MUSLIMAH

Menuju Insan yang Shalihah

This is default featured post 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

MUTIARA DAKWAH

This is default featured post 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

24 Oktober 2012

30 Ungkapan Tentang Cinta

Ada banyak ungkapan yang dinyatakan tentang jenis dan batasan cinta, tergantung dari pengaruh dan kesaksiannya, serta ungkapan-ungkapan lain yang diperlukan tentang cinta.

1. Cinta adalah kecenderungan yang terus-menerus di dalam hati yang membara. Pengertian ini tidak membedakan antara cinta yang khusus dan yang umum, antara cinta yang benar dan cinta yang cacat.

2. Mementingkan yang dicintai dari segala yang menyertai. Ini termasuk hukum cinta dan pengaruhnya.

3. Menyesuaikan diri dengan sang kekasih, ketika berada di dekatnya atau saat jauh darinya. Ini merupakan keharusan cinta dan tuntutan cinta yang tulus. Ini lebih sempurna dari dua pengertian di atas, dan bukan sekedar kecenderungan dan mementingkan kehendak. Sebab
jika ada penyesuaian diri dengan sang kekasih, maka itu adalah cinta yang cacat.

4. Melebur cinta karena sifatnya dan menegaskan kekasih karena dzatnya. Ini termasuk hukum kefanaan dalam cinta, yaitu menghapus sifat-sifat orang yang mencintai lalu melebur ke dalam sifat-sifat kekasih dan dzatnya.

5. Menyelaraskan hati dengan kehendak-kehendak kekasih. Ini juga termasuk keharusan dan hukum-hukum cinta.

6. Takut meninggalkan pengagungan sambil menegakkan pengabdian. Ini termasuk tanda dan pengaruh cinta.

7. Engkau menganggap sedikit pemberianmu yang banyak terhadap kekasih dan menganggap banyak pemberian kekasih kepada dirimu yang sedikit. Ini termasuk hukum, keharusan, dan kesaksian cinta.

8. Engkau menganggap banyak kejahatanmu yang sedikit terhadap kekasih dan menganggap sedikit ketaatanmu yang banyak. Pengertian ini tak jauh berbeda dengan sebelumnya.

9. Selalu memeluk ketaatan dan meninggalkan penentangan. Ini merupakan hukum cinta dan keharusannya, dan merupakan perkataan Sahl bin Abdullah.

10. Masuknya sifat-sifat kekasih ke sifat orang yang mencintai. Maksudnya, nama sang kekasih dan sifat-sifat merasuk ke dalam hati orang yang mencintai sehingga tidak ada yang menguasainya selain dari itu.

11.Engkau menyerahkan seluruh dirimu kepada siapa yang engkau cintai, sehinga sedikit pun engkau tidak berkuasa terhadap dirimu sendiri. Ini merupakan perkataan Abdullah Al-Qursyi.

12.Engkau harus menghapus selain yang engkau cintai dari hati. Ini merupakan perkataan Asy-Syibly. Kesempurnaan cinta menuntut yang demikian ini.

13. Engkau tidak mencela dirimu terus-menerus untuk mendapatkan keridhaan kekasih, namun engkau tidak ridha terhadap perbuatan dan keadaanmu karena kekasih. Ini merupakan perkataan Ibnu Atha'.

14. Engkau cemburu terhadap kekasih jika dia dicintai orang lain sepertimu. Ini merupakan perkataan Asy-Syibly. Artinya, engkau menganggap dirimu hina untuk mencintainya, karena ada juga yang mencintainya seperti cintamu.

15.Cinta adalah kehendak yang dahan-dahannya ditanamkan di dalam hati, lalu membuahkan kesesuaian dan ketaatan.

16. Orang yang mencintai lupa bagiannya karena sang kekasih dan dia lupa kebutuhan dirinya. Ini merupakan perkataan Abu Ya'qub As-Susy.

17. Menghindari kelalaian dalam keadaan bagaimana pun. Ini merupakan perkataan An-Nashr Abady.

18.Menyatukan kekasih dengan ketulusan kehendak dan pencarian. 
19. Menggugurkan semua kecintaan dari hati selain kecintaan kepada kekasih. Ini merupakan perkataan Muhammad bin Al-Fadhl.

20. Menundukkan pandangan hati dari selain kekasih karena cemburu dan menundukkan pandangan dari kekurangannya.

21. Kecenderunganmu kepada sesuatu secara total, lalu engkau lebih mementingkannya dibanding terhadap dirimu dan hartamu, lalu engkau menyesuaikan diri dengannya secara lahir dan batin, kemudian engkau mengetahui kekuranganmu dalam mencintainya.

22. Cinta adalah api di dalam hati, yang membakar selain semua kekasih.

23. Cinta adalah mengerahkan usaha dan tidak berpaling dari kekasih. Ini merupakan keharusan cinta, hak, dan buahnya.

24. Cinta adalah ketidaksadaran yang tidak bisa sembuh kecuali menyaksikan sang kekasih. Ketika sudah menyaksikannya, maka ketidaksadarannya justru semakin sulit digambarkan.

25. Engkau tidak mementingkan selain kekasih dan tidak menyerahkan urusanmu kepada selainnya.

26.Masuk ke dalam penghambaan kekasih dan membebaskan diri dari perbudakan selainnya.

27. Cinta adalah perjalanan hati menuju sang kekasih dan lisan senantiasa menyebut namanya. Perjalanan ini artinya kerinduan untuk bersua dengannya. Tidak dapat diragukan bahwa siapa yang mencintai sesuatu tentu dia akan banyak menyebutnya.

28. Cinta adalah sesuatu yang tidak berkurang karena pengabaian dan tidak bertambah karena kebaikan. Ini merupakan perkataan Yahya bin Mu'adz.

29. Yang disebut cinta ialah seluruh apa yang ada pada dirimu disibukkan oleh kekasih.

30. Ungkapan yang terakhir berikut ini merupakan ungkapan cinta yang paling menyeluruh dari ungkapan-ungkapan di atas, sebagaimana yang dituturkan Abu Bakar Al-Kattany, "Di Makkah diadakan dialog tentang masalah cinta, tepatnya pada musim haji. Banyak syaikh yang mengungkapkan pendapatnya tentang cinta ini. Sementara Al-Junaid saat itu merupakan orang yang paling muda di antara mereka. 
Orang-orang berkata kepadanya, "Sampaikan pendapatmu wahai penduduk dari Irak." Beberapa saat Al-Junaid menundukkan pandangannya dan air matanya pun menetes perlahan-lahan. Dia berkata, "Cinta ialah jika seorang hamba lepas dari dirinya, senantiasa menyebut nama Rabb-nya, memenuhi hak-hak-Nya, memandang kepada-Nya dengan sepenuh hati, seakan hatinya terbakar karena cahaya ketakutan kepada-Nya, yang minumannya berasal dari gelas kasih sayang-Nya, dan Allah Yang Maha Perkasa menampakkan Diri dari balik tabir kegaiban-Nya. Jika berbicara atas pertolongan Allah, jika berucap berasal dari Allah, jika bergerak atas perintah Allah, jika dia beserta Allah, dia dari Allah, bersama Allah dan milik Allah."

Mendengar ungkapannya ini semua syaikh yang hadir di sana menangis, dan mereka berkata, "Ungkapan ini sudah tidak memerlukan tambahan lagi. Semoga Allah melimpahkan pahala kepadamu wahai mahkota orang-orang yang arif."

Ungkapan-ungkapan tentang cinta di atas disebutkan oleh Ibnu Qayyim Al-Jauziyah dalam kitab Madarijus Salikin.
Sukoharjo, 23 Oktober 2012
 

12 Oktober 2012

Pengertian Ikhlas

Pengertian Ikhlas secara bahasa dan istilah
 
Banyak ulama yang mengemukakan definisi ikhlas. 'Umar Sulayman Al-Asyqar dalam kitab Al-Ikhlas mengemukakan definisi ikhlas dari beberapa ulama, baik secara terminologi maupun epistemologi.

Definisi ikhlas yang banyak dikemukakan tidak berbeda jauh. Intinya adalah menunjukan seluruh ibadah kepada Allah, bukan kepada yang lain. Al-Raghib berkata dalam kitab Mufradat, "Ikhlas adalah menyingkirkan segala sesuatu selain Allah."

Abu Al-Qasim Al-Qusyairi menyatakan bahwa seorang yang ikhlas adalah "yang berkeinginan untuk menegaskan hak-hak Allah dalam setiap perbuatan ketaatannya. Dengan ketaatannya itu ia ingin mendekatkan diri kepada Allah, bukan kepada yang lain. Ia berbuat bukan untuk makhluk, bukan untuk mendapatkan pujian manusia, atau sanjungan dari siapa pun. Satu-satunya yang ia harapkan adalah kedekatan kepada Allah."

Di tempat lain ia (Abu Al-Qasim Al-Qusyair) mengatakan, "Tidak salah jika dikatakan bahwa ikhlas adalah memurnikan perbuatan dari pamrih apa pun terhadap makhluk."

Sementara, Izz Ibn Abdussalam mengatakan, "Ikhlas adalah melakukan ketaatan karena dan demi Allah semata, bukan karena diagungkan atau dimuliakan oleh manusia, juga bukan untuk memperoleh keuntungan agama, atau menolak kemudharatan dunia."


Ulama yang lain, Harits Al-Muhasibi menyatakan, "Ikhlas adalah mengenyahkan makhluk dari hubungan antara seseorang dengan Tuhan."

Definisi lain dikemukakan oleh Sahl Ibn Abdullah, bahwa "Ikhlas adalah menjadikan seluruh gerak dan diam hanya untuk Allah."

Al-Ghazali, setelah mengutip definisi di atas mengatakan bahwa "Ikhlas adalah satu kata yang menghimpun dan meliputi seluruh maksud."

Inti makna ikhlas dalam berbagai buku bahasa adalah murni, atau suci dari noda yang mencampuri sesuatu, Misalnya, jika ada yang mengatakan, "Barang ini murni (khalis) untukmu," berarti tidak ada yang berhak atas barang ini selain dirimu.

Orang Arab juga menggunakan kata Ikhlas untuk menyebut roti murni yang tak bersusu dan tak berkeledak. Sedangkan kata ikhlas dalam bahasa Arab berarti sesuatu yang dimurnikan dengan api, di antaranya emas atau perak.

Kata khalis (min al-awan) berarti sesuatu yang benar-benar bersih, jernih, atau murni. Kata khalashahu berarti menjernihkannya atau memurnikannya.

Ikhlas dalam pengertian di atas terungkap dalam sejumlah ayat Al-Quran, di antaranya:
"Kami memberimu minum dari pada apa yang berada dalam perutnya (berupa) susu yang bersih antara tahi dan darah,..." (QS. An Nahl: 66)
Maksudnya, tidak bercampur darah dan kotoran.

Firman Allah, "Mereka (saudara-saudara Yusuf) memurnikan diri dan berunding dengan berbisik-bisik." (QS. Yusuf: 80)
Maksudnya, mereka menyendiri dan menyepi dari orang lain.
Ayat- Al-Quran yang berbicara tentang orang musyrik, "..., murni untuk pria kami." (QS. Al-An'am: 139)
Maksudnya adalah wanita-wanita tidak bersekutu dengan mereka.

Allah berfirman tentang perhiasan dan makanan yang lezat-lezat,
"Katakanlah, 'Siapa yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang dikeluarkannya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pula yang mengharamkan) makanan yang enak-enak?' Katakanlah, 'Semua itu (disediakan) bagi orang yang beriman di kehidupan dunia, murni (untuk mereka saja) di hari Kiamat. "QS. Al-A'raf: 32)
Kata ikhlas dalam ayat ini menunjukkan bahwa orang kafir tidak ikut menikmati semua nikmat itu di akhirat nanti.

Dari uraian di atas, kita tidak melihat adanya perbedaan dalam pengertian ikhlas, baik dari segi bahasa maupun isilah. Antara keduanya saling terkait dan bersesuaian. Ikhlas mengarah pada upaya memurnikan maksud dan tujuan kepada Allah dari segala bentuk noda, campuran, dan segala hal lain yang merusak, yang melekati maksud dan tujuan itu. Artinya, semua ibadah yang dilakukan murni dimaksudkan dan ditujukan kepada Allah, bukan kepada yang lain.


Sukoharjo, 3 Oktober 2012


4 Oktober 2012

Wala' dan Bara' dalam Islam (1)


Segala puji bagi Allah, shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi kita Muhammad beserta keluarganya, sahabat, dan orang-orang yang menempuh jalan dengan petunjuknya. Setelah cinta kepada Allah dan Rasul-Nya, maka wajib bagi setiap muslim untuk mencintai para wali-wali Allah dan membenci musuh-musuh-Nya.

Termasuk dari dasar-dasar aqidah Islam, bahwa setiap muslim yang beragama Islam lagi bertauhid wajib untuk:

  • Ber-wala’ (sikap setia, loyal) terhadap orang-orang yang beraqidah Islam dan memusuhi orang-orang yang menentangnya. 
  • Mencintai orang yang bertauhid yang mengikhlaskan ibadahnya untuk Allah. 
  • Membenci orang-orang musyrik yang memusuhi akidah tersebut.

Hal ini juga termasuk bagian dari millah (agama) Nabi Ibrahim dan orang-orang yang mengikutinya, yang kita diperintahkan untuk meneladani mereka, sebagaimana firman Allah, yang artinya:
Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia, ketika mereka berkata kepada kaum mereka : ‘Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selamalamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja, kecuali perkataan Ibrahim kepada bapaknya:"Sesungguhnya aku akan memohonkan ampunanbagi kamu dan aku tidak dapat menolak sesuatu dari kamu (siksaan) Allah". (Ibrahim berkata) :"Ya Tuhan kami hanya kepada Engkaulah kami bertawakkal dan hanya kepada Engkaulah kami bertaubat dan hanya kepada Engkaulah kami kembali." (Qs. Al-Mumtahanah: 4).

Juga termasuk dari ajaran agama Muhammad Allah berfirman, yang artinya:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-peminpinmu, sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.”(Qs. Al-Maidah: 51).

Ayat ini khusus berkenaan tentang haramnya ber-wala’ terhadap ahli kitab. Demikian pula haram hukumnya menjadikan orang kafir secara umum sebagai pemimpin, sebagaimana firman Allah, yang artinya:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi temanteman setia (pemimpin)." (Qs. Al-Mumtahanah: 1).

Lebih tegas Allah mengharamkan orang mukmin menjadikan orang kafir sebagai pemimpin dan teman setia, sekalipun mereka adalah anggota keluarganya yang terdekat.

Allah berfirman, yang artinya:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu jadikan bapak-bapak dan saudara-saudaramu menjadi pemimpin-pemimpinmu, jika mereka lebih mengutamakan kekafiran atas keimanan dan siapa di antara kamu yang menjadikan mereka pemimpin-pemimpinmu, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (Qs. At-Taubah: 23).

Allah berfirman, yang artinya:
Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya sekalipun orangorang itu bapak-bapak, atau anak-anak, atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka.”(Qs. Al-Mujadalah : 22).

Tapi kebanyakan manusia tidak mengetahui pokok agama yang agung ini, hingga suatu ketika saya pernah mendengar ada orang yang mengaku sebagai ahli ilmu dan juru dakwah mengatakan dalam sebuah siaran berbahasa Arab bahwa: orang-orang Nasrani itu sesungguhnya adalah saudara-saudara kita. Subhanallah, alangkah bahayanya pernyataan ini.

Sebagaimana Allah telah mengharamkan wala’ terhadap kaum kafir, musuh-musuh aqidah Islam, sebaliknya Allah mewajibkan ber-wala’ terhadap kaum muslimin dan mencintai mereka.

Allah berfirman, yang artinya:
Sesunggunhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah). Dan barangsiapa mengambil Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya, maka sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah yang pasti menang.”(Qs. Al-Maidah :55-56).

Allah berfirman, yang artinya:
Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dia adalah keras terhadap orang-orang kafir tetapi berkasih sayang sesama mereka.” Qs. Al-Fath :29).

Allah berfirman, yang artinya:
Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara…” (Qs. Al-Hujurat :10).

Oleh karena itu orang-orang yang beriman adalah saudara seagama dan se-aqidah, walaupun jauh nasabnya (keturunannya), negaranya maupun zamannya.

Allah berfirman, yang artinya:
Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar) mereka berdo’a : "Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.” (Qs. Al- Hasyr: 10).

Oleh karena itu kaum muslimin sejak mereka diciptakan sampai akhir nanti, meskipun tanah airnya berjauhan dan masanya tidak berdekatan, mereka adalah bersaudara dan saling mencintai. Orang-orang yang datang berikutnya meneladani orang-orang yang sebelum mereka, mereka saling mendo’akan dan saling memintakan ampunan antarsesama mereka.


Sumber: Al-Wala' wal Bara' fil Islam, Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan




3 Oktober 2012

Akhlak Seorang Dai

Akhlak Seorang Dai


Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz dalam kitabnya Ad-Da’watu ilallah wa Akhlaqud Du’at menyebutkan tiga akhlak dan karakter yang seharusnya dimiliki oleh para du’at. Beliau berkata, “Akhlak dan karakter yang seharusnya dimiliki oleh para du’at, maka telah menjelaskannya di dalam banyak ayat di dalam beberapa tempat di dalam kitab-Nya yang mulia.”

Berikut ini tiga akhlak dan karakter yang seharusnya dimiliki oleh para du’at.

1. Ikhlas
 Wajib bagi setiap da’i untuk mengikhlaskan diri kepada Allah, bukan karena keinginan untuk riya’ (pamer supaya dilihat orang) dan sum’ah (pamer supaya didengar orang) dan bukan pula untuk mendapatkan pujian dan sanjungan manusia. Hanya saja ia berdakwah kepada Allah untuk mengharap wajah Allah semata, sebagaimana firman Allah, ”Katakanlah: Inilah jalanku, Aku menyeru hanya kepada Allah.” Dan firman-Nya, ”Siapakah yang lebih baik perkataannya dari orang yang mengajak kepada Allah.”

Maka wajib bagi Anda untuk mengikhlaskan diri kepada Allah, dan hal ini merupakan akhlak yang paling penting dan sifat yang paling agung yang seharusnya Anda gunakan di dalam dakwah Anda, yang Anda hanya mengharap wajah Allah dan negeri akhirat.

2. Dakwah juga harus dengan ilmu, karena ilmu itu merupakan kewajiban
Jauhilah berdakwah dengan kebodohan dan berkata-kata dengan sesuatu yang tidak Anda ketahui. Sesungguhnya kebodohan itu akan menghancurkan, tidak bisa membangun dan merusak, tidak bisa membenahi.

Maka bertakwalah kepada Allah wahai hamba Allah, jauhilah berbicara tentang Allah tanpa ilmu, dan janganlah Anda berdakwah mengajak kepada sesuatu kecuali setelah Anda mengetahui ilmu dan bashirah (hujjah yang nyata) dari apa yang difirmankan Allah dan disabdakan Rasul-Nya.

Dakwah haruslah dengan bashirah, yaitu ilmu. Maka wajib bagi penuntut ilmu dan da’i untuk menggunakan bashirah ketika berdakwah dan mencermati apa yang ia dakwahkan dengan dalil-dalilnya. Apabila telah jelas baginya kebenaran dan ia mengetahui kebenaran maka hendaklah ia berdakwah menyeru kepadanya, baik itu berupa perbuatan untuk mengamalkan atau meninggalkan, yaitu berdakwah kepada pengamalan apabila merupakan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya, dan berdakwah kepada meninggalkan apa yang dilarang Allah dan Rasul-Nya di atas petunjuk dan bashirah.

3. Berlemah lembut dan ramah di dalam dakwah Anda dan bersabar
Jauhilah sikap terburu-buru, bengis dan keras. Wajib bagi Anda bersikap sabar, lemah lembut dan ramah di dalam dakwah Anda.

*Sukoharjo, 3 Oktober 2012


Katakan, "Saya Tidak Tahu"


Inilah kedalaman ilmu para sahabat Rasulullah. Mereka yang setiap hari bergaul dengan Rasulullah, menimba ilmu langsung dari beliau, tetapi mereka tidak enggan untuk mengatakan, “Saya tidak tahu” dan mereka mewasiatkan kepada kita agar kita tidak segan untuk mengatakan, “Saya tidak tahu”.

Jika ada seorang dai yang tidak mau mengucapkan perkataan “Saya tidak tahu” padahal ia benar-benar tidak mengetahui permasalahan yang ditanyakan kepadanya, maka hal itu akan menjatuhkan kemuliaannya. Jawabannya yang tidak dilandasi ilmu akan menjadi senjata makan tuan. Jawaban itu akan menunjukkan kebodohannya. Sebagaimana perkataan Anas bin Malik, “Jika orang alim sudah meninggalkan kata ‘Saya tidak tahu’, maka itu akan menjadi senjata makan tuan.”

Orang yang selalu memberikan jawaban atas pertanyaan yang dilontarkan kepadanya, maka diragukan keilmuannya. Karena ilmu tidak diukur atas banyaknya pertanyaan yang dijawab. Bahkan Abdullah bin Mas’ud mengatakan bahwa orang yang selalu memberikan fatwa (jawaban) atas setiap pertanyaan yang diajukan adalah benar-benar gila.

Seseorang tidak akan mampu mengetahui semua ilmu. Ilmu agama ini “dibagikan” kepada ulama-ulama di berbagai penjuru dunia. Sehingga mustahil ada seseorang yang menguasai semua cabang ilmu. Perkataan “Saya tidak tahu” tidak akan menjatuhkan martabat dan kemuliaan seseorang. Bahkan perkataan “Saya tidak tahu” merupakan perisai bagi orang-orang yang berilmu. Abdullah bin Mas’ud berkata, “Perisai orang yang berilmu adalah ketika ia berkata, ‘Saya tidak tahu’, karena kalaupun ia salah tetap dibenarkan.”

Tidak semua pertanyaan ada jawabannya. Tidak semua pertanyaan harus dijawab. Tidak semua pertanyaan bisa dijawab. Ada pertanyaan yang mudah dan ada pertanyaan yang sulit. Jika kita menghadapi pertanyaan yang sulit maka hendaknya kita tidak memaksakan diri untuk menjawabnya. Jika kita tidak tahu jawaban atas pertanyaan tersebut, katakan saja, “Saya tidak tahu”.

Ketahuilah bahwa perkataan “Saya tidak tahu” tidak akan mengurangi ilmu. Bahkan perkataan “Saya tidak tahu” merupakan sebuah ilmu yang tidak semua orang bisa memahaminya. Orang yang pandai adalah orang yang mengetahui bahwa dirinya tidak tahu sehingga ia mengatakan bahwa ia tidak tahu. Sedangkan orang bodoh adalah orang yang tidak mengetahui bahwa sebenarnya ia tidak tahu. Sebagaimana perkataan Abud Darda’, “Perkataan orang yang tidak mengetahui suatu permasalahan (yang ditanyakan kepadanya) ‘Aku tidak tahu’ adalah setengah dari ilmu.”

Jika kita memaksakan diri untuk menjawab pertanyaan yang tidak kita ketahui jawabannya, maka jawabannya akan ngawur, tidak dilandasi dalil atau menggunakan dalil yang tidak semestinya. Keadaan ini akan lebih parah jika jawabannya benar-benar tidak sesuai dengan kebenaran.

Maraji: Mawaizhu Ash-Shahabah, Shalih Ahmad Asy-Syami



Sukoharjo, 3 Oktober 2012



Agama adalah Nasehat


Hadits Arba'in Nawawiyah ke-7: Agama adalah Nasehat


عن أبي تميم بن أوس الـداري رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: الدين النصيحة. قلنا لمن ؟ قال : لله ولرسوله وللأئمة المسلمين Ùˆ عامتهم


Dari Abu Ruqayyah Tamiim bin Aus Ad Daari radhiallahu 'anhu, “Sesungguhnya Rasulullah telah bersabda: "Agama itu adalah nasehat" , Kami bertanya : Untuk Siapa?, Beliau bersabda: "Untuk Allah, Kitab-Nya, Rasul-Nya, para pemimpin umat Islam, dan bagi seluruh kaum muslim” [HR. Muslim no. 55]

Berkaitan dengan hadits di atas, Ibnu Daqiqil 'Ied menjelaskan sebagai berikut.

Tamim Ad Daari hanya meriwayatkan hadits ini, kata nasehat merupakan sebuah kata singkat penuh isi, maksudnya ialah segala hal yang baik. Dalam bahasa Arab tidak ada kata lain yang pengertiannya setara dengan kata nasehat, sebagaimana disebutkan oleh para ulama bahasa Arab tentang kata Al Fallaah yang tidak memiliki padanan setara, yang mencakup makna kebaikan dunia dan akhirat.

Kalimat, “Agama adalah nasehat” maksudnya adalah sebagai tiang dan penopang agama, sebagaimana sabda Rasulullah, “Haji adalah arafah”, maksudnya wukuf di arafah adalah tiang dan bagian terpenting haji.

Tentang penafsiran kata nasihat dan berbagai cabangnya, Khathabi dan ulama-ulama lain mengatakan :

1. Nasehat untuk Allah maksudnya beriman semata-mata kepada-Nya, menjauhkan diri dari syirik dan sikap ingkar terhadap sifat-sifat-Nya, memberikan kepada Allah sifat-sifat sempurna dan segala keagungan, mensucikan-Nya dari segala sifat kekurangan, menaati-Nya, menjauhkan diri dari perbuatan dosa, mencintai dan membenci sesuatu semata karena-Nya, berjihad menghadapi orang-orang kafir, mengakui dan bersyukur atas segala nikmat-Nya, berlaku ikhlas dalam segala urusan, mengajak melakukan segala kebaikan, menganjurkan orang berbuat kebaikan, bersikap lemah lembut kepada sesama manusia. Khathabi berkata : “Secara prinsip, sifat-sifat baik tersebut, kebaikannya kembali kepada pelakunya sendiri, karena Allah tidak memerlukan kebaikan dari siapapun”

2. Nasehat untuk kitab-Nya maksudnya beriman kepada firman-firman Allah dan diturunkan-Nya firman-firman itu kepada Rasul-Nya, mengakui bahwa itu semua tidak sama dengan perkataan manusia dan tidak pula dapat dibandingkan dengan perkataan siapapun, kemudian menghormati firman Allah, membacanya dengan sungguh-sungguh, melafazhkan dengan baik dengan sikap rendah hati dalam membacanya, menjaganya dari takwilan orang-orang yang menyimpang, membenarkan segala isinya, mengikuti hokum-hukumnya, memahami berbagai macam ilmunya dan kalimat-kalimat perumpamaannya, mengambilnya sebagai pelajaran, merenungkan segala keajaibannya, mengamalkan dan menerima apa adanya tentang ayat-ayat mutasyabih, mengkaji ayat-ayat yang bersifat umum, dan mengajak manusia pada hal-hal sebagaimana tersebut diatas dan menimani Kitabullah

3. Nasehat untuk Rasul-Nya maksudnya membenarkan ajaran-ajarannya, mengimani semua yang dibawanya, menaati perintah dan larangannya, membelanya semasa hidup maupun setelah wafat, melawan para musuhnya, membela para pengikutnya, menghormati hak-haknya, memuliakannya, menghidupkan sunnahnya, mengikuti seruannya, menyebarluaskan tuntunannya, tidak menuduhnya melakukan hal yang tidak baik, menyebarluaskan ilmunya dan memahami segala arti dari ilmu-ilmunya dan mengajak manusia pada ajarannya, berlaku santun dalam mengajarkannya, mengagungkannya dan berlaku baik ketika membaca sunnah-sunnahnya, tidak membicarakan sesuatu yang tidak diketahui sunnahnya, memuliakan para pengikut sunnahnya, meniru akhlak dan kesopanannya, mencintai keluarganya, para sahabatnya, meninggalkan orang yang melakukan perkara bid’ah dan orang yang tidak mengakui salah satu sahabatnya dan lain sebagainya.

4. Nasehat untuk para pemimpin umat islam maksudnya menolong mereka dalam kebenaran, menaati perintah mereka dan memperingatkan kesalahan mereka dengan lemah lembut, memberitahu mereka jika mereka lupa, memberitahu mereka apa yang menjadi hak kaum muslim, tidak melawan mereka dengan senjata, mempersatukan hati umat untuk taat kepada mereka (tidak untuk maksiat kepada Allah dan Rasul-Nya), dan makmum shalat dibelakang mereka, berjihad bersama mereka dan mendo’akan mereka agar mereka mendapatkan kebaikan.

5. Nasehat untuk seluruh kaum muslim maksudnya memberikan bimbingan kepada mereka apa yang dapat memberikan kebaikan bagi merela dalam urusan dunia dan akhirat, memberikan bantuan kepada mereka, menutup aib dan cacat mereka, menghindarkan diri dari hal-hal yang membahayakan dan mengusahakan kebaikan bagi mereka, menyuruh mereka berbuat ma’ruf dan mencegah mereka berbuat kemungkaran dengan sikap santun, ikhlas dan kasih sayang kepada mereka, memuliakan yang tua dan menyayangi yang muda, memberikan nasihat yang baik kepada mereka, menjauhi kebencian dan kedengkian, mencintai sesuatu yang menjadi hak mereka seperti mencintai sesuatu yang menjadi hak miliknya sendiri, tidak menyukai sesuatu yang tidak mereka sukai sebagaimana dia sendiri tidak menyukainya, melindungi harta dan kehormatan mereka dan sebagainya baik dengan ucapan maupun perbuatan serta menganjurkan kepada mereka menerapkan perilaku-perilaku tersebut diatas.

Memberi nasihat merupakan fardu kifayah, jika telah ada yang melaksanakannya, maka yang lain terlepas dari kewajiban ini. Hal ini merupakan keharusan yang dikerjakan sesuai kemampuan. Nasehat dalam bahasa Arab artinya membersihkan atau memurnikan seperti pada kalimat nashahtul ‘asala, artinya saya membersihkan madu hingga tersisa yang murni, namun ada juga yang mengatakan kata nasihat memiliki makna lain. Wallahu a’lam



*Sukoharjo,  1 Oktober 2012


PROMO BUKU

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More