MUSLIMAH

Menuju Insan yang Shalihah

This is default featured post 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

MUTIARA DAKWAH

This is default featured post 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

20 Maret 2013

Teladan Akhlak Syaikh Abdurrazaq Al-Badr



Ada banyak pelajaran akhlak yang dapat kita petik dari kehidupan Syaikh Abdurrazaq Al-Badr sebagaimana ditulis oleh Ustadz Firanda dengan judul “Dari Madinah Hingga ke RadioRodja: Mendulang Pelajaran Akhlak dari Syaikh Abdurrazaq Al-Badr.”

Ustadz Abu Muhsin Firanda Andirja merupakan salah satu murid Syaikh Abdurrazaq Al-Badr di Universitas Islam Madinah. Ustadz Firanda menceritakan pelajaran-pelajaran akhlak yang dapat diambil selama pergaulannya dengan Syaikh Abdurrazaq Al-Badr.

Syaikh Abdurrazaq Al-Badr mempunyai pengalaman yang sangat berkesan dengan gurunya, yaitu Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin. Syaikh Abdurrazaq Al-Badr pernah menjadi moderator saat Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin menyampaikan nasehat kepada para mahasiswa di Universitas Islam Madinah. Syaikh Abdurrazaq Al-Badr memulai moderasinya dengan kalimat, “Alhamdulillah, pada kesempatan yang berbahagia ini kita akan mendengarkan muhadharah yang akan disampaikan oleh Al-‘Alamah Muhammad bin Shalih….”

Tiba-tiba Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin menimpali dengan suara yang lantang, “Uskut!” (Diam!)

Syaikh Abdurrazaq tersentak mendengar kalimat Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin yang memintanya diam. Beberapa saat kemudian barulah beliau sadar bahwa Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin tidak ridha jika digelari dengan Al-‘Alamah (orang yang sangat alim).

Peristiwa itu sangat membekas di dalam hati Syaikh Abdurrazaq sehigga beliau sering mengulang-ulang cerita ini dengan mengatakan, “Lihatlah bagaimana Syaikh Muhammad bin Shalih al-’Utsaimin sama sekali tidak suka untuk digelari dengan gelar Al-’Allamah. Spontan beliau menegurku di hadapan begitu banyak mahasiswa, tanpa ragu-ragu dan tidak dibuat-buat.”

Menolak Penulisan Gelar
Syaikh Abdurrazaq Al-Badr merasa enggan mencantumkan gelarnya pada buku-buku karangannya. Dikisahkan bahwa Saat salah seorang ikhwan dari Indonesia meminta izin untuk menerjemahkan buku beliau yang berjudul Fikhul Ad’iyaa wal Adzkar (Fikh Doa dan Dzikir) ke dalam bahasa Indonesia, beliau mengizinkan dengan syarat: tatkala buku tersebut dicetak, nama beliau hanya ditulis ‘Abdurrozaq bin Abdulmuhsin Al-Badr’, tanpa embel-embel gelaran Profesor Doktor. Begitu pula buku-buku beliau yang dicetak di Arab Saudi maupun di Aljazair (Algeria), semua tanpa embel-embel gelar tersebut.

Mengajarkan Ilmu kepada Siapa pun
Syaikh Abdurrazaq Al-Badr mempunyai semangat yang tinggi dalam menyampaikan ilmu. Beliau tidak menolak -bahkan sangat bersemangat- untuk mengisi kajian di Radio Rodja agar umat Islam di Indonesia dapat mengenyam ilmu dari beliau.
Padahal, beliau sangat sibuk mengajar di universitas dan di tempat lain. 

Ustadz Abu Muhsin mengisahkan saat ia menyampaikan permintaan kepada beliau untuk mengisi kajian di RadioRodja.
“Syaikh, saya menyampaikan permintaan teman-teman di Radiorodja agar Syaikh mengisi kajian rutin, seminggu sekali.”

Dan, jawaban beliau sungguh-sungguh di luar dugaan saya (Abu Muhsin). Syaikh berkata: “Saya siap mengisi kajian setiap hari.”

Saya takjub sekaligus bingung mendengar jawaban tersebut, karena justru sayalah yang tidak siap. Saya pun menawarkan kepada beliau untuk mengisi kajian sepekan dua kali, dengan mempertimbangkan kesiapan dari berbagai teknisnya. Alhamdulillah, Syaikh setuju dengan usulan tersebut.

Tawadhu’
Syaikh Abdurrazaq Al-Badr menunjukkan sikap tawadhu yang patut kita teladani. Dalam salah satu kajian, Syaikh Abdurrazaq Al-Badr memaksa penerjemahnya yaitu Ustadz Abu Muhsin agar mau duduk di kursi yang bagus, sedangkan beliau memilih duduk di kursi yang jelek dan datar tanpa spon. 


Tatkala kru Radio Rodja mengabarkan kepada Syaikh bahwa ternyata yang menghadiri tabligh akbar Syaikh Abdurrozzaq dengan materi yang berjudul "Sebab-sebab kebahagiaan" berjumlah lebih dari 100 ribu peserta, dan ini merupakan rekor terbaru, karena Masjid Istiqlal tidak pernah dihadiri oleh jamaah pengajian seramai ini dalam sejarah Indonesia. Maka Syaikh dengan tersenyum berkata, "Mereka para hadirin yang datang bukan karena aku akan tetapi karena si penerjemah Firanda". Spontan kami pun tertawa tatkala mendengar hal ini.

Ada juga kejadian lain yang menunjukan sikap tawadhu Syaikh, yaitu suatu ketika tatkala Syaikh mengisi pengajian di Radio Rodja ada seseorang yang bertanya kepada beliau, dan sebelum bertanya penanya tersebut berkata, "Wahai syaikh, aku setiap mendengar pengajian yang Anda sampaikan hatiku menjadi lembut, dan aku lihat dari tutur kata Anda tatkala menyampaikan pengajian menunjukan bahwa Anda adalah orang yang berhati lembut". 

Syaikh berkata mengomentari perkataan si penanya ini, "Adapun perkataan si penanya bahwa aku berhati lembut, maka itu hanyalah persangkaan penanya saja, dan
aku berharap dan berdoa agar Allah menjadikan aku berakhlak mulia, dan juga para
pendengar Radio Rodja sekalian". Sungguh sikap tawadhu dan tidak terpedaya dengan pujian yang sampai kepada beliau.


Syaikh Abdurrazaq Al-Badr bersikap lemah lembut kepada anak-anak orang tua. Beliau menyalami anak-anak, mengusap kepala mereka, dan memberikan hadiah kepada mereka. Terhadap orang tua, beliau merangkul mereka dengan sikap tawadhu dan sopan.
 
Menyenangkan Hati Saudara

Berikut ini pelajaran akhlak yang berharga dari Syaikh Utsaimin dan Syaikh Abdurrazaq.
Suatu saat, Syaikh Utsaimin datang mengunjungi kota Madinah. Salah seorang kaya
mengundang beliau makan malam di rumahnya. Hadir bersama beliau dalam jamuan makan malam tersebut, empat orang, termasuk Syaikh Abdrurrozaq dan Syaikh Utsaimin. 


Saat memasuki ruang makan, pandangan Syaikh Utsaimin tertuju pada tumpukan buah-buahan beraneka ragam yang tertata rapi menyerupai gunung kecil. Syaikh lalu mengambil buah apel dari tumpukan tersebut, lantas berkata kepada kami, “Tahukah kalian, kapan pertama kali akumemakan buah apel?”

Kemudian, Syaikh Utsaimin pun bercerita, “Dahulu, Syaikh As-Sa’di mengajar buku yang agak berat, yaitu Qawa’id Ibni Rajab. Kitab ini agak sulit dipahami karena berkaitan dengan kaidah-kaidah fikih. Pada awalnya, banyak murid beliau yang hadir, namun lama-kelamaan berkurang, hingga akhirnya saat beliau menamatkan kitab tersebut, hanya tinggal aku sendiri bersama beliau. Setelah itu, beliau merogoh sakunya dan mengeluarkan sebutir apel berwarna merah. Baru pertama kali aku melihat buah seperti itu. Beliau berkata, ‘Ini buah tuffahah (apel), yang dimakan bagian dalamnya. Ada bijinya di dalam. Jangan dimakan.’ Aku sangat gembira menerima hadiah tersebut, maka aku segera pulang dan mengumpulkan seluruh keluargaku, istri dan anak-anakku, lalu kutunjukkan kepada mereka buah tersebut. Karena mereka juga baru pertama kali melihat buah apel, maka ada yang berkata, ‘Apakah ini tomat?’ Akhirnya aku membelah-belah buah apel tersebut lantas kubagikan kepada
keluargaku.”


Demikianlah, Syaikh Abdurrozak menceritakan kisah yang pernah didengarnya langsung dari Syaikh Utsaimin. Hanya sebutir apel akan tetapi sangat berkesan di hati Syaikh Utsaimin dan menyenangkan beliau bahkan keluarga beliau. 

Syaikh Abdurrozaq pernah berkata, “Ya Firanda, meskipun sebuah hadiah nilainya tidak
seberapa tetapi bisa jadi sangat menyenangkan hati orang yang diberi. Suatu saat, aku pernah bertemu seorang penuntut ilmu dari Kuwait, dan aku hampir lupa kalau aku pernah mengajarnya. Lantas, saat kami bertemu, dia segera memelukku kemudian mengingatkan aku bahwa dia pernah aku ajar di bangku kuliah. Bahkan dia berkata, ‘Ya Syaikh, aku tidak pernah lupa hadiah bunga yang Syaikh berikan kepadaku, sampai sekarang masih aku simpan di bukuku.”
Lihatlah setangkai bunga yang tidak bernilai tetapi sangat berkesan di hati orang tersebut.


Akhlak dalam Dakwah
Ust. Firanda bertanya, “Ya Syaikh, sebagian orang ada yang menyatakan bahwa aku adalah kadzab (pendusta). Apakah aku berhak membela diri dan membantah tuduhan tersebut?”

“Wahai Firanda, jangan kau bantah dia, bagaimanapun dia adalah saudaramu se-aqidah,” jawab beliau. 

“Bahkan jika ada orang yang bertanya kepadamu tentang dia, maka tunjukkan bahwa engkau tidak suka untuk membantahnya dan tidak suka membicarakan tentangnya.”

Beliau terdiam sejenak, lalu melanjutkan nasihatnya, “Engkau bersabar, dan jika engkau
bersabar percayalah suatu saat dia akan melunak dan akan menjadi sahabatmu.”


Seorang mahasiwa berkata kepada Syaikh, "Ya Syaikh, sesungguhnya saya telah dikatakan sebagai seorang pendusta, dajjaal, dan khobiits oleh seseorang yang bermasalah denganku. Padahal orang tersebut telah merendahkan engkau dan merendahkan Syaikh Abdul Muhsin Al-'Abbad, serta menyatakan bahwa Syaikh Ibnu Jibrin adalah imam kesesatan, dan lain-lainnya. Saya sudah mengajak orang itu untuk berdialog perihal tuduhan yang ia lontarkan kepadaku dengan syarat pembicaraan kita harus direkam, akan tetapi orang itu menolak dan berkata bahwa jika aku datang menemuinya untuk mengakui kesalahanku maka dia akan menerimaku di rumahnya, namun jika aku mendatanginya untuk mendebatnya maka dia akan mengusirku dan akan memboikot aku serta tidak akan memberi salam kepadaku jika bertemu denganku. Bahkan orang ini mendoakan keburukan kepadaku dengan perkataannya, 'Semoga Allah memeranginya, aku berlindung kepada Allah dari si pendusta yang sombong, dan dia akan menjadi sampah sejarah.'


Demikianlah, ya Syaikh, perkataannya yang buruk yang dia lontarkan untukku, dan aku mendengarnya sendiri dengan kedua telingaku. Yang jadi masalah juga dia menyebarkan tuduhan tersebut di kalangan para da'i di negaraku. Apakah aku berhak untuk membela diriku dan menjelaskan keadaan yang sesungguhnya, mengingat terlalu banyak ikhwan yang bertanya melalui telepon atau surat perihal masalah ini?.

Syaikh serta merta berkata, "Sekali-kali jangan kau bantah dia, selamanya jangan kau bantah dia!. Apakah engkau ingin engkau yang membela dirimu sendiri?, ataukah engkau ingin Allah yang akan membelamu??!!". 

Lalu syaikh menunjukkan buah hadits yang terdapat dalam kitab Al-Adab Al-Mufrod karya Al-Imam Al-Bukhori yang menjelaskan agar seseorang sejauh mungkin menjauhkan dirinya dari perdebatan dengan saudaranya.

Dari 'Iyaadl bin Himaar bahwasanya ia bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
seraya berkata, "Wahai Rasulullah, bagaiamana pendapatmu jika ada  seseorang mencelaku padahal nasabnya lebih rendah daripada nasabku?, maka Nabi berkata , "Dua orang yang saling mencela adalah dua syaitan yang saling mengucapkan perkataan yang batil dan buruk dan saling berdusta" (HR. Ahmad 29/37 no 17489 dan Al-Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrod no 427 dan dishahihkan oleh syaikh Al-Albani)


Syaikh berkata, "Hadits ini menunjukan bahwa dua orang yang bertikai dan saling mencaci
maka disifati oleh Nabi dengan 2 syaitan.  Bahkan Nabi berkata bahwa keduanya pendusta dan saling mengucapkan perkataan yang buruk, rendah dan batil. Orang yang membantah saudaranya pasti –mau tidak mau- akan terjerumus dalam kedustaan agar bisa membuat orang-orang benci terhadap musuhnya. Atau paling tidak dia tidak akan menjelaskan kejadian yang terjadi antara dia dan musuhnya sebagaimana mestinya, akan tetapi dia menyajikan kejadian itu seakan-akan dialah yang berada di pihak yang benar, dan dengan cara pengajian yang menjadikan para pendengar akan benci terhadap musuhnya.
Selain itu dia akan terjerumus dalam peraktaan-perkataan yang rendah dan kotor serta batil"


 
Sukoharjo, 20 Maret 2013


0 komentar:

Posting Komentar

PROMO BUKU

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...