MUSLIMAH

Menuju Insan yang Shalihah

This is default featured post 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

MUTIARA DAKWAH

This is default featured post 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

18 Maret 2013

Menggapai Keikhlasan


Dalam kitab Tazkiyatun An-Nafs disebutkan bahwa Abu Muslim Abdullah bin Qutaibah Ad-Danuri menuturkan dalam kitabnya ‘Uyunul Akhbar bahwa Maslamah mengepung sebuah benteng. Ia menyuruh orang-orang untuk meyelinap masuk ke terowongannya. Tapi tidak ada seorang pun yang masuk. 

Lalu ada seorang lelaki dari pasukannya yang menawarkan diri. Ia berhasil menembusnya. Dan Allah akhirnya memenangkan mereka. Maslamah lalu memanggil, “Mana pemilik terowongan (maksudnya orang yang menembus lewat terowongan)?” Tidak ada seorang pun datang.

Maslamah lalu memanggil, “Aku telah memerintahkan memasukkan dia saat ini. Aku berharap di datang.”

Lalu seorang lelaki datang, “Izinkan aku menghadap panglima.”
Seorang pengawal bertanya, “Apakah kamu pemilik terowongan?”
Lelaki itu menjawab, “Aku akan mengabarkan kepadanya tentang pemilik terowongan.”

Pengawal lalu menghadap Maslamah dan mengabarkan tentangnya. Maslamah mengizinkannya menghadap. Lelaki itu berkata kepada Maslamah, “Pemilik terowongan memintamu untuk menepati tiga hal. Jangan kau tulis namanya dalam catatan ke khalifah, jangan kau perintahkan untuk member sesuatu kepadanya, dan jangan kau tanyakan dari mana dia?”

Maslamah menjawab, “Itu akan penuhi untuknya.”
Lelaki itu menjawab, “Akulah dia.”
Se
telah itu, setiap shalat Maslamah selalu berdoa, “Ya Allah, jadikanlah aku bersama pemilik terowongan.”

Menghindari Riya'
ibnu Qudamah dalam Mukhtashar Minhajil Qasidin berkata, "Bila seseorang merasakan adanya perbedaan amal yang dilihat manusia dan amal yang tidak dilihat manusia, maka di dalam dirinya terdapat suatu unsur riya’.

Termasuk obat yang manjur untuk menyembuhkan penyakit riya’ adalah membiasakan diri mengerjakan ibadah secara sembunyi-sembunyi dan menutup tempat beribadah persis seperti menutup pintu rumah agar tidak bisa mengerjakan perbuatan-perbuatan jahat. Sungguh tidak ada obat yang lebih manjur menyembuhkan penyakit riya’ daripada merahasiakan amal.

Merahasiakan ketaatan dapat memelihara keikhlasan dan menyelamatkan diri dari riya’. Sementara memperlihatkannya bisa mendorong orang lain untuk mengikuti dan memotivasi mereka untuk berbuat kebaikan. Orang yang memperlihatkan amalnya wajib memeriksa hatinya agar ia bebas dari riya’ samar dan mesti meniatkannya untuk menjadi teladan bagi orang lain."

Ibnul Jauzi dalam kitabnya Talbis Iblis menyebutkan kisah orang-orang shalih yang menyembunyikan amal mereka karena takut terhadap riya'. Amir bin Abdi Qais tidak suka jika orang-orang melihat dia sedang mendirikan shalat. Karena itu. Dia tidak pernah shalat sunnat di masjid.

Salafush shalih suka menyembunyikan ibadahnya. Bahkan, semua amal yang dilakukan Ar-Rabi’ bin Khutsaim tersembunyi. Ketika ada seseorang masuk ke dalam rumahnya, yang saat itu dia sedang menggelar mushaf, maka dia segera menutupi mushaf dengan selembar kain. Ahmad bin Hambal juga senantiasa membaca Al-Qur’an, namun tidak pernah diketahui kapan dia mengkhatamkannya.

Karena takut pada riya’, orang-orang shalih biasa menyembunyikan amal-amal mereka dan menampakkan sikap sebaliknya. Ibnu Sirin biasa tersenyum pada siang hari, namun dia banyak menangis pada malam harinya. Jika Ibnu Adham sakit, maka dia memperlihatkan makanannya seperti yang biasa dimakan orang yang sehat.

Sufyan Ats-Tsauri pernah berkata, “Aku tidak terbiasa memperlihatkan amalku.” Dia pernah berkata kepada seorang teman yang dilihatnya sedang shalat, “Apa yang mendorongmu berani mendirikan shalat, sementara semua orang melihatmu?”

Dari Muhammad bin Ziyad, dia berkata, “Abu Umamah melewati seseorang yang sedang sujud. Lalu dia berkata, “Buat apa dia mendirikan shalat itu? Andaikan saja dia mendirikannya di dalam rumahnya.”
Di antara orang-orang yang mempunyai harta ada yang membelanjakan harta untuk membangun masjid dan jembatan. Hanya saja dia melakukannya untuk riya’ dan mencari ketenaran, agar dirinya tetap dikenang dan namanya ditulis pada bangnunan itu. Andaikan perbuatannya itu karena Allah, cukuplah Allah yang mengetahuinya.

Orang-orang shalih pada zaman dulu suka memasukkan kepingan uang dinar yang lebih berat ke dalam tempat yang kecil, ia memberikannya kepada orang-orang miskin secara sembunyi-sembunyi.

Imam Adz-Dzahabi dalam Al-Kabair menyebutkan bahwa Muhammad bin Mubarok Ash-Shuri berkata, “Menampakkan ketaatan itu lebih baik di malam hari daripada di siang hari. Sebab, menampakkan ketaatan di siang hari itu untuk makhluk, sedangkan di malam hari untuk Rabb Semesta alam.”

Suatu hari Ibnu Sirin mendengar seseorang berkata kepada temannya, “Aku sudah berbuat baik kepadamu. Aku sudah melakukan ini dan itu.” Maka Ibnu Sirin menegurnya, “Hei, diamlah! Tidak ada kebaikan dalam amal kebajikanmu jika ia disebut-sebut.”

Sebagian ulama berkata, “Barangsiapa mengungkit-ungkit kebaikannya, ia bukan termasuk orang yang bersyukur. Dan barangsiapa merasa bangga dengan amalnya, pahalanya menjadi terhapus.”

Imam Syafi’I bersyair,

Janganlah engkau menerima kebaikan dari mereka
Yang mereka akan mengungkit-ungkitnya di hadapanmu
Pilihlah bagi dirimu apa yang menjadi bagianmu
Dan bersabarlah, karena sabar itu adalah surge
Ungkitan seseorang itu apabila melukai hati
Itu lebih sakit daripada tusukan tombak


Imam Nawawi dalam Syarh Hadits Arba'in berkata, "Sebagaimana halnya dengan riya’, sum’ah juga dapat menghapus (pahala) amalan. Sum’ah adalah mengerjakan amalan untuk Allah dalam kesendirian (tidak dilihat manusia), kemudian dia menceritakan amalannya itu di depan manusia.

Nabi bersabda,
Barangsiapa berbuat sum’ah (menceritakan amalannya kepada orang lain), maka Allah akan menceritakan aibnya, dan barangsiapa berbuat riya’ (memperlihatkan amalannya kepada orang lain), maka Allah akan memperlihatkan aibnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Para ulama berkata, “Jika dia seorang ‘alim yang menjadi teladan, dan dia menyebutkan amalannya itu dalam rangka mendorong orang-orang yang mendengarnya agar mengerjakan amalan tersebut, maka tidaklah mengapa.”


Referensi:
Ibnul Jauzi. Talbis Iblis. (Terjemahan Kathur Suhardi). 2011. Perangkap Setan. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar

Imam Adz-Dzahabi. Al-Kabair. (Terjemahan Abu Zufar Imtihan Asy-Syafi’i). 2007. Dosa-dosa Besar. Surakarta: Pustaka Arafah

Imam An-Nawawi. Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyyah. (Terjemahan Ahmad S. Marzuqi). 2006. Syarah Hadits Arba’in Imam Nawawi. Yogyakarta: Media Hidayah

M. Abdul Qadir Abu Faris. Tazkiyatun An-Nafs. (Terjemahan Habiburrahman Saerozi). 2005. Menyucikan Jiwa. Depok: Gema Insani 


0 komentar:

Posting Komentar

PROMO BUKU

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...