MUSLIMAH

Menuju Insan yang Shalihah

This is default featured post 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

MUTIARA DAKWAH

This is default featured post 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

11 Juni 2012

Shalat Tahiyatul Masjid


Oleh: Syaikh Abdullah bin Abdurrahman bin Shalih Ali Bassam

Dari Abu Qatadah Al-Harits bin Rabi' Al-Anshary, dia berkata, "Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda: "Jika salah seorang di antara kalian masuk masjid, maka janganlah duduk sebelum shalat dua rakaat" [1]

Makna Hadits
Sulaik Al-Ghathafany masuk masjid Nabawi ketika Jumat, saat Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam menyampaikan khutbah, lalu dia langsung duduk. Beliau menyuruhnya bediri dan shalat dua rakaat. Kemudian beliau menyatakan bahwa masjid-masjid itu memiliki kesucian dan kehormatan, bahwa ia memiliki hak tahiyat atas orang yang memasukinya. Caranya, dia tidak langsung duduk sebelum shalat dua rakaat.

Karena itulah beliau tidak memberi kesempatan, termasuk pula terhadap orang yang duduk itu untuk mendengarkan khutbah belaiu.

Perbedaan Pendapat di Kalangan Ulama
Para ulama sering berbeda pendapat tentang pembolehan mengerjakan shalat-shalat yang memiliki sebab-sebab seperti shalat Tahiyatul Masjid, gerhana, jenazah dan qadha shalat yang ketinggalan pada waktu-waktu larangan shalat.

Madzhab Hanafi, Maliki dan Hambali melarangnya, yang didasarkan kepada hadits-hadits pelarangannya, seperti hadits, "Tidak ada shalat sesudah Subuh hingga matahari terbit dan tidak ada shalat sesudah Ashar hingga matahari terbenam". Begitu pula hadits, "Tiga waktu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang kami shalat di dalamnya".

Sedangkan As-Syafi'i dan segolongan ulama membolehkannya tanpa hukum makruh. Ini juga merupakan salah satu riwayat dari Al-Imam Ahmad serta merupakan pilihan pendapat Ibnu Taimiyah. Mereka berhujjah dalam hadits dalam bab ini dan lain-lainnya yang semisal seperti hadits, "Barangsiapa tidur hingga ketinggalan mengerjakan witir atau lupa, hendaklah mengerjakannya selagi mengingatnya”. Begitu pula hadits, “Sesungguhnya matahari dan rembulan merupakan dua tanda dari tanda-tanda kekuasaan Allah. Jika kalian melihatnya, maka dirikanlah shalat".

Masing-masing di antara dalil-dalil kedua belah pihak bersifat umum dari satu sisi dan bersifat khusus dari sisi yang lain. Hanya saja pembolehan shalat-shalat yang memiliki sebab-sebab pada waktu-waktu ini merupakan pengamalan terhadap semua dalil-dalil, sehingga masing-masing di antara dalil-dalil itu dapat ditakwili sedemikian rupa. Disamping itu, pembolehan tersebut bisa memperbanyak ibadah yang memiliki sandaran kepada syarat.

Perbedaan pendapat ini sudah pernah disinggung dalam hadits Ibnu Abbas. Namun kami ingin memberi tambahan kejelasan yang diambilkan dari perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, yang menyebutkan bahwa dia tidak berkomentar terhadap shalat-shalat yang memiliki sebab-sebab yang didasarkan kepada beberapa dalil yang kemudian diajdikan hujjah oleh orang-orang yang melarangnya. Tapi setelah diteliti lebih lanjut bahwa dalil-dalil itu ada yang dhaif atau tidak mengarah, seperti sabda beliau, "Jika salah seorang diantara kalian masuk masjid, janganlah dia duduk sehingga shalat dua rakaat". Sabda beliau ini bersifat umum dan tidak ada kekhususan di dalamnya, karena itu merupakan hujjah menurut kesepakat salaf.

Telah disebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyuruh orang yang masuk masjid mengerjakan shalat Tahiyatul Masjid, ketika beliau sedang berkhutbah. Adapun hadits Ibnu Umar, "Janganlah kalian mendekatkan shalat kalian dengan terbit dan terbenamnya matahari", hal ini berlaku untuk shalat tatawu' secara tak terbatas. Telah disebutkan pembolehan shalat-shalat yang memiliki sebab berdasarkan nash, seperti dua rakaat thawaf. Sebagian lagi dengan nash dan ijma', seperti shalat jenazah setelah Ashar. Jika dilihat dari sisi pembolehan, maka tidak ada alasan kecuali keberadaan shalat itu yang memiliki sebab. Syariat telah menetapkan bahwa shalat dikerjakan sebisanya, ketika ada kekhawatiran akan habis waktunya, jika memungkinkan pelaksanaannya setelah waktunya dengan cara yang sempurna, begitu pula shalat-shalat tathawu' yang memiliki sebab.

Kesimpulan Hadits
  1. Pensyariatan Tahiyatul Masjid bagi orang yang memasukinya. Shalat ini wajib menurut golongan Zhahiriyah karena berdasarkan kepada zhahir hadits. Menurut pendapat jumhur, shalat ini sunat.
  2. Shalat ini disyariatkan bagi orang yang memasuki masjid kapanpun waktunya, meskipun pada waktu larangan shalat, karena keumuman hadits. Telah disebutkan dibagian atas pendapat lain tentang hal ini.
  3. Sunat wudhu bagi orang yang memasuki masjid, agar dia tidak ketinggalan mengerjakan shalat yang diperintahkan ini.
  4. Para ulama membatasi Masjidil Haram, bahwa tahiyatnya adalah thawaf. Tapi bagi orang yang tidak berniat thawaf atau dia kesulitan mengerjakannya, maka tidak seharusnya dia meninggalkan shalat ini, yang berarti dia shalat dua rakaat


[Disalin dari kitab Taisirul-Allam Syarh Umdatul Ahkam, Edisi Indonesia Syarah Hadits Pilihan Bukhari Muslim, Pengarang Syaikh Abdullah bin Abdurrahman bin Shalih Ali Bassam, Penerbit Darul Fallah]
Sumber: http://almanhaj.or.id

Ikhtilaf Ulama, Sebab dan Sikap Kita Terhadapnya


Segala puji bagi Allah سبحانه و تعالي yang telah memberikan kepada kita nikmat iman dan islam serta kesehatan, karunia yang tiada taranya yang telah diberikan-Nya kepada kita sebagai hamba-Nya. Shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada manusia terbaik sepanjang zaman dan penutup para nabi dan rasul, Muhammad صلي الله عليه وسلم, yang telah membawa manusia dari alam jahiliyah kepada masa yang terang benderang yang penuh dengan iman dan ilmu pengetahuan, juga kepada para keluarga, sahabat, dan orang-orang yang tetap istiqamah menegakkan risalah yang dibawanya hingga akhir zaman.

Salah satu karunia Allah سبحانه و تعالي yang diberikannya kepada umat Islam adalah tidak adanya perbedaan bahwa sumber utama dalam hukum dan sikap hidup kita adalah al-Qur`an dan as-Sunnah. Ketika Rasulullah صلي الله عليه وسلم wafat, Allah سبحانه و تعالي telah menyempurnakan ajaran agama ini, seperti disebutkan dalam firman-Nya:

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ اْلإِسْلاَمَ دِينًا
"Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agamamu." (QS. Al-Maidah:3)

Demikian pula dengan sunnah, tidak ada satu sisi pun, baik yang berhubungan dengan syari'at atau pun dalam kehidupan sehari-hari, kecuali telah disampaikan dan dicontohkan oleh beliau صلي الله عليه وسلم, seperti yang tercatat dalam kitab-kitab sunnah.

Umat Islam di masa Rasulullah صلي الله عليه وسلم (baca: sahabat) selalu kembali kepada beliau صلي الله عليه وسلم setiap kali terjadi perbedapat pendapat atau perselisihan di antara mereka. Setelah Rasulullah صلي الله عليه وسلم menjelaskan, sirnalah perselisihan dan perbedaan di antara mereka. Atau terjadi kasus yang cukup rumit, sehingga Rasulullah صلي الله عليه وسلم berdiam diri menunggu turunnya al-Qur`an, namun setelah turunnya al-Qur`an yang menjelaskan realita dan hukumnya, sirnalah segala persoalan yang mengganjal mereka. 

Seperti kasus 'berita bohong' (hadits ifk) yang dialamatkan kepada 'Aisyah رضي الله عنها dan juga penyebab turunnya ayat tentang li'an dalam surah an-Nuur yang dialami salah seorang sahabat Rasulullah صلي الله عليه وسلم, yaitu Hilal bin Umayyah رضي الله عنه, salah satu dari tiga orang yang Allah سبحانه و تعالي menerima taubatnya ketika ketinggalan dalam perang Tabuk pada tahun ke sembilan Hijriyah.

Ketika Rasulullah صلي الله عليه وسلم telah meninggal dunia, mulailah terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama, tetapi bukan persoalan yang menyangkut aqidah atau prinsip dalam Islam. Kita yakin bahwa para ulama tidak mungkin meyakini suatu hukum syari'at atau memberikan fatwa kecuali yang sesuai dengan tuntutan al-Qur`an dan sunnah Rasulullah صلي الله عليه وسلم, namun sebagai manusia biasa yang tidak ma'shum, mungkin saja seseorang keliru dalam memahami kandungan yang terdapat al-Qur`an dan sunnah, tanpa bermaksud menyalahi apalagi menentang atau berpaling dari keduanya.

Berikut ini adalah beberapa sebab terjadinya perbedaan pendapat di kalangan para ulama, yang di antaranya adalah:

1. Sebab Pertama
Nash atau dalil dalam suatu masalah tidak sampai kepada seseorang yang keliru dalam mengambil suatu keputusan atau memberikan fatwa

Kasus seperti ini bukan hanya terjadi di masa sekarang, bahkan pernah terjadi beberapa kali di masa sahabat Rasulullah صلي الله عليه وسلم. Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan bahwa di masa pemerintahan Amirul Mukminin Umar bin Khaththab رضي الله عنه, setelah Palestina di kuasai kaum muslimin, Khalifah Umar رضي الله عنه melakukan perjalanan menuju Palestina bersama satu rombongan dari kalangan Muhajirin dan Anshar. Ketika di tengah perjalanan, terdengarlah kabar bahwa di negeri Syam tengah dilanda wabah yang sangat berbahaya serta telah banyak menelan korban jiwa

Mendengar berita itu, Umar رضي الله عنه menahan perjalanan dan bermusyawarah dengan para pembesar dari kalangan Muhajirin dan Anshar. Terjadilah perbedaan pendapat di antara mereka dalam masalah, apakah mereka meneruskan perjalanan atau kembali ke Madinah? Yang berpendapat untuk kembali ke Madinah memberikan argomentasi bahwa masuknya mereka ke kota itu akan membawa mereka kepada kematian, karena wabah itu sangat berbahaya. Sedangkan pendapat kedua memberikan hujjah bahwa semua yang terjadi tidak pernah terlepas dari qadha dan qadar Allah سبحانه و تعالي. Semua itu telah tercatat di Lauhul Mahfuzh. Pada saat itulah Abdurrahman bin Auf رضي الله عنه datang dan berkata, 'Sesungguhnya saya mempunyai pengetahuan tentang hal ini, saya pernah mendengar Rasulullah صلي الله عليه وسلم bersabda:

إِذَا سَمِعْتُمْ بِهِ فِى أَرْضٍ فَلاَ تَقْدُمُوْا عَلَيْهِ وَإِذَا وَقَعَ بِأَرْضٍ وَأَنْتُمْ فِيْهَا فَلاَ تَخْرُجُوْا فِرَارًا مِنْهُ.
"Apabila kalian mendengar berita tentangnya (penyakit tha'un) di suatu negeri, maka janganlah kamu memasukinya. Dan ketika wabah penyakit itu tengah terjadi, sedang kamu berada di sana, maka janganlah keluar (pergi meninggalkan negeri itu) karena lari dari penyakit tersebut." (HR. Al-Bukhari  dan Muslim)

Setelah mendengar hadits tersebut, semuanya tunduk dan patuh terhadap sunnah Rasulullah صلي الله عليه وسلم dan kembali ke kota Madinah.

Demikian pula yang sering terjadi di masa sekarang, sering kita dengar perbedaan pendapat di kalangan para ulama, dan salah satu penyebab yang dominan adalah tidak sampainya nash atau dalil kepada orang yang keliru dalam mengambil suatu keputusan hukum, di samping adanya sebab-sebab yang lain tentunya. Wallahu A'lam.

2. Sebab Kedua
Hadits (dalil) telah sampai kepada seseorang yang kebetulan keliru dalam mengambil suatu keputusan, namun ia kurang percaya kepada pembawa berita atau yang meriwayatkan hadits. 

Misalnya, imam fulan mengatakan bahwa hadits ini shahih, sedangkan imam yang lain berpandangan bahwa hadits tersebut dha'if (lemah). Seperti imam Nawawi رحمه الله berkeyakinan  bahwa hadits tentang qunut dalam shalat subuh adalah shahih, seperti yang dia tekankan dalam al-Majmu' Syarh al-Muhazzab. Sementara itu, mayoritas ulama hadits dari masa ke masa meyakini bahwa hadits itu dha'if dan tidak bisa dijadikan sebagai sumber hukum syari'at. 

Ini hanyalah sebuah contoh, masih banyak contoh lain yang serupa, namun kita cukupkan dengan satu contoh itu. Hal ini juga pernah terjadi di masa khalifah Umar bin al-Khaththab رضي الله عنه, ketika beliau menolak riwayat Fathimah binti Qais رضي الله عنها bahwa perempuan yang telah dicerai yang ketiga kalinya oleh suaminya, perempuan itu tidak berhak lagi mendapatkan hak terhadap nafkah dan tempat tinggal dari suaminya. Khalifah Umar رضي الله عنه menolak riwayat itu karena kurang percaya terhadap orang yang meriwayatkan hadits tersebut. Wallahu A'lam.

3. Sebab Ketiga
Dalil (hadits) telah sampai kepada orang tersebut, namun ia keliru dalam memahaminya. 

Contoh perbedaan seperti ini pernah terjadi di zaman Rasulullah صلي الله عليه وسلم, bahkan pada masa hidup Rasulullah صلي الله عليه وسلم. Peritistiwa itu bermula ketika Rasulullah صلي الله عليه وسلم baru selesai perang Ahzab pada tahun ke lima Hijriyah dan meletakkan peralatan perang. Pada saat itu, datanglah malaikat Jibril عليه السلام dan berkata, 'Berangkatlah menuju perkampungan Bani Quraizhah.' Maka saat itu juga Rasulullah صلي الله عليه وسلم memerintahkan kepada para sahabat agar segera berangkat menuju perkampungan mereka dan bersabda:

لاَ يُصَلِّيَنَّ أَحَدٌ إِلاَّ فِى بَنِي قُرَيْظَةَ
"Janganlah seseorang shalat Ashar kecuali di (perkampungan) Bani Quraizhah." (HR. Al-Bukhari  dan Muslim)

Para sahabat berbeda pendapat dalam memahami nash hadits ini. Sebagian mereka memahami bahwa yang dimaksud Nabi صلي الله عليه وسلم adalah agar mereka segera berangkat, sehingga sampai di perkampungan Bani Quraizhah sebelum shalat 'ashar. Karena itulah, ketika tiba waktu shalat 'ashar, sedangkan mereka masih berada di tengah perjalanan, mereka tetap melaksanakan shalat 'ashar dan tidak menta'khirkannya hingga sampai di perkampungan Bani Quraizhah.

Sedangkan yang lain memahami bahwa yang dimaksud Rasulullah صلي الله عليه وسلم adalah agar mereka jangan melaksanakan shalat 'ashar kecuali di perkampungan Bani Quraizhah. Sehingga ketika tiba waktu shalat 'ashar, sedangkan mereka masih berada di tengah perjalanan, mereka tidak langsung melaksanakan shalat 'ashar dan menundanya hingga sampai di perkampungan Bani Quraizhah. 

Ketika hal itu disampaikan kepada Rasulullah صلي الله عليه وسلم, beliau tidak memberikan komentar apa-apa, dan tidak mencela kelompok yang manapun. 

Tidak diragukan lagi, bahwa yang benar adalah yang melakukan shalat dalam waktunya dan tidak menundanya hingga keluar dari waktunya, karena kewajiban melaksanakan shalat dalam waktunya adalah dengan dalil yang jelas, sedangkan dalil (hadits) ini masih mengandung beberapa penafsiran. 

Kemungkinan besar, inilah penyebab paling dominan yang melatar belakangi terjadinya perbedaan di kalangan para ulama dalam persoalan far'iyah (cabang), namun bukan yang menyangkut persoalan prinsif di dalam syari'at Islam. Hadits-hadits Rasulullah صلي الله عليه وسلم telah dibukukan dalam kitab-kitab hadits, baik dalam kitab shahih, sunan, masanid, ataupun ma'ajim. Namun pemahaman setiap orang, seringkali berbeda satu sama lain. Wallahu A'lam.

4. Sebab Keempat
Dalil telah sampai kepadanya tapi sudah dinasakh, namun ia tidak mengetahui dalil yang menasakhnya. 

Dalam kasus seperti ini, orang yang tidak mengetahui adanya nasakh dimaafkan, karena asal suatu masalah adalah tidak adanya nasakh, sampai diketahui dalil yang menasakhnya. Termasuk dalam sebab ini adalah pendapat Ibnu Mas'ud رضي الله عنه tentang meletakkan kedua tangan ketika ruku'. 

Di permulaan Islam, disyari'atkan bagi orang yang shalat menutup kedua tangan dan meletakkannya di antara kedua lutut ketika ruku'. Hukum ini kemudian dinasakh dengan meletakkan dua telapak tangan pada dua lutut. Al-Bukhari telah meriwayatkan tentang hal ini di dalam Shahih-Nya. Abdullah bin Mas'ud رضي الله عنه tidak mengetahui tentang hal ini dan tetap melaksanakan shalat seperti pada masa di awal Islam. Ketika al-Alqamah dan al-Aswad shalat di sampingnya dan meletakkan kedua tangan pada kedua lutut, Ibnu Mas'ud رضي الله عنه menegur keduanya. Kenapa? Karena ia tidak mengetahui adanya nashakh. Seseorang tentu tidak diberikan beban di luar batas kemampuannya. Wallahu A'lam.

5. Sebab Kelima
Hadits (dalil) telah sampai kepadanya, namun ia lupa terhadap dalil tersebut. 

Sudah menjadi sunnatullah, bahwa lupa adalah bagian dari fitrah kita sebagai manusia biasa. Banyak orang yang telah hapal sekian banyak hadits-hadits Rasulullah صلي الله عليه وسلم, namun kemudian ia lupa. Ini merupakan salah satu penyebab terjadinya terjadi perbedaan pendapat, walau dalam porsi yang tidak terlalu besar.

 
Bagaimana Sikap Kita Terhadap Perbedaan Pendapat Ini?
Kalau kita menemukan perbedaan seperti yang telah disebutkan di atas, siapakah yang harus kita ikuti? Apakah kita akan mengikuti seorang imam dan tidak pernah keluar dari pendapatnya, walau pun kebenaran ada pada pendapat yang lain? Ataukah kita mengikuti pendapat yang lebih kuat sesuai dengan dalil-dalil yang ada, walau berbeda pendapat dengan imam yang kita ikuti? 

Jawaban yang benar adalah yang kedua, karena wajib bagi yang mengetahui dalil yang shahih untuk mengikutinya, walau berbeda pendapat dengan para imam. Karena mereka adalah manusia yang mungkin saja keliru dalam memberikan fatwa atau mengambil kesimpulan dalam suatu hukum. 

Siapapun yang meyakini bahwa ada seseorang selain Rasulullah صلي الله عليه وسلم yang harus diambil pendapatnya setiap waktu dan keadaan, berarti dia meyakini bahwa selain beliau صلي الله عليه وسلم ada yang memiliki keistimewaan risalah atau ada yang ma'shum (dipelihara dari dosa dan kesalahan). Padahal tidak ada seorang pun yang memiliki keistimewaan seperti ini selain Rasulullah صلي الله عليه وسلم, dan setiap orang bisa diterima pendapatnya atau ditolak kecuali yang diriwayatkan dari Rasulullah صلي الله عليه وسلم dengan sanad yang shahih. Wallahu A'lam.


Dikutip dari Kitab al-Ilmi karya Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin (ebook oleh Ibnu Majjah,  www.ibnumajjah.wordpress.com)


PROMO BUKU

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More