththab berangkat ke negeri Syam bersama Abu Ubaidah. Mereka sampai di sebuah telaga. ‘Umar turun dari untanya dan melepas khufnya, lalu menggantungkannya di pundaknya, dan menarik tali unta untuk memberinya minum. Melihat itu, Abu Ubaidah berkata, “Wahai Amirul Mukminin, engkau melakukan ini? Kau lepas khufmu, kau letakkan di pundakmu, lalu kau tarik untamu untuk kau suruh minum?! Aku senang jika para penduduk itu memuliakanmu.”

‘Umar pun menjawab, “Jika yang mengatakannya bukan kamu, wahai Abu Ubaidah, aku pasti menjadikannya sebagai pelajaran bagi umat Muhammad. Sesungguhnya kita ini adalah kaum yang hina dina lantas Allah memuliakan kita dengan Islam. Maka, jika kita mencari kemuliaan dengan selain apa yang Allah memuliakan kita dengannya, niscaya Allah akan menghinakan kita.” [3]

Urwah bin Az-Zubair berkata, “Aku pernah melihat Umar bin Al-Khaththab memanggul segeriba air. Maka kukatakan kepadanya, "Wahai Amirul-Mukminin, tidak sepantasnya engkau melakukan hal ini.” Umar menyahut, "Ketika ada beberapa orang utusan yang datang kepadaku dalam keadaan tunduk dan patuh, maka ada sedikit kesombongan yang merasuk ke dalam diriku. Namun aku dapat mengenyahkannya." [4]
  • “Sesungguhnya jika seorang hamba bersikap tawadhu’ karena Allah, maka Allah akan memuliakannya dengan hikmah-Nya, seraya dikatakan kepadanya, “Bangkitlah, Allah pasti meninggikannya”, dalam dirinya ia menganggap bahwa dirinya hina, sedang di mata manusia ia mulia.” (‘Umar bin Khaththab) 
  • “Inti sikap tawadhu’ adalah hendaklah engkau memberi salam kepada siapa saja yang engkau jumpai dari kaum muslimin, ridha dengan yang lain dalam majelis, dan engkau benci jika disebut-sebut dengan kebaikan dan ketakwaanmu.” (‘Umar bin Khaththab)  
  • “Barangsiapa yang menonjolkan dirinya karena sombong, maka Allah akan merendahkannya. Barangsiapa yang merendahkan diri karena khusyu’, maka Allah akan mengangkatnya.” (Abdullah bin Mas’ud)  
  • “Seseorang tidak dianggap berilmu hingga ia tidak lagi iri kepada orang yang lebih mulia dari dirinya, dan tidak menghina orang yang lebih rendah dari dirinya, serta tidak mengharapkan uang dengan ilmunya.” (Ibnu Umar) [5] 
  • “Pangkal tawadhu’ adalah kamu posisikan dirimu bersama orang yang nikmat dunianya lebih rendah darimu sampai kamu mengerti bahwa tidak ada keutamaan bagimu atasnya dengan duniamu; dan kamu posisikan dirimu bersama orang yang nikmat dunianya lebih tinggi darimu sampai kamu membuatnya mengerti bahwa tidak ada keutamaan baginya atasmu dengan dunianya.” (Abdullah bin Mubarak) [6] 
  •  “Tawadhu' artinya tunduk kepada kebenaran dan patuh kepadanya serta mau menerima kebenaran itu dari siapa pun yang mengucapkannya." (Al-Fudahil bin Iyadh) [7]

Para sahabat tidak memiliki gelar dan julukan-julukan kebesaran, tidak memiliki tambahan-tambahan di belakang nama mereka yang bernada sombong. Mereka dipanggil dengan nama mereka, wahai Abu Bakar, wahai ‘Umar, Utsman, ‘Ali, Usamah, Abdurrahman, Zubair. Tidak ada gelar kebesaran bagi mereka. Cukuplah mereka menyandang gelar kemuliaan dari Allah. Sedangkan banyak orang yang menggunakan gelar-gelar kebesaran, gelar jabatan, atau gelar akademik. Mereka merasa jengkel dan marah apabila disebut namanya tanpa disertai gelarnya.

Dahulu para Salafush Shalih sangat membenci ketenaran dan mengingatkan diri mereka sendiri agar menjauhinya. Mereka melihat bahwa diri mereka tidak pantas untuk menjadi yang terdepan. Ibrahim An-Nakha’I misalnya, dahulu setiap ada empat orang yang mendekat dan duduk di dekatnya ketika berada di dalam masjid, maka dia langsung berdiri dan meninggalkan mereka. Hal ini dia lakukan karena dirinya takut menjadi orang terkenal. Dahulu Salafush Shalih sangat takut memberikan fatwa, mereka sangat senang jika telah ada orang lain yang mau memberikan fatwa menggantikan mereka dan mereka takut terhadap berbagai pertanyaan dan persoalan yang dilontarkan. [8]

Sedangkan sekarang banyak orang justru sebaliknya, saling berebut untuk untuk memberikan jawaban atas setiap pertanyaan. Merasa tahu padahal sesungguhnya ilmunya hanya sedikit. Merasa paling pandai padahal bodoh. Orang pandai tidak diukur seberapa banyak ia mampu menjawab berbagai pertanyaan. Para ulama sering mengatakan tidak tahu terhadap persoalan yang disampaikan kepadanya.

Sebab yang mendorong timbulnya sifat sombong adalah memiliki kedudukan yang tinggi dan pengaruh yang besar dan kurangnya bergaul dengan orang yang memiliki status sosial yang sama dengannya –atau yang lebih rendah darinya. Sebab lain yang mendorong timbulnya kebanggaan pada diri sendiri adalah banyaknya pujian dari orang-orang terdekat dan sanjungan yang berlebihan dari orang-orang yang ingin cari muka, yaitu orang-orang yang terbiasa dengan kemunafikan. [9]

Jangan Sombong
Dosa pertama yang menjadi kedurhakaan terhadap Allah adalah dua macam: takabur dan ambisi. Takabur merupakan dosa Iblis yang terlaknat. Sedangkan dosa bapak kita Adam adalah ambisi dan syahwat. Orang yang takabur dan beralasan kepada takdir akan bersama pemimpin mereka masuk ke dalam neraka, yaitu Iblis. Ibnu Qayyim Al-Jauziyah berkata, “Saya mendengar Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyah berkata, ‘Takabur lebih jahat daripada syirik. Sebab orang yang takabur merasa dirinya hebat untuk beribadah kepada Allah. Sedangkan orang musyrik masih mau beribadah kepada Allah dan kepada selain-Nya.’" [10]

Imam Adz-Dzahabi mengategorikan sombong sebagai salah satu dosa besar. Adz-Dzahabi berkata, “Sombong yang paling buruk adalah sombongnya seseorang terhadap orang lain karena ilmu yang dimilikinya dan ia merasa besar dengan kelebihan yang dimilikinya. Sungguh, ilmunya tidak bermanfaat baginya.

Orang yang menuntut ilmu untuk dibanggakan, mencari kedudukan, meremehkan kaum muslimin, menganggap mereka bodoh, serta melecehkan mereka, sungguh ini adalah sombong yang paling besar. Dan tidak akan masuk surga orang yang di hatinya ada sombong walau seberat biji sawi.” [11]

Sombong adalah jalan menuju murka Allah. Juga, merupakan tanda rendahnya jiwa dan jauhnya ia dari Allah. Karena sombong seseorang terusir dari rahmat Allah dan menjadikannya tidak dapat memahami ayat-ayat-Nya. Juga, selamanya tidak akan mendapatkan taufik untuk taat kepada-Nya. Sombong akan membuat seseorang terhalang dari surga dan akan mengantarnya ke neraka.

Hanya Allah yang Berhak Sombong
Dari Abdullah bin Umar, ia berkata, Rasulullah bersabda:
يَطْوِي اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ السَّمَاوَاتِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ثُمَّ يَأْخُذُهُنَّ بِيَدِهِ الْيُمْنَى ثُمَّ يَقُولُ أَنَا الْمَلِكُ أَيْنَ الْجَبَّارُونَ أَيْنَ الْمُتَكَبِّرُونَ ثُمَّ يَطْوِي الْأَرَضِينَ بِشِمَالِهِ ثُمَّ يَقُولُ أَنَا الْمَلِكُ أَيْنَ الْجَبَّارُونَ أَيْنَ الْمُتَكَبِّرُونَ

“Allah Taala melipat langit-langit pada hari kiamat, kemudian menggenggam langit-langit itu dengan tangan kanan-Nya, lalu berfirman: Akulah Raja! Manakah orang-orang penguasa yang suka menindas? Manakah orang-orang yang sombong? Kemudian Dia melipat bumi dengan tangan kiri-Nya, lalu berfirman: Akulah Raja! Manakah orang-orang penguasa yang suka menindas? Manakah orang-orang yang sombong?”

Ibnu ‘Auf menggubah seuntai syair:

Aku amat terpesona karena kecantikan rupanya
Padahal hari kemarin dia adalah setetes mani yang hina
Dan pada hari esok, setelah hilang pesonanya
Dia menjadi bangkai kotor di liang lahat
Dia tidak sadar bahwa di balik kesombongan dan keangkuhannya
Di balik pakaian yang dikenakannya ada kotoran [12]

 
Seorang penyair mengungkapkan:

Wahai orang yang selalu memperlihatkan kesombongan
Karena bentuk dan rupa tubuh yang indah
Perhatikanlah orang-orang yang sombong sebelummu
Kebusukanmu kelak akan menjadi celaan bagimu
Andaikan orang-orang mau memikirkan
Apa yang ada di dalam perutnya
Niscaya orang yang masih muda maupun yang sudah tua
Tidak akan merasa sombong
Adakah pada anak Adam sesuatu yang lebih berharga daripada kepala
Padahal sudah dimaklumi bahwa lima bagian dari kepala itu mengandung kotoran
Dalam hidung mengalir kotoran
Dan telinga baunya sangat menyengat menusuk hidung
Dari mata mengalir air dan dari gigi mengalir lendir
Wahai keturunan tanah dan makanan tanah
Silakan berleha-leha, kelak engkau akan menjadi makanan dan minuman tanah
[13]


Maraji’:
- Adabud Dunya wad Din, Al-Mawardi
- Al-Kabair, Adz-Dzahabi
- At-Tawadhu’, Mahmud Al-Mishri
- Hakadza Haddatsana Az-Zaman, ‘Aidh Al-Qarni
- Madarijus Salikin, Ibnu Qayyim Al-Jauziyah
- Mawa’izhu Ash-Shahabah, Shalih Ahmad Asy-Syami

                                                                                
[1] Madarijus Salikin, Ibnu Qayyim Al-Jauziyah
[2] Madarijus Salikin, Ibnu Qayyim Al-Jauziyah
[3] At-Tawadhu’, Mahmud Al-Mishri
[4] Madarijus Salikin, Ibnu Qayyim Al-Jauziyah
[5] Mawa’izhu Ash-Shahabah, Shalih Ahmad Asy-Syami
[6] At-Tawadhu’, Mahmud Al-Mishri
[7] Madarijus Salikin, Ibnu Qayyim Al-Jauziyah
[8] Hakadza Haddatsana Az-Zaman, ‘Aidh Al-Qarni
[9] Adabud Dunya wad Din, Al-Mawardi
[10] Madarijus Salikin, Ibnu Qayyim Al-Jauziyah
[11] Al-Kabair, Adz-Dzahabi
[12] Adabud Dunya wad Din, Al-Mawardi
[13] Adabud Dunya wad Din, Al-Mawardi 


0 komentar:

Posting Komentar

PROMO BUKU

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...