"Demi Allah, saya tidak
ada rasa cinta."
Kata-kata tersebut merupakan ungkapan jujur seorang suami pada masa awal pernikahannya.
Kisahnya berawal dari seorang ikhwan, sebut saja namanya Said (bukan nama sebenarnya). Ia adalah seorang ikhwan yang terdidik agamanya dengan baik.
Said adalah lulusan magister dari universitas negeri yang ternama. Ia sudah mendapatkan pekerjaan sebagai seorang guru, sesuai dengan kualifikasi pendidikannya.
Di usianya yang sudah menginjak 28 tahun, keinginannya untuk membangun rumah tangga mulai menggebu. Satu-satunya cara yang ia tahu untuk menjemput jodohnya ialah dengan meminta bantuan guru mengajinya (murabbi).
Said pun dipertemukan dengan seorang akhwat. Setelah proses ta'aruf, Allah pun berkehendak untuk tidak menjodohkan keduanya.
Tawaran akhwat lain pun datang dari murabbi-nya. Namun, ta'aruf pun berakhir sebagaimana proses dengan akhwat yang pertama. Tawaran lain menyusul datang, dan berakhir tiada beda.
Setelah tidak berhasil dalam proses ta'aruf dengan beberapa akhwat, Said tiada jera dalam menjemput jodohnya. Ia yakin bahwa Allah sudah menuliskan nama seseorang untuk mengisi hatinya.
Said merasakan bahwa proses menjemput jodohnya akan segera berhasil tatkala murabbi-nya menawarkan seorang akhwat yang menarik hatinya. Said sangat tertarik dengan akhwat tersebut bukan karena keindahan paras wajahnya, namun karena keindahan hatinya. Akhwat yang shalihah, cerdas, dan mandiri. Sebut saja namanya Rina (bukan nama sebenarnya).
Proses ta'aruf berjalan lancar. Perkenalan dengan orang tua juga tiada terhambat. Khitbah pun dilaksanakan. Tanggal akad nikah ditentukan.
Dalam masa penantian menuju hari-H, hati Said senantiasa berbunga-bunga. Dialah jodohku, batin Said. Sedikit demi sedikit dalam hatinya tumbuh harapan-harapan kebahagiaan. Pernikahan yang ia idamkan akan segera terlaksana. Inilah masa yang ditunggu-tunggunya.
Siang dan malam bergulir. Orang tua Said merasa bahagia akan mendapatkan seorang menantu. Apalagi orang tuanya juga cocok dengan Rina, calon istrinya.
Tanggal yang ditentukan semakin dekat. Akan tetapi, benarlah kata-kata bijak, manusia boleh membuat rencana, Allah-lah yang menentukan. Salah satu "kekurangan" Rina ialah ia mempunyai penyakit yang tidak ringan. Penyakit tersebut berpotensi akan diturunkan pada anak keturunannya.
Hati Said sempat goyah. Namun kemudian ia kembali teguh. Ia paham betul bahwa segala penyakit merupakan ujian dari Allah. Dan kesembuhan dari segala penyakit hanya berasal dari Allah. Said pun tetap menerima Rina.
Namun, kali ini orang tua Said berbeda pandangan dengannya. Sebagai orang tua, mereka menginginkan "jaminan" akan keturunan yang baik. Mereka memikirkan keturunan mereka selanjutnya.
Badai menyapu benih-benih kebahagiaan dalam hati Said. Ia tak bisa mengacuhkan pandangan orang tuanya. Ia mesti setuju dengan orang tuanya meski hatinya berseberangan.
Rencana pernikahan telah gagal. Kapal yang hendak berlayar, patah tiang sebelum menyentuh lautan. Awan mendung menaungi hari-hari Said. Hati Rina tak jauh berbeda. Duka lara ia kecap setelah sebelumnya hatinya melayang oleh impian pernikahan. Namun, ia pasrah pada takdir yang tiada bisa terelakkan.
Said memendam kecewa dalam hatinya. Dicobanya menghapus bayangan Rina. Berharap luka hatinya segera terobati.
Selama beberapa waktu Said masih belum bisa menghapus jejak Rina. Lalu, ia kembali berikhtiar. Ia paham bahwa pencarian jodohnya harus tetap berlanjut.
Tawaran seorang akhwat dari murabbi-nya datang lagi. Kali ini hanya biodata si akhwat, tanpa adanya foto.
Said sudah memasrahkan jodohnya di tangan Allah. Ia pun juga tsiqah (percaya) kepada murabbi-nya bahwa akhwat yang ditawarkan kepadanya pastilah akhwat yang shalihah.
Maka, dengan keyakinan hati, tanpa mengetahui wajah si akhwat, Said setuju untuk proses ta'aruf dengannya. Si akhwat, sebut saja namanya Putri (bukan nama sebenarnya), juga setuju untuk ta'aruf.
Said berdoa agar Allah memperlancar dan mempermudah urusannya.
Pada hari yang ditentukan, Said datang ke rumah orang tua Putri ditemani oleh murabbinya. Dalam proses ta'aruf, Said dan Putri melakukan tanya jawab tentang visi misi pernikahan.
Selama proses ta'aruf itu, Putri senantiasa menundukkan pandangan. Said pun tidak mencoba mencuri pandang karena yang ia cari bukanlah keelokan wajah, tetapi keshalihan pribadi. Proses ta'aruf berlanjut pada khitbah. Tanggal pernikahan ditentukan.
Pada hari-H, semua orang bersuka cita. Inilah pertemuan dua insan atas dasar cinta kepada Allah.
Akad nikah dan walimahan berjalan lancar. Akan tetapi, hati Said merasa ada yang kurang. Seolah-olah secuil hatinya ada yang hilang.
Ia kemudian sadar bahwa secuil hatinya itu telah diberikannya kepada akhwat lain, yaitu Rina, mantan calon istrinya dahulu.
Pesta walimahan yang meriah tak mampu mengembalikan hatinya secara utuh. Di hari itu pun terjadi sedikit insiden, yaitu ketika ibunya memanggil istri Said -Putri- dengan panggilan "Rina". Ibunya Said silap lidah karena memang hubungannya dengan Rina sudah dekat sehingga saat hendak memanggil Putri, yang keluar dari lidahnya justru kata Rina. Untung saja Putri tidak mengenal Rina, begitu kata Said dalam hati.
Pada hari-hari selanjutnya, Said dan Putri hidup berumah tangga dengan rukun karena keduanya paham nilai-nilai agama. Namun, Said merasakan bahwa tidak ada perasaan cinta di dalam hatinya untuk istrinya. Hatinya memang masih belum utuh.
Hari berganti minggu, minggu berganti bulan. Sebagaimana kata orang bijak, waktu adalah penyembuh luka hati yang paling mujarab, luka hati Said pun sembuh. Hatinya sudah utuh. Bayangan Rina mulai pudar. Ia akan menempuh bahtera rumah tangga bersama Putri dengan sepenuh hati.
Bagaimana dengan Rina? Rina pun akhirnya menikah dengan seorang ikhwan. Jalan bahagia ditempuh masing-masing.
Ada ungkapan jawa, witing tresna jalaran saka kulina, 'adanya cinta karena terbiasa'. Said mulai bisa mencintai istrinya. Benih-benih cinta dan kasih sayang menghiasi rumah tangganya.
Bahagia senantiasa dirasakan Said bersama istrinya. Tiada hari tanpa kasih dan cinta di dalam rumahnya.
Said bersyukur kepada Allah yang telah menghantarkan Putri sebagai istrinya. Didapatinya Putri ialah istri yang shalihah, cerdas, penyabar, tegar, dan bisa mendidik anak dengan baik.
Saat ini Said dan Putri sudah dikaruniai tiga anak. Mereka menjadi keluarga sakinah, mawaddah, wa rahmah.
Walhamdulillahirabbil 'alamin.
***
Berdasarkan kisah nyata.
Ditulis oleh Sukrisno Santoso, pada sepertiga malam terakhir, 22 Juli 2014, di kota Sukoharjo.
Kata-kata tersebut merupakan ungkapan jujur seorang suami pada masa awal pernikahannya.
Kisahnya berawal dari seorang ikhwan, sebut saja namanya Said (bukan nama sebenarnya). Ia adalah seorang ikhwan yang terdidik agamanya dengan baik.
Said adalah lulusan magister dari universitas negeri yang ternama. Ia sudah mendapatkan pekerjaan sebagai seorang guru, sesuai dengan kualifikasi pendidikannya.
Di usianya yang sudah menginjak 28 tahun, keinginannya untuk membangun rumah tangga mulai menggebu. Satu-satunya cara yang ia tahu untuk menjemput jodohnya ialah dengan meminta bantuan guru mengajinya (murabbi).
Said pun dipertemukan dengan seorang akhwat. Setelah proses ta'aruf, Allah pun berkehendak untuk tidak menjodohkan keduanya.
Tawaran akhwat lain pun datang dari murabbi-nya. Namun, ta'aruf pun berakhir sebagaimana proses dengan akhwat yang pertama. Tawaran lain menyusul datang, dan berakhir tiada beda.
Setelah tidak berhasil dalam proses ta'aruf dengan beberapa akhwat, Said tiada jera dalam menjemput jodohnya. Ia yakin bahwa Allah sudah menuliskan nama seseorang untuk mengisi hatinya.
Said merasakan bahwa proses menjemput jodohnya akan segera berhasil tatkala murabbi-nya menawarkan seorang akhwat yang menarik hatinya. Said sangat tertarik dengan akhwat tersebut bukan karena keindahan paras wajahnya, namun karena keindahan hatinya. Akhwat yang shalihah, cerdas, dan mandiri. Sebut saja namanya Rina (bukan nama sebenarnya).
Proses ta'aruf berjalan lancar. Perkenalan dengan orang tua juga tiada terhambat. Khitbah pun dilaksanakan. Tanggal akad nikah ditentukan.
Dalam masa penantian menuju hari-H, hati Said senantiasa berbunga-bunga. Dialah jodohku, batin Said. Sedikit demi sedikit dalam hatinya tumbuh harapan-harapan kebahagiaan. Pernikahan yang ia idamkan akan segera terlaksana. Inilah masa yang ditunggu-tunggunya.
Siang dan malam bergulir. Orang tua Said merasa bahagia akan mendapatkan seorang menantu. Apalagi orang tuanya juga cocok dengan Rina, calon istrinya.
Tanggal yang ditentukan semakin dekat. Akan tetapi, benarlah kata-kata bijak, manusia boleh membuat rencana, Allah-lah yang menentukan. Salah satu "kekurangan" Rina ialah ia mempunyai penyakit yang tidak ringan. Penyakit tersebut berpotensi akan diturunkan pada anak keturunannya.
Hati Said sempat goyah. Namun kemudian ia kembali teguh. Ia paham betul bahwa segala penyakit merupakan ujian dari Allah. Dan kesembuhan dari segala penyakit hanya berasal dari Allah. Said pun tetap menerima Rina.
Namun, kali ini orang tua Said berbeda pandangan dengannya. Sebagai orang tua, mereka menginginkan "jaminan" akan keturunan yang baik. Mereka memikirkan keturunan mereka selanjutnya.
Badai menyapu benih-benih kebahagiaan dalam hati Said. Ia tak bisa mengacuhkan pandangan orang tuanya. Ia mesti setuju dengan orang tuanya meski hatinya berseberangan.
Rencana pernikahan telah gagal. Kapal yang hendak berlayar, patah tiang sebelum menyentuh lautan. Awan mendung menaungi hari-hari Said. Hati Rina tak jauh berbeda. Duka lara ia kecap setelah sebelumnya hatinya melayang oleh impian pernikahan. Namun, ia pasrah pada takdir yang tiada bisa terelakkan.
Said memendam kecewa dalam hatinya. Dicobanya menghapus bayangan Rina. Berharap luka hatinya segera terobati.
Selama beberapa waktu Said masih belum bisa menghapus jejak Rina. Lalu, ia kembali berikhtiar. Ia paham bahwa pencarian jodohnya harus tetap berlanjut.
Tawaran seorang akhwat dari murabbi-nya datang lagi. Kali ini hanya biodata si akhwat, tanpa adanya foto.
Said sudah memasrahkan jodohnya di tangan Allah. Ia pun juga tsiqah (percaya) kepada murabbi-nya bahwa akhwat yang ditawarkan kepadanya pastilah akhwat yang shalihah.
Maka, dengan keyakinan hati, tanpa mengetahui wajah si akhwat, Said setuju untuk proses ta'aruf dengannya. Si akhwat, sebut saja namanya Putri (bukan nama sebenarnya), juga setuju untuk ta'aruf.
Said berdoa agar Allah memperlancar dan mempermudah urusannya.
Pada hari yang ditentukan, Said datang ke rumah orang tua Putri ditemani oleh murabbinya. Dalam proses ta'aruf, Said dan Putri melakukan tanya jawab tentang visi misi pernikahan.
Selama proses ta'aruf itu, Putri senantiasa menundukkan pandangan. Said pun tidak mencoba mencuri pandang karena yang ia cari bukanlah keelokan wajah, tetapi keshalihan pribadi. Proses ta'aruf berlanjut pada khitbah. Tanggal pernikahan ditentukan.
Pada hari-H, semua orang bersuka cita. Inilah pertemuan dua insan atas dasar cinta kepada Allah.
Akad nikah dan walimahan berjalan lancar. Akan tetapi, hati Said merasa ada yang kurang. Seolah-olah secuil hatinya ada yang hilang.
Ia kemudian sadar bahwa secuil hatinya itu telah diberikannya kepada akhwat lain, yaitu Rina, mantan calon istrinya dahulu.
Pesta walimahan yang meriah tak mampu mengembalikan hatinya secara utuh. Di hari itu pun terjadi sedikit insiden, yaitu ketika ibunya memanggil istri Said -Putri- dengan panggilan "Rina". Ibunya Said silap lidah karena memang hubungannya dengan Rina sudah dekat sehingga saat hendak memanggil Putri, yang keluar dari lidahnya justru kata Rina. Untung saja Putri tidak mengenal Rina, begitu kata Said dalam hati.
Pada hari-hari selanjutnya, Said dan Putri hidup berumah tangga dengan rukun karena keduanya paham nilai-nilai agama. Namun, Said merasakan bahwa tidak ada perasaan cinta di dalam hatinya untuk istrinya. Hatinya memang masih belum utuh.
Hari berganti minggu, minggu berganti bulan. Sebagaimana kata orang bijak, waktu adalah penyembuh luka hati yang paling mujarab, luka hati Said pun sembuh. Hatinya sudah utuh. Bayangan Rina mulai pudar. Ia akan menempuh bahtera rumah tangga bersama Putri dengan sepenuh hati.
Bagaimana dengan Rina? Rina pun akhirnya menikah dengan seorang ikhwan. Jalan bahagia ditempuh masing-masing.
Ada ungkapan jawa, witing tresna jalaran saka kulina, 'adanya cinta karena terbiasa'. Said mulai bisa mencintai istrinya. Benih-benih cinta dan kasih sayang menghiasi rumah tangganya.
Bahagia senantiasa dirasakan Said bersama istrinya. Tiada hari tanpa kasih dan cinta di dalam rumahnya.
Said bersyukur kepada Allah yang telah menghantarkan Putri sebagai istrinya. Didapatinya Putri ialah istri yang shalihah, cerdas, penyabar, tegar, dan bisa mendidik anak dengan baik.
Saat ini Said dan Putri sudah dikaruniai tiga anak. Mereka menjadi keluarga sakinah, mawaddah, wa rahmah.
Walhamdulillahirabbil 'alamin.
***
Berdasarkan kisah nyata.
Ditulis oleh Sukrisno Santoso, pada sepertiga malam terakhir, 22 Juli 2014, di kota Sukoharjo.
0 komentar:
Posting Komentar