MUSLIMAH

Menuju Insan yang Shalihah

This is default featured post 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

MUTIARA DAKWAH

This is default featured post 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

17 Agustus 2016

Adab Berdoa

Adab Berdoa

Doa memiliki kedudukan yang tinggi dalam Islam. Doa menunjukkan betapa manusia sangat bergantung kepada Allah SWT. Dan bahwasanya tiada daya upaya selain dari Allah SWT. Berikut ini adab-adab berdoa yang baik.

1. Menghadirkan Hati
Hendaklah seseorang berdoa dengan menghadirkan hati, penuh kekhusyukan, dan rasa takut.

Allah SWT berfirman, “Sungguh mereka selalu bersegera dalam (mengerjakan) kebaikan, dan mereka berdoa kepada Kami dengan harap dan cemas. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyuk kepada Kami.” (QS. Al-Anbiya’: 90)

Allah berfirman SWT, “Berdoalah kepada Rabb-mu dengan rendah hati dan suara yang lembut.” (QS. Al-A’raf: 55)

2. Memperbanyak Doa

Allah berfirman, “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orangy yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka jahanam dalam keadaan hina dina.” (QS. Al-Mukmin: 60)

Setiap muslim hendaknya memperbanyak doa setiap saat karena ia adalah ibadah yang mulia dan perkara yang tinggi di sisi Allah SWT.
Rasulullah SAW bersabda, “Tidak ada sesuatu pun yang lebih mulia daripada doa di sisi Allah.” (HR. Ahmad, Tirmidzi, dan Hakim)

Rasulullah Saw bersabda, “Jika salah seorang dari kalian berdoa, maka hendaklah dia memperbanyaknya karena sesungguhnya dia meminta dari Tuhannya.” (HR. Ibnu Hibban)

3. Memulai dengan Memuji Allah SWT dan Menyebutkan Nama dan Sifat-Nya
Dianjurkan kepada setiap muslim untuk memulai segala urusannya dengan memuji Allah SWT karena Dia-lah yang berhak atas segala pujian tersebut.

Rasulullah Saw bersabda, “Apabila salah seorang kalian hendak berdoa, hendaklah memulainya dengan memuji dan menyanjung Rabb-nya serta bershalawat kepada Nabi. Setelah itu, barulah berdoa sesuai dengan kehendaknya.” (HR. Abu Daud, Tirmidzi, dan An-Nasa’i)

Rasulullah Saw suatu saat mendengar seseorang berdoa, “Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dengan perantara bahwa sesungguhnya segala puji adalah milik-Mu, tiada Tuhan selain Engkau, Engkau Yang Maha Esa yang tidak mempunyai sekutu, Yang Maha Memberi, Pencipta langit dan bumi, yang memiliki keagungan dan kemuliaan.”
Lalu Rasulullah Saw bersabda, “Dia telah memohon kepada Allah dengan nama-Nya yang agung, yang jika Dia diminta dengannya pasti akan memberi, dan jika dimohon dengannya Dia akan mengabulkan.” (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah)

Imam Nawawi berkata, “Para ulama telah sepakat atas sunnahnya memulai doa dengan memuji dan menyanjung Allah SWT, serta membaca shalawat atas Rasulullah Saw. Demikian pula, disunnahkan menutup doa dengan kedua hal tersebut.”

4. Membaca Shalawat kepada Nabi Muhammad Saw

Rasulullah Saw bersabda, “Apabila salah seorang kalian hendak berdoa, hendaklah memulainya dengan memuji dan menyanjung Rabb-nya serta bershalawat kepada Nabi. Setelah itu, barulah berdoa sesuai dengan kehendaknya.” (HR. Abu Daud, Tirmidzi, dan An-Nasa’i)

5. Berdoa dengan Bersungguh-sungguh
Seyogyanya seseorang berdoa dengan sungguh-sungguh karena doa adalah ibadah dan ibadah memerlukan kesungguhan dan ketulusan.

Rasulullah Saw bersabda, “Janganlah salah seorang dari kalian berdoa, ‘Ya Allah, ampunilah aku jika Engkau berkenan. Ya Allah, rahmatilah aku jika Engkau berkenan. Ya Allah, berilah aku rezeki jika Engkau berkenan.’ Hendaklah dia meminta dengan bersungguh-sungguh karena sesungguhnya dia melakukan apa yang dikehendaki dan tidak terpaksa.” (HR. Bukhari dan Muslim)

6. Yakin Doanya Akan Dikabulkan
Hendaklah orang yang berdoa yakin bahwa doanya akan dikabulkan oleh Allah SWT.
Allah berfirman, “Apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (katakanlah) bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku.” (QS. Al-Baqarah: 186)

Rasulullah Saw bersabda, “Berdoalah kalian kepada Allah dengan penuh keyakinan akan dikabulkan, dan ketahuilah bahwa Allah tidak akan menerima doa dari hati yang lalai.” (HR. Tirmidzi dan Hakim)

7. Tidak Berdoa untuk Suatu Keburukan, Kemaksiatan, atau Memutus Silaturahmi
Rasulullah Saw bersabda, “Tidaklah seseorang berdoa kecuali Allah akan memberikan apa yang dia minta, atau Allah akan menyelamatkannya dari keburukan serupa itu, selama orang tersebut tidak berdoa untuk suatu dosa atau memutus hubungan silaturahmi.” (HR. Tirmidzi)

Akan tetapi, doa yang buruk untuk orang-orang kafir dan orang-orang zalim tidak termasuk dalam larangan ini karena doa semacam itu banyak didapati di dalam Al-Quran dan Hadits.

Janganlah berdoa untuk diri sendiri, harta, anak, kerabat, dengan doa yang mengandung keburukan.
Rasulullah Saw bersabda, “Janganlah kalian mendoakan kecelakaan atas diri sendiri, anak-anak kalian, dan harta benda kalian, jangan sampai engkau berdoa (dengan hal tersebut) pada saat mustajab yang setiap permintaan akan dikabulkan.” (HR. Muslim)

8. Memilih Waktu yang Mustajab
Ada beberapa kesempatan yang telah diterangkan dalam berbagai hadits yang merupakan saat mustajab dikabulkannya doa. Di antara saat-saat tersebut ialah waktu antara azan dan iqamah, di dalam shalat, saat berbuka puasa, saat akhir malam, saat menunaikan haji, saat berada di ka’bah, dll.

9. Tidak Tergesa-gesa Ingin Dikabulkan
Tidak boleh tergesa-gesa agar doanya dikabulkan oleh Allah SWT karena hal tersebut dapat menghalangi terkabulnya doa. Sikap tergesa-gesa ini bisa menjadi indikasi bahwa orang tersebut tidak percaya dengan janji Allah yang akan mengabulkan semua doa.

Rasulullah Saw bersabda, “Doa salah seorang dari kalian akan dikabulkan selama dia tidak tergesa-gesa, yaitu dengan mengatakan, ‘Aku telah memohon tetapi tidak dikabulkan.’” (HR. Bukhari dan Muslim)

Jika seseorang berdoa lalu merasa bahwa doanya tidak dikabulkan, hendaklah dia mengetahui bahwa sesungguhnya Allah SWT mengabulkan doanya dengan berbagai cara, yaitu Allah memberikan apa yang dia minta, Allah menyimpan suatu kebaikan untuknya, atau Allah menghindarkannya dari suatu bencana.

Rasulullah Saw bersabda, “Tidaklah seseorang berdoa kecuali Allah akan memberikan apa yang dia minta, atau Allah akan menyelamatkannya dari suatu keburukan serupa itu, selama orang tersebut tidak berdoa untuk suatu dosa, atau memutus hubungan silaturahmu.” (HR. Tirmidzi)

Rasulullah Saw bersabda, “Tidaklah seseorang berdoa kecuali Allah akan mengabulkan apa yang dia minta, baik Allah menyegerakannya di dunia, atau menyimpannya di akhirat selama orang tersebut tidak berdoa untuk suatu dosa, atau untuk memutus hubungan silaturahmi, atau tergesa-gesa.”
Para sahabat berkata, “Wahai Rasulullah, bagaimana dia tergesa-gesa?”
Beliau menjawab, “Orang itu berkata, ‘Aku telah memohon kepada Tuhanku tetapi tidak dikabulkan.” (HR. Tirmidzi)


Referensi:
An-Nawawi, Abu Zakariya Yahya bin Syaraf. 2010. Adzkar Nawawi: Ensiklopedia Dzikir dan Doa yang Bersumber dari Al-Quran dan Al-Hadits. Terjemahan oleh Muhammad Isa Anshory. Solo: Pustaka Arafah

Nada, Abdul Aziz bin Fathi As-Sayyid. 2008. Ensiklopedia Etika Islam. Terjemahan oleh Muhammad Isnaini, dkk. Jakarta: Maghfirah Pustaka


***

Disusun oleh Sukrisno Santoso
Sukoharjo, 17 Agustus 2016



12 Agustus 2016

Syair Imam Syafii tentang Merantau


Tidak ada tempat istirahat bagi orang yang berakal dan beradab
Maka tinggalkanlah tanah air dan asingkan diri
Pergilah!
Niscaya kau akan mendapatkan ganti dari orang-orang yang kautinggalkan
Bersungguh-sungguhlah, karena nikmatnya hidup adalah dengan kesungguhan

Sungguh aku melihat air yang diam itu akan merusak
Jika mengalir ia akan baik, jika menggenang ia akan rusak
Singa jika tidak keluar dari sarangnya tidak akan buas
Sedang anak panah jika tidak keluar dari busurnya tidak akan mengenai sasaran
Jika matahari hanya diam pada satu garis edar
Maka seluruh manusia Ajam dan Arab akan jemu melihatnya

Di tempat asalnya
Bijih emas bagaikan debu yang terbuang
Kayu gaharu yang harum wanginya
Di tempat aslinya hanyalah kayu bakar
Tetapi saat berpindah ke tempat lain, kayu tersebut akan menjadi mulia
Begitu pula bijih emas akan mulia jika sudah menjadi emas di tempat lain



(Diwan Imam Syafii dalam Minhajul Mukmin, Musthafa Murad)




4 Agustus 2016

Lelaki yang Dimandikan oleh Malaikat


Inilah Hanzhalah, lelaki yang dimandikan oleh malaikat. Bagaimanakah kisahnya? Berikut ini kisahnya sebagaimana dikutip dari kitab 184 Kisah Perindu Surga karya Muhammad bin Hamid Abdulwahab.

Ketika itu, Hanzhalah baru menikah dengan Jamilah binti Abdullah bin Ubay bin Sahlul. Ia lalu bermalam dengan istrinya, sedangkan esok paginya akan berkecamuk Perang Uhud. Hanzhalah sebelumnya telah meminta izin kepada Rasulullah dan beliau mengizinkannya.

Pada pagi harinya, setelah shalat Subuh, Hanzhalah bermaksud segera ikut dalam barisan Rasulullah ke Uhud. Akan tetapi, sebelum berangkat, ia terlebih dahulu menggauli istrinya hingga ia junub.

Istrinya lalu menginformasikan dan mempersaksikan hal tersebut, yaitu bahwa Hanzhalah telah menggaulinya, kepada empat orang kerabatnya. Ketika ditanya latar belakang tindakannya itu, Jamilah berkata, “Aku melihat dalam tidur bahwa langit tiba-tiba merekah lalu Hanzhalah masuk ke dalamnya. Setelah itu langit kembali bertaut. Aku lalu menakwilkan bahwa Hanzhalah akan syahid.”

Dari hubungan dengan suaminya tersebut, Jamilah melahirkan anak yang diberi nama Abdullah bin Hanzhalah.

Sambil mengusung pedang, Hanzhalah bergegas menemui Rasulullah yang saat itu tengah merapikan barisan pasukan kaum muslimin. Setelah pertempuran berlangsung beberapa lama dan pasukan kaum muslimin terdesak, Hanzhalah lalu menerjang ke arah Abu Sufyan dan kemudian menebas tumit kuda pemimpin musyrikin Mekah itu dengan pedangnya. Akan tetapi, seorang laki-laki dari pasukan musyrikin lantas menyarangkan tombaknya sehingga Hanzhalah pun roboh.

Ketika peperangan berakhir, Rasulullah lalu berkata, “Aku sungguh melihat para malaikat tengah memandikan Hanzhalah bin Abu ‘Amir di antara langit dan bumi dengan air hujan yang ditampung dalam bejana dari perak.”

Sungguh Hanzhalah telah melakukan perbuatan yang luar biasa dengan meninggalkan istri yang baru satu hari dinikahinya demi memenuhi panggilan perang. Iman yang kuat telah mendorongnya untuk bersegera memenuhi Rasulullah, bahkan meski dengan tidak mandi junub terlebih dahulu agar tidak terlambat. Hasilnya, Allah menganugerahkan kepadanya mati syahid dan rezeki yang melimpah ruah.


Dari kisah di atas dapat kita ambil beberapa pelajaran.

  1. Sunnahnya menikah dan menyegerakannya, bahkan dalam keadaan sehari sebelum perang, pernikahan tetap dilaksanakan.
  2. Etika sahabat meminta izin terlebih dahulu kepada Rasulullah untuk tidak ikut persiapan perang karena ada keperluan menikah dan bermalam dengan istrinya.
  3. Mempersaksikan suatu perbuatan agar tidak menimbulkan prasangka, sebagaimana istri Hanzhalah yang mempersaksikan kepada kerabatnya bahwa suaminya telah menggaulinya agar ketika ia hamil dan melahirkan, orang-orang yakin bahwa itu adalah hasil hubungannya dengan Hanzhalah.
  4. Semangat para sahabat dalam memenuhi panggilan jihad. Hanzhalah rela meninggalkan istri yang baru sehari dinikahinya.
  5. Bersegera dalam berangkat jihad, bahkan Hanzhalah tidak sempat mandi junub terlebih dahulu.
  6. Keutamaan orang yang mati syahid, sebagaimana Hanzhalah yang dimandikan oleh malaikat dengan air hujan yang ditampung di dalam bejana perak.
  7. Kebenaran mimpi orang-orang yang beriman, sebagaimana mimpi istri Hanzhalah yang ditakwilkan bahwa Hanzhalah akan mati syahid.

***
Referensi:
Muhammad bin Hamid Abdulwahab. 184 Kisah Perindu Surga. 2011. Jakarta: Penerbit Al-Qalam)

***
Ditulis oleh: Sukrisno Santoso
Ditulis pada hari Rabu, 14 Mei 2014, di SMPIT Mutiara Insan Sukoharjo




31 Juli 2016

Pembagian Hati: Hati yang Sehat, Mati, dan Sakit


Hati ibarat raja yang mengatur bala tentara. Hati ibarat raja bagi jasad, sementara jasad ibarat tentara yang siap melaksanakan perintah dan menerima petunjuknya. Setiap amal perbuatan bersumber dari hati. Hati memimpin perbuatan jasad. Dan hati bertanggung jawab terhadap kinerja jasad. Karena, setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.

Jika hati baik maka amal perbuatan menjadi baik. Sebaliknya, jika hati buruk maka amal perbuatan menjadi buruk.

  • Rasulullah bersabda, “Ketahuilah, bahwa di dalam jasad manusia terdapat segumpal daging. Jika ia baik maka baik pula seluruh jasadnya, dan jika ia rusak maka rusak pula seluruh jasadnya. Ketahuilah, bahwa segumpal daging itu ialah hati.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Menurut sifatnya, hati dibagi menjadi tiga jenis, yaitu (1) hati yang sehat, (2) hati yang mati, dan (3) hati yang sakit.

1. Hati yang Sehat
Hati yang sehat yaitu hati yang bersih yang menyelematkan seseorang pada hari Kiamat saat menghadap Allah. 

  • Allah berfiman, “(Yaitu) pada hari harta dan anak laki-laki tidak berguna, kecuali yang menghadap Allah dengan hati yang sehat.” (QS. Asy-Syu’ara: 88-89)
Qolbun salim (hati yang sehat) yaitu hati yang bersih dan selamat dari berbagai syahwat yang menyalahi perintah dan larangan Allah, serta dari syubhat (kesamaran) yang bertentangan dengan firman-Nya. Ia selamat dari penghambaan kepada selain Allah dan dari ketetapan selain Rasul-Nya. Amal perbuatannya ikhlas karena Allah. Ia mencintai karena Allah dan membenci karena Allah.

2. Hati yang Mati
Hati yang mati ialah hati yang di dalamnya tiada kehidupan. Ia tidak mengetahui Rabb-nya sehingga tidak menyembahnya sesuai perintah, serta tidak mencintai apa yang dicintai dan diridlai-Nya. Hati yang mati berjalan bersama syahwat dan kesenangan-kesenangannya meskipun mengandung amarah dan murka dari Rabb-Nya.

Ia mencintai dan membenci karena hawa nafsunya. Ia memberi dan menolak karena hawa nafsunya. Hawa nafsu adalah pemimpinnya, syahwat adalah komandannya, kebodohan adalah sopirnya, kelalaian adalah kendaraannya. Tujuan duniawi membuatnya tenggelam, nafsu dan cinta dunia menjadikannya mabuk kepayang.

3. Hati yang Sakit
Hati yang sakit ialah hati yang hidup tetapi terjangkit penyakit. Terkadang hatinya condong pada kebaikan, namun terkadang cenderung pada kemaksiatan. Di dalam hati tersebut ada cinta kepada Allah, iman kepada-Nya, ikhlas untuk-Nya, tawakal kepada-Nya dan itulah yang menyebabkan hatinya hidup. Namun, di dalamnya ada pula cinta dan kesenangan pada syahwat serta memiliki hasrat kuat untuk meraihnya.

Di dalam hati yang sakit terdapat dua penyeru yang saling bertentangan. Penyeru pertama mengajaknya kepada Allah, Rasul-Nya dan kehidupan akhirat. Penyeru kedua mengajaknya kepada kehidupan dunia. Ada kalanya ia mengikuti seruan yang pertama, ada kalanya ia mengikuti seruan yang kedua.


Referensi:
Al-Jauziyah, Ibnu Qayyim. Ighatsatul Lahfan fi Mashayidisy Syaithan. Ringkasan oleh Ali Hasan Abdul Hamid. (Terjemah oleh Ainul Haris Umar Arifin Thayib). 2010. Manajemen Qalbu: Melumpuhkan Senjata Setan. Bekasi: Darul Falah


Farid, Ahmad. Al-Bahru Ar-Raqa’iq fiz Zuhdi war Raqa’iq. (Terjemah: Muhammad Suhadi). 2014. Tazkiyatun Nafs: Penyucian Jiwa dalam Islam. Jakarta: Ummul Qura



.................................
Disusun oleh:
Sukrisno Santoso
Sukoharjo, 31 Juli 2016


13 Januari 2016

Tafsir Al-Quran Surat An-Nas Ayat 1-6

Tafsir Al-Quran Surat An-Nas Ayat 1-6
An-Nas (Manusia), surat Makkiyah 

(1) Katakanlah: "Aku berlidung kepada Tuhan (yang memelihara dan menguasai) manusia.
(2) raja manusia.
(3) sembahan manusia.
(4) dari kejahatan (bisikan) syaitan yang biasa bersembunyi,
(5) yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia,
(7) dari (golongan) jin dan manusia.

Inilah tiga dari sifat-sifat Rabb, yaitu Rububiyah, Raja, dan Ilahiyah (ayat 1-3). Allah adalah pemelihara segala sesuatu sekaligus sebagai Raja dan Rabb. Dengan demikian, segala sesuatu yang ada ini adalah makhluk ciptaan-Nya, hamba sekaligus abdi-Nya. Oleh karena itu, Dia memerintahkan kepada semua yang hendak memohon perlindungan agar berlindung kepada Dzat yang memiliki ketiga sifat di atas, dari kejahatan bisikan syaitan khannas, yaitu syaitan yang ditugaskan untuk menggoda manusia, karena tidak ada seorang pun keturunan Adam melainkan dia memiliki satu teman yang akan senantiasa menjadikan segala perbuatan keji itu indah dipandang dan dia tidak akan mengenal kata lelah dalam menjalankannya. Dan orang yang terlindungi adalah orang yang mendapat perlindungan Allah.

Telah ditegaskan di dalam sebuah hadits shahih, “Tidak seorang pun di antara kalian melainkan telah diutus kepadanya pendampingnya.”
Para Sahabat bertanya, “Termasuk juga engkau, wahai Rasulullah?”
Beliau menjawab, “Ya, hanya saja Allah membantuku dalam menundukkannya sehingga ia masuk agama Islam, karenanya dia tidak menyuruhku kecuali hal-hal yang baik-baik.
(HR. Muslim)

Ditegaskan pula dalam kitab Ash-Shahihain, dari Anas tentang kisah kunjungan yang dilakukan oleh Shafiyyah kepada Nabi ketika beliau beritikaf dan keluarnya beliau bersamanya pada malam hari untuk mengantarnya pulang. Kemudian beliau berpapasan dengan dua orang laki-laki dari kaum Anshar.Ketika melihat Nabi, keduanya mempercepat jalannya, maka Rasulullah bersabda, “Berjalanlah seperti biasa, karena sesungguhnya dia adalah Shafiyyah binti Huyay.” Kemudian keduanya berkata, “Mahasuci Allah, wahai Rasulullah.”

Beliau pun bersabda, “Sesungguhnya syaitan itu mengalir dalam tubuh anak Adam seperti aliran darah. Dan sesungguhnya aku khawatir dia akan memasukkan sesuatu ke dalam hati kalian berdua.”

Imam Ahmad meriwayatkan, Muhammad bin Jafar memberitahu kami dari orang yang pernah membonceng Rasulullah, dia berkata, “Keledai Nabi pernah terpeleset, lalu kukatakan, ‘Celakalah syaitan!’
Maka Nabi bersabda, ‘Janganlah engkau mengatakan ‘celakalah syaitan’ karena sesungguhnya jika engkau mengatakannya, niscaya dia akan merasa bertambah besar dan mengatakan, ‘Dengan kekuatanku, aku menjatuhkannya.’ Dan jika engkau mengucapkan, ‘Bismillah,’ niscaya dia akan merasa bertambah kecil sehingga dia menjadi seperti lalat.’”
(Diriwayatkan oleh Imam Ahmad seorang diri, dengan sanad jayyid dan kuat)

Di dalam hadits di atas terkandung dalil yang menunjukkan bahwa hati jika berdzikir kepada Allah, niscaya syaitan akan merasa bertambah kecil dan kalah. Dan jika tidak berdzikir kepada Allah, niscaya syaitan akan merasa bertambah besar dan menang.

Mengenai firman Allah: alwaswasil khannas ‘syaitan yang biasa bersembunyi’ (ayat 4), Said bin Jubair mengatakan dari Ibnu Abbas, “Yaitu syaitan yang selalu bercokol di dalam hati manusia, di mana jika manusia lengah dan lalai maka dia akan memberikan bisikan, dan jika manusia berdzikir kepada Allah maka syaitan itu akan bersembunyi.”

Firman Allah: Alladzi yuwaswisufi sudurinnas ‘Yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia” (ayat 5), apakah yang demikian itu khusus pada anak Adam saja –sebagaimana tampak pada lahiriahnya—ataukah mencakup anak Adam dan juga jin? Mengenai hal tersebut terdapat dua pendapat. Di mana mereka semua telah masuk ke dalam lafazh an-nas. Ibnu Jarir mengatakan, “Dan tidak jarang jin laki-laki dipekerjakan oleh manusia. Oleh karena itu, bukan suatu hal yang aneh jika jin-jin itu disebut dengan sebutan an-nas.” 


Firman-Nya: minal jinnati wannas ‘dari jin dan manusia’ (ayat 6), ayat ini sebagai penjelas ayat di atasnya “yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia”. Hal ini memperkuat pendapat kedua.

Ada juga yang berpendapat bahwa firman-Nya, minal jinnati wannas, sebagai tafsiran bagi pihak yang selalu memberi bisikan ke dalam dada manusia yang terdiri dari syaitan, manusia, dan jin. Sebagaimana firman-Nya, “Dan demikianlah kami jadikan bagi tiap-tiap Nabi itu musuh, yaitu syaitan-syaitan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin, sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia).” (QS. A.-An’am: 112)

Imam Ahmad meriwayatkan, Waki memberitahu kami dari Ibnu Abbas, dia berkata, “Ada seseorang datang kepada Nabi seraya berkata, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya telah terbesit di dalam diriku sesuatu, di mana jatuh dari langit lebih aku sukai daripada harus membicarakannya.’ “

Lebih lanjut dia menceritakan, “Lalu Nabi bersabda, ‘Allah Mahabesar, Allah Mahabesar, segala puji hanya bagi Allah yang telah mengembalikan tipu dayanya kepada godaan.’”
(Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan An-Nasa’i)


Referensi:
Ibnu Katsir. Tafsirul Quranil Azhim. Ditahqiq dan diringkas oleh Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin Ishaq Alu Syaikh dengan judul Lubabut Tafsir Min Ibni Katsir. Terjemahan oleh M. Abdul Ghoffar & Abu Ihsan Al-Atsari. 2008. Tafsir Ibnu Katsir. Cetakan ke-4 tahun 2012. Jakarta: Pustaka Imam Syafii



PROMO BUKU

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More