MUSLIMAH

Menuju Insan yang Shalihah

This is default featured post 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

MUTIARA DAKWAH

This is default featured post 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

20 Juli 2015

Keutamaan Ilmu


Ilmu memiliki keutamaan yang besar, khususnya ilmu yang diwariskan oleh para nabi, yaitu ilmu yang membawa kepada keselamatan dan kebahagiaan abadi di akhirat. 

Rasulullah bersabda, 
"Sesungguhnya para nabi tidak pernah mewariskan dinar ataupun dirham, akan tetapi mereka mewariskan ilmu. Barangsiapa yang mengambilnya, ia telah mendapatkan bagian yang sangat besar." (HR. Abu Dawud, At-Tirmizi, dan Ibnu Majah. Dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami')

Imam Al-Manawi dalam Faidhul Qadir --sebagaimana dikutip oleh Abu Anas Majid Al-Bankani dalam Rihlatul Ulama fi Thalibil Ilmi-- mengatakan tentang hadits tersebut, 

"Maksudnya mencakup seluruh para rasul, sebagaimana yang sudah jelas. Para nabi tidak mewariskan dinar ataupun dirham, akan tetapi mereka mewariskan ilmu. Sebagian ulama berkata, 'Seseorang biasanya hanya mewariskan kepada orang yang paling dekat dengannya, baik dari segi keluarga, nasab, atau amal. Maka, para ulama adalah yang paling dekat kepada para nabi dan yang paling berani dalam mengikuti amal mereka; mereka mewariskan keadaan, perkataan, dan amalan, secara zahir maupun batin. Bisa kita ketahui bahwa memperoleh kedudukan ini hanyalah karena pengamalan mereka akan ilmunya. Orang yang mengamalkannya berhak untuk dihormati dan dimuliakan karena adalah orang-orang pilihan, cahaya, yang menerangi bumi, pilar-pilar agama, dan pejuang-pejuang yang akan menghadapi musuh Allah. Mereka adalah wali Allah dan pengganti para Nabi."

Terkait dengan hadits di atas, Ibnu Qayyim Al-Jauziyah membawakan sebuah riwayat dalam kitabnya Miftah Dar As-Sa'adah sebagai berikut

Dikisahkan dari Abu Hurairah r.a. bahwa pada suatu hari ia melewati sebuah pasar dan melihat orang-orang sedang berdagang dan berjual beli, lalu Abu Hurairah r.a. berkata, "Kalian ada di sini. Mengapa kalian tidak ikut mengambil warisan Rasulullah saw. yang dibagikan di mesjid?" Lalu mereka segera bangkit dan pergi menuju ke masjid. Akan tetapi, ketika sampai di masjid mereka tidak menemukan sesuatu kecuali orang-orang yang membaca Al-Qur'an, berzikir, dan majelis ilmu. Maka, mereka pun bertanya kepada Abu Hurairah r.a., "Wahai Abu Hurairah, mana yang engkau katakan tadi?" Abu Hurairah menjawab, "Inilah warisan Nabi Muhammad saw. yang dibagikan kepada para ahli warisnya, bukannya harta dan kernewahan dunia."

Ilmu memiliki keutamaan yang besar dan banyak. Muhammad Al-Utsaimin dalam Kitabul llmi merangkum keutamaan ilmu dalam tiga belas poin sebagai berikut. 


1. Ilmu adalah Warisan Para Nabi

Para nabi tidaklah mewariskan dirham ataupun dinar. Yang mereka wariskan hanyalah ilmu. Maka barangsiapa yang telah mengambil ilmu berarti dia telah mengambil bagian yang banyak dari warisan para nabi. Engkau sekarang berada pada abad ke-15 Hijriah, jika engkau seorang ahli ilmu berarti engkau menerima warisan dari Nabi, dan ini adalah keutamaan yang paling besar.

2. Ilmu itu Abadi, sedangkan Harta adalah Fana (akan sirna)

Contohnya adalah Abu Hurairah, ia termasuk Sahabat yang fakir sehingga ia sering terjatuh seperti pingsan menahan lapar. Dan -demi Allah- saya bertanya kepada kalian, apakah nama Abu Hurairah selalu disebut di kalangan manusia pada zaman kita sekarang atau tidak? Ya, namanya banyak disebut sehingga Abu Hurairah mendapatkan pahala dari pemanfaatan hadits-haditsnya, karena ilmu akan abadi, sedangkan harta akan rusak. Maka engkau wahai penuntut ilmu, wajib memegang teguh ilmu.
Di dalam satu hadits, Nabi menyatakan, "Apabila anak Adam mati, maka terputuslah segala amalnya, kecuali tiga: shodaqoh jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang mendoakan orang tuanya." (HR. Muslim)

3. Pemilik Ilmu Tidak Merasa Lelah dalam Menjaga Ilmu

Apabila Allah memberi rezeki kepadamu berupa ilmu, maka tempat ilmu itu adalah di dalam hati yang tidak membutuhkan peti, kunci, atau yang lainnya. Dia akan terpelihara di dalam hati dan terjaga di dalam jiwa. Dan dalam waktu yang bersamaan, dia pun menjagamu karena dia akan memeliharamu dari bahaya atas izin Allah, maka ilmu itu akan menjagamu. Adapun harta, engkaulah yang harusn menjaganya, yang harus engkau simpan dalam peti-peti yang terkunci. Sekalipun demikian, hatimu tetap tidak merasa tenang."

4. Dengan Ilmu, Manusia dapat Menjadi Para Saksi atas Kebenaran

Dalilnya adalah firman Allah Ta'ala, 'Allah bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Dia, demikian juga para malaikat, dan orang-orang berilmu yang tegak di atas keadilan.' (QS. Ali Imran: 18)
Apakah dalam ayat ini Allah berfirman, 'dan juga pemilik harga'? Tidak! Tetapi Dia berfirman, 'dan orang-orang berilmu yang tegak di atas keadilan'. 
Maka cukupkah menjadi kebanggaan bagimu, wahai penuntut ilmu, engkau menjadi orang yang bersaksi bagi Allah bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Dia, beserta para malaikat yang menyaksikan keesaan Allah."

5. Ahli Ilmu Termasuk Salah Seorang dari Dua Golongan Ulil Amri yang Wajib Ditaati

Hal ini berdasarkan perintah Allah, 'Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul dan ulul amri di antara kalian.' (QS. An-Nisa: 59)

Ulul amri di sini mencakup Ulul amri dari kalangan para penguasa dan para hakim, ulama dan para penuntut ilmu. Maka, wewenang ahli ilmu adalah menjelaskan syariat Allah dan mengajak manusia untuk melaksanakannya, sedangkan wewenang penguasa adalah menerapkan syariat Allah dan mewajibkan manusia untuk melaksanakannya.

6. Ahli Ilmu adalah Orang yang Melaksanakan Perintah Allah Sampai Hari Kiamat

Yang menjadi dalil tentang hal itu adalah hadits Muawiyah bahwa ia berkata, 'Aku mendengar Nabi bersabda, 'Barangsiapa yang dikehendaki kebaikan oleh Allah, maka Allah akan membuatnya paham tentang agamanya. Aku hanyalah Qasim dan Allah-lah yang memberi. Dan di kalangan umat ini akan senantiasa ada sekelompok orang yang selalu tegak di atas perintah Allah, tidak ada yang akan membahayakan mereka dari orang-orang yang menyelisihi mereka. Hingga datang urusan Allah.'' (HR. Bukhari)
Imam Ahmad telah berkata tentang kelompok ini, 'Jika mereka bukan kelompok ahli hadits, maka aku tidak tahu lagi siapa mereka itu.' 
Al-Qadhi 'Iyadh mengatakan, 'Yang dimaksud oleh Imam Ahmad adalah ahlussunnah dan orang yang meyakini madzab ahlul hadits.'

7. Besarnya Keutamaan Ilmu sehingga Boleh Iri terhadap Orang yang Mencari dan Mengamalkannya

Rasulullah tidak pernah mendorong seseorang agar iri kepada orang lain atas suatu nikmat yang telah Allah karuniakan, kecuali dua macam nikmat: pertama, mencari ilmu dan mengamalkannya; kedua, pedagang yang menjadikan hartanya sebagai alat untuk memperjuangkan Islam.
Dari Abdullah bin Mas'ud, ia berkata, "Rasulullah bersabda, 'Tidak boleh iri kecuali dalam dua hal: seseorang yang diberi harta oleh Allah lalu dia habiskan hartanya itu untuk membela kebenaran, dan seseorang yang diberi ilmu oleh Allah lalu dia mengamalkan dan mengajarkannya.'" (HR. Bukhari & Muslim)

8. Ilmu bisa Memberi Manfaat pada Diri Sendiri dan Orang Lain

Sebagaimana diterangkan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Abu Musa Al-Asy'ary, dari Nabi shalallahu alaihi wassalam, beliau bersabda, "Perumpamaan petunjuk dan ilmu yang Allah telah mengutusku dengan membawa keduanya adalah seperti hujan yang turun ke bumi,maka di antara bumi itu ada tanah yang baik yang menyerap air dan menumbuhkan tumbuhan dan rumput yang banyak. Ada pula tanah yang keras yang bisa menahan air, lalu Allah memberi manfaat kepada manusia dari tanah itu, mereka minum dan bercocok tanam. Hujan pun menimpa tanah yang lain yaitu qii'aan yang tidak bisa menahan air dan tidak bisa menumbuhkan rumput.
Demikianlah perumpamaan orang yang memahami agama Allah dan bisa memberikan manfaat dari apa yang Allah telah mengutusku dengan membawa ajaran ini, lalu dia mengetahui dan mengajarkannya. Dan perumpamaan orang yang tidak mau mengangkat kepalanya untuk hal itu dan orang yang tidak mau menerima petunjuk dari Allah yang aku diutus dengan membawa petunjuk itu."

9. Ilmu adalah Jalan Menuju Surga

Sebagaimana ditunjukkan oleh hadits Abu Hurairah, bahwa Nabi shalallahu alaihi wassalam bersabda, "Dan barangsiapa yang meniti jalan untuk mencari ilmu maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga." (HR. Muslim)

10. Barangsiapa yang Dikehendaki Kebaikan oleh Allah, maka Allah Akan Membuatnya Paham tentang Agamanya

Sebagaimana diterangkan dalam sebuah hadits dari Mu'awiyah, ia berkata, Rasulullah bersabda, "Barangsiapa yang dikehendaki kebaikan oleh Allah, maka Allah akan membuatnya paham tentang agamanya." (HR. Bukhari & Muslim)
Artinya, Allah akan menjadikannya seorang yang faqih tentang agama Allah. Dan faqih tentang agama Allah bukan hanya memahami hukum-hukum amaliyah tertentu menurut ahli ilmu berdasarkan ilmu fiqih saja, akan tetapi maksudnya adalah ilmu tauhid dan ushuluddin (pokok-pokok agama) dan apa-apa yang berkaitan dengan syariat Allah.
Seandainya tidak ada keterangan dari Al-Kitab dan As-Sunnah tentang keutamaan ilmu kecuali hadits ini saja, maka ini pun sudah sempurna dalam mrmberikan dorongan untuk mencari ilmu syariat dan pemahaman terhadapnya.

11. Ilmu adalah Cahaya yang Menerangi Jalan Hidup Seorang Hamba

Dia pun akan mengetahui bagaimana (seharusnya) beribadah kepada Rabb-nya dan bagaimana cara bergaul dengan sesama hamba-Nya, maka jalan hidupnya akan selalu berada di atas ilmu dan bashirah.

12. Orang yang Berilmu Adalah Cahaya yang Menerangi Manusia dalam Urusan Agama dan Dunia Mereka

Tidaklah samar dalam ingatan kebanyakan manusia tentang orang yang membunuh 99 orang dari kalangan Bani Israil, lalu dia bertanya tentang orang yang paling berilmu di muka bumi, lalu dia ditunjukkan kepada seorang abid (ahli ibadah), lalu dia bertanya apakah dia bisa bertaubat?
Ahli ibadah itu telah menganggap dosanya terlalu besar sehingga dia menjawab, "Tidak!"
Lalu dibunuhnya ahli ibadah tadi sehingga dia membunuh genap 100 orang.

Kemudian dia pergi menemui seorang alim (orang yang berilmu), lalu dia bertanya kepadanya (dengan pertanyaan yang sama). Maka orang yang berilmu tersebut menjawab bahwa dia bisa bertaubat dan tidak ada yang bisa menghalangi antara dia dengan taubatnya.
Lalu orang alim itu menunjukkannya pada suatu negeri yang penduduknya adalah orang-orang saleh agar dia datang ke negeri itu. Kemudian dia pun pergi, tetapi di tengah jalan, maut pun menjemputnya.
Kisah ini amat masyur. Perhatikanlah perbedaan orang yang berilmu dan orang yang bodoh.

13. Sesungguhnya Allah Akan Mengangkat Derajat Ahli Ilmu di Akhirat dan juga di Dunia

Adapun di akhirat, Allah mengangkat derajat mereka sesuai dengan dakwah mereka kepada Allah dan amal yang mereka lakukan berdasarkan ilmu mereka. Sedangkan di dunia, Allah akan mengangkat derajat mereka di kalangan hamba-hamba-Nya yang juga sesuai dengan amal mereka. Allah ta'ala berfirman, "Allah akan mengangkat orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang berilmu beberapa derajat." (QS. Al-Mujadilah: 11)

------------------------------------------------------------

Referennsi:
Abu Anas Majid Al-Bankani. Rihlatul Ulama fil Thalibil Ilmi. Terjemahan: Perjalanan Ulama Menuntuk Ilmu. 2012. Bekasi: Darul Falah
 

Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin. Kitabul Ilmi. Terjemahan: Panduan Menuntut Ilmu. 2012. Jakarta: Pustaka Ibnu Katsir
 

Ibnu Qayyim Al-Jauziyah. Miftah Dar As-Sa'adah. Terjemahan: Kunci Kebahagiaan. 2004. Jakarta: Abrar (ebook oleh Maktabah Raudhatul Muhibbin)




Sesungguhnya Semua Amalan Tergantung Niatnya


Dari Umar bin al-Khaththab radhiallahu 'anhu, beliau berkata, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

"Sesungguhnya perbuatan-perbuatan itu dengan niat, dan sesungguhnya setiap orang bergantung dengan apa yang ia niatkan. Maka barangsiapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa yang hijrahnya untuk dunia yang ingin ia perolehnya, atau untuk wanita yang ingin ia nikahinya, maka hijrahnya kepada apa-apa yang ia berhijrah kepadanya."

(Diriwayatkan oleh dua orang Imam ahli hadits; Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Al-Mughirah bin Bardizbah Al-Bukhari, dan Abul Husain Muslim bin Al-Hajjaj bin Muslim Al-Qusyairi An-Naisaburi, di dalam kedua kitab Shahih mereka yang merupakan kitab paling shahih yang pernah ditulis.)

Ibnu Rajab, dalam Jami'ul 'Ulumi wal Hikam berkata, "Para ulama telah sepakat atas keshahihan dan diterimanya hadits ini. Dan Al-Bukhari pun memulai kitab Shahihnya dengan hadits ini, dan memposisikannya sebagai khuthbah (muqaddimah)nya. Hal ini sebagai isyarat dari beliau bahwa setiap amalan (apapun) yang tidak diperuntukkan (dalam mengamalkannya) karena wajah Allah, maka amalan tersebut bathil, tidak menghasilkan suatu apapun, baik di dunia maupun di akhirat".



 

Asbabul Wurud
Imam Nawawi dalam Riyadhush Shalihin mengatakan, “Hadis di atas adalah berhubungan erat dengan persoalan niat. Rasulullah menyabdakannya itu ialah karena di antara para sahabat sewaktu mengikuti untuk berhijrah dari Makkah ke Madinah, semata-mata sebab terpikat oleh seorang wanita yakni Ummu Qais. Beliau mengetahui maksud orang itu, lalu bersabda sebagaimana di atas. Karena orang itu memperlihatkan sesuatu yang bertentangan dengan maksud yang terkandung dalam hatinya -meskipun sedemikian itu boleh saja- tetapi sebenarnya tidak patut sekali sebab saat itu sedang dalam suasana yang amat genting dan rumit, maka ditegurlah secara terang-terangan oleh Rasulullah."

Meskipun hadits itu berkaitan dengan seseorang, namun kaidahnya bisa diberlakukan untuk umum. Kata Imam Nawawi, "Sekalipun datangnya hadis itu mula-mula tertuju pada manusia yang salah niatnya ketika ia mengikuti hijrah, tetapi sifatnya adalah umum. Para imam mujtahidin berpendapat bahwa sesuatu amal itu dapat sah dan diterima serta dapat dianggap sempurna apabila disertai niat. Niat itu ialah sengaja yang disembunyikan dalam hati, ialah seperti ketika mengambil air sembahyang atau wudhu', mandi shalat dan lain-lain sebagainya."

Bagaimana jika berniat mengerjakan suatu amalan, namun karena suatu hal ia terhalangi untuk mengerjakannya? Dalam masalah ini, Imam Nawawi mengatakan, "Perlu pula kita maklumi bahwa barangsiapa berniat mengerjakan suatu amalan yang bersangkutan dengan ketaatan kepada Allah ia mendapatkan pahala. Demikian pula jikalau seseorang itu berniat hendak melakukan sesuatu yang baik, tetapi tidak jadi dilakukan, maka dalam hal ini orang itupun tetap juga menerima pahala. Ini berdasarkan Hadis yang berbunyi: "Niat seseorang itu lebih baik daripada amalannya."
Maksudnya: Berniatkan sesuatu yang tidak jadi dilakukan sebab adanya halangan yang tidak dapat dihindarkan itu adalah lebih baik daripada sesuatu kelakuan yang benar-benar dilaksanakan, tetapi tanpa disertai niat apa-apa.

 

Arti Niat 
"Ketahuilah bahwa niat," kata Imam Nawawi dalam Syarah Hadits Arbain, "menurut istilah bahasa artinya adalah qashdu (maksud, kehendak). Dikatakan: nawakallahu bikhair, yakni qashadakan bihi. Sedangkan niat menurut istilah syar'i adalah bermaksud kepada sesuatu yang disertai perbuatan. Jika dia bermaksud kepada sesuatu, tetapi tidak disertai perbuatan, maka ini namanya 'azzam. Niat itu disyariatkan dengan tujuan untuk membedakan urusan adat kebiasaan dengan ibadah atau untuk membedakan tingkatan antara ibadah yang satu dengan yang lain."

Kemudian Imam Nawawi mencontohkan niat orang yang duduk di masjid. Ada yang niat sekadar istirahat, ada yang niat untuk beribadah itikaf. Juga niat dalam shalat, misalnya shalat empat rakaat, ada yang meniatkannya untuk shalat Dhuhur, ada yang meniatkannya untuk shalat sunnah.

Syaikh Utsaimin dalam Syarah Hadits Arbain menyebutkan, "Semua amalan sesuai dengan wasilahnya. Kadangkala sesuatu yang asalnya mudah dapat menjadi ibadah ketaatan jika diniatkan untuk kebaikan, misalnya seseorang yang makan dan minum dengan niat agar badannya menjadi kuat untuk mengerjakan ibadah ketaatan kepada Allah"

Dalam Fathul Bari’ disebutkan, “ Setiap pekerjaan harus didasari dengan niat. Al Khauyi mengatakan, seakan-akan Rasulullah memberi pengertian bahwa niat itu bermacam-macam sebagaimana perbuatan. Seperti orang yang melakukan perbuatan dengan motivasi ingin mendapat ridha Allah dan apa yang dijanjikan kepadanya, atau ingin menjauhkan diri dari ancaman-Nya.”


 
Faidah Hadits
Syaikh 'Abdul-Muhsin bin Hamd Al-'Abbad Al-Badr dalam Fat-hul Qawiyyil Matin menyampaikan beberapa pelajaran faidah dari hadits niat ini.
  1. Sesungguhnya tidak ada amal (perbuatan) kecuali dengan niat.
  2. Sesungguhnya setiap amal (perbuatan) itu dianggap sah dengan niat-niatnya.
  3. Sesungguhnya balasan untuk si pelaku amalan (perbuatan) berdasarkan niatnya.
  4. Hendaknya seorang alim (ulama) memberikan perumpamaan sebagai penjelasan dan penerangan.
  5. Keutamaan hijrah, karena Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam melakukannya. Dan telah terdapat dalam Shahih Muslim (121) dari 'Amr bin Al-'Ash radhiallahu 'anhu, dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Tidakkah engkau mengetahui bahwa Islam menghapuskan apa-apa yang terjadi sebelumnya? Dan hijrah juga menghapuskan apa-apa yang terjadi sebelumnya?Dan ibadah haji juga menghapuskan apa-apa yang terjadi sebelumnya?”
  6. Seseorang itu mendapatkan pahala, atau dosa, atau tidak mendapatkan apapun sesuai dengan niatnya.
  7. Almalan-amalan bergantung pada wasilah yang mengantarkan kepadanya. Mungkin saja sesuatu itu pada asalnya hukumnya mubah, namun ia dapat berubah menjadai sebuah ketaatan (ibadah) jika seseorang berniat kebaikan dengannya. Seperti makan dan minum, jika seseorang meniatkan dengannya sebagai penguat dirinya untuk beribadah.
  8. Sesungguhnya sebuah amalan (perbuatan) dapat menjadi pahala bagi pelakunya, dan dapat pula menjadi penghalang dari pahala tersebut.

---------------------------------------------------------------------------
Referensi:
Riyadush Shalihin, Imam Nawawi
Fathul Bari’, Ibnu Hajar Al-Asqalani
Fat-hul Qawiyyil Matin fi Syarhil Arba'in wa Tatimmatul Khamsin, 'Abdul-Muhsin bin Hamd Al-'Abbad Al-Badr
Syarhul Hadits Arba'in Nawawiyah, Imam Nawawi


---------------------------------------------------------------------------
Sukrisno Santoso
Disusun pada pagi hari yang cerah, Selasa, 8 Oktober 2014, di rumah, Kota Sukoharjo 



PROMO BUKU

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More