MUSLIMAH

Menuju Insan yang Shalihah

This is default featured post 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

MUTIARA DAKWAH

This is default featured post 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

22 Februari 2015

Lelaki yang Teguh Hatinya


Udara dingin menggingit. Malam yang pekat menyergap area camping. Hanya cahaya lampu emergency yang sedikit bisa memberi penglihatan.

Di dalam tenda, tiga orang bercengkerama akrab ditemani makanan ringan dan segelas minuman hangat. Suara dering telepon genggam terdengar. Salah seorang di antara mereka mengangkat, lalu ia terlibat pembicaraan yang santai dengan seseorang di sana.

"Sedang istirahat," kata lelaki itu. Suaranya dibuat mendayu. Tahulah teman-temannya bahwa yang menelepon tersebut adalah istrinya.

Lalu seisi tenda pun menjadi gaduh. Lelaki itu pun menjadi olok-olokan.
"Baru sehari camping sudah ditelepon."
"Kayak pengantin baru aja."

Yang disindir pun hanya tersenyum karena ia maklum, dua orang temannya yang masih membujang itu belum merasai perasaan rindu kepada sang istri ketika berpisah jauh.

Lelaki itu, sebut saja namanya Hamzah (bukan nama sebenarnya), sebenarnya adalah lelaki dengan perangai yang tegas dan keras. Namun ketika berbicara dengan istrinya, tiba-tiba saja nada bicaranya lembut dan mendayu.

Kisah ini adalah kisah seorang lelaki yang teguh memegang prinsip. Ia mempunyai keyakinan dan tawakkal yang tinggi kepada Allah.

Berawal pada suatu masa ketika Hamzah baru lulus dari SMA. Ekonomi keluarga yang pas-pasan membuat Hamzah harus bekerja di sebuah perusahaan. Namun, ia pun berkeinginan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi.

Hamzah mendaftar di sebuah akademi swasta dengan tetap bekerja paruh waktu. Ia memang ulet. Kesulitan hidup tidak membuatmya menyerah. Selain belajar, selama kuliah Hamzah juga berusaha untuk melakukan aktivitas dakwah. Memang sejak SMA ia giat mengaji dan mengikuti kegiatan dakwah.

Yang paling menonjol dari perangai Hamzah ialah sikap tegasnya. Ia tegas dalam amar ma'ruf nahi mungkar. Tak segan-segan ia menasehati dan membubarkan orang-orang yang melakukan kemaksiatan di daerahnya, misalnya minum-minuman keras.

Jika sudah memiliki sebuah niat, ia akan bertekad akan mewujudkannya. Hingga ia terkesan sebagai orang yang keras. Hamzah juga orang yang sangat mudah menerima kebenaran. Nasehat-nasehat yang lurus dan benar akan mudah untuk diikutinya. Teman-temannya sangat menghormati Hamzah.

Di kampusnya, Hamzah menjadi pelopor dalam kegiatan dakwah. Sebelumnya, kampus kecilnya kering dari aktivitas menimba ilmu agama dan dakwah. Ia membuat kelompok kajian dan dakwah dengan beberapa temannya.

Mulailah kampus tempatnya belajar tercelup cahaya Ilahiah. Rintisan dakwahnya mulai berkembang. Di kampusnya ia menjadi sosok yang terkenal sebagai seorang dai.

Di sinilah dimulai kisah cinta itu.
Adalah seorang gadis yang bersahaja, dengan pakaian simpel dan jilbab kecil menutup rambutnya. Ia adalah gadis yang belum teracuni oleh gaya hidup hedonisme. Sebut saja namanya Zahra (bukan nama sebenarnya).

Dalam masalah agama, ia termasuk awam karena minimnya didikan agama dalam keluarganya. Yang menjadi sifat baiknya ialah ia mudah menerima nasehat-nasehat khususnya dalam hal agama.

Sosok tegas Hamzah pun menjadi perhatian Zahra. Ia mulai aktif mengikuti kajian yang diadakan Hamzah. Kajian-kajian ringan agar teman-temannya tidak meninggalkan ajaran agama.

Dari kajian itu, Zahra mulai mengenal ajaran agama lebih banyak. Ia berusaha memperbaiki sifat dan sikapnya. Nasehat-nasehat Hamzah dalam kajian, selalu dicobanya untuk dipahami dan dipraktekkan. Zahra sangat tertarik mempelajari agama. Terkadang ia bertanya kepada Hamzah hal-hal yang tak diketahuinya.

Lalu, sebagaimana datangnya angin sore yang lembut dan tak terasa, benih-benih perasaan itu pun muncul. Zahra tidak menyengaja untuk menumbuhkannya. Ia hanya merasainya, menikmatinya, dan bertanya-tanya tentang hal itu. Apakah yang aku rasakan?

Bagi sebagian besar wanita, Hamzah adalah lelaki yang kaku dan terlihat tidak keren. Tapi bagi Zahra, lain dalam pandangan dan hatinya. Hamzah adalah lelaki yang baik.

Ia pun memendam benih itu dalam-dalam. Takut akan muncul dan terlihat oleh orang lain, apalagi terlihat oleh Hamzah. Ia takut, Hamzah akan membencinya. Ia tahu, Hamzah adalah lelaki saleh yang tak kan mau berurusan dengan perasaan wanita.

Adapun dengan perasaan Hamzah, ia memandang Zahra dengan pandangan yang biasa saja. Jikapun ada yang menarik dari gadis bersaja ini ialah sifat pemalunya. Zahra memang pemalu. Sifat pemalu tersebut membuat Zahra menjadi gadis yang mudah menuruti apa yang dinasehatkan oleh Hamzah. Saat ini Zahra sudah memakai kerudung lebar yang syar’i. Tak sia-sia aku memberinya nasehat, batin Hamzah.

Hamzah menjalani masa kuliah sambil terus bekerja paruh waktu. Aktivitasnya padat; kuliah, bekerja, mengaji. Hamzah mesti lebih giat bekerja karena kebutuhan kuliahnya semakin meningkat.

Beberapa kali ia harus meminjam uang kepada temannya untuk menutupi biaya kuliahnya. Namun, ia tetap yakin bahwa ia akan bisa menyelesaikan kuliahnya dengan baik. Sedangkan Zahra, selain disibukkan oleh kuliahnya, hatinya disibukkan oleh bayangan lelaki yang tegas dan baik itu. Hati Zahra dibakar oleh perasaan kagumnya. Berdebar hatinya kala berjumpa dengan Hamzah. Inikah cinta?

Masa kuliah diselesaikan dengan baik oleh Hamzah. Begitu juga Zahra. Kelulusan yang mestinya disambut dengan bahagia, mengukirkan duka dalam hati Hamzah. Ia tak akan bertemu Hamzah lagi.

Kata orang, perasaan cinta tak dapat disembunyikan. Cahayanya akan selalu memancar, dan aroma wanginya akan tercium. Hamzah mengetahui bahwa Zahra menyukai dirinya. Gerak tingkah Zahra memperlihatkan hal itu. Namun, Hamzah berusaha untuk tidak menanggapinya, takut terjerumus dosa.

Apa kriteria calon istri menurutmu? Tanya seorang teman kepada Hamzah.
“Wanita yang pemalu,” jawabnya.
“Mengapa?”
“Karena wanita yang pemalu lebih mudah untuk dibimbing.”

Wanita pemalu lebih mudah untuk dibimbing, begitulah keyakinan Hamzah. Lalu ia pun teringat dengan wanita pemalu di kampusnya dahulu, Zahra. Sedang apa kiranya ia sekarang?

Zahra ditimpa kebimbangan. Hatinya dibakar rindu. Sesekali dikirimnya pesan singkat kepada Hamzah untuk menanyakan masalah agama atau materi kuliah yang dulu belum dipahaminya. Hal itu sedikit mengobati rindunya.

Hamzah, setelah kuliah tak segera mendapat pekerjaan sesuai kualifikasinya. Ia masih bekerja paruh waktu di perusahaannya dahulu. Saat mendapatkan sebuah pekerjaan, ia hanya bertahan beberapa minggu saja karena ia tak tahan dengan tekanan pekerjaan dan terkekangnya waktu.

Kemudian ia mendirikan sebuah usaha kecil-kecilan dengan modal pinjaman. Ia harus bekerja keras agar bisa mandiri. Selama beberapa waktu, usahanya tidak berjalan dengan lancar. Ia merasa tertekan dengan tuntutan ekonominya. Orang tuanya sudah tua. Ia ingin orang tuanya segera beristirahat dari pekerjaan. Namun untuk hal itu, ia haruslah bisa mandiri dan menghidupi orang tuanya.

Semakin lama usahanya semakin menurun. Lantas karena tak menghasilkan profit yang berarti, ditutupnya usaha tersebut. Hamzah bimbang. Himpitan ekonomi semakin menyesakkan dadanya.

Di usianya yang sekarang, semestinya ia sudah menikah dan mandiri. Sebenarnya ia pun sudah berencana akan menikah. Ketika memikirkan pernikahan, pikiran Hamzah terbayang wanita pemalu itu, Zahra. Ah, aneh, mengapa ia yang terbayang, batin Hamzah.

Impian pernikahannya tak mungkin terwujud sebelum ia bisa mandiri. Sedangkan, kini ia menganggur, tak punya penghasilan yang berarti. Meskipun ia masih bekerja paruh waktu pada perusahaannya dahulu, penghasilannya masih pas-pasan.

Dalam keadaan seperti, Zahra masih kadang mengirim pesan singkat. Hamzah semakin bimbang. Ia tak ingin larut memberikan harapan kepada Zahra. Ia pun tak mau sering-sering berkomunikasi dengan Zahra meskipun hanya komunikasi tanya jawab masalah agama.

Ia harus mengambil keputusan. Ia tak mau semakin lama bermimpi. Ia tak mau Zahra semakin memupuk harapan. Ia mengambil keputusan.

“Jika ada laki-laki yang baik datang melamar, terimalah.” Itu isi pesan singkat Hamzah kepada Zahra. Nasehat yang biasa saja, namun sebenarnya isinya menusuk hati Zahra.

Zahra paham apa maksud pesan tersebut. Hamzah ingin ia pergi dari hidupnya. Hatinya menangis. Gadis yang bersahaja itu terluka. Harapannya bertahun-tahun punah. Benih yang dahulu disimpannya dalam-dalam telah layu.

Air mata membasahi pipi gadis pemalu itu. Pilu dan sendu senantiasa menaungi hari-hari Zahra. Hanya kepada Allah-lah diutarakan kesedihannya. Dihaturkannya doa-doa ke atas langit dengan penuh ketulusan.

Hamzah, lelaki yang teguh pendirian itu kini sedang goyah. Himpitan ekonomi menyesakkan dadanya. Ditambah keputusannya untuk melepaskan Zahra. Zahra, gadis yang diam-diam diidamkannya.

Hamzah mengadu kepada Allah. Apa yang harus ia lakukan. Ia berharap jalan keluar segera datang.

Jika ada hati yang seteguh karang, itulah hatinya Hamzah. Ia lelaki yang yakin bahwa Allah tidak akan menelantarkan hamba-Nya. Ia yakin, bersama kesulitan ada kemudahan.

Hamzah selalu yakin dengan janji-janji Allah yang termaktub dalam kitab-Nya dan tersampaikan oleh Rasul-Nya. Salah satu janji-Nya ialah orang yang bertakwa akan dicukupkan kebutuhannya oleh Allah. Hamzah pun bersandar hanya kepada Dzat Yang Maha Pemberi Rezeki.

Hatinya menjadi lebih tenang. Jiwanya tenteram. Sesak hatinya oleh himpitan ekonomi yang telah menimpanya sedikit-demi sedikit terurai.

Mantaplah hati Hamzah. Ia kembali menjadi pribadi yang kukuh dan penuh percaya diri. Maka, meskipun ia memiliki penghasilan yang pas-pasan, dibulatkan tekadnya untuk segera menikah. Ia yakin bahwa orang yang menikah takkan ditelantarkan oleh Allah. Rezeki di tangan Allah.

Tanpa banyak basa-basi, dikiriminya sebuah pesan singkat kepada Zahra. Ia ingin menemui orang tua Zahra untuk melamarnya.

Hati Zahra bersorak. Bagai kering yang tersiram air hujan, tumbuhlah kembali bunga-bunga cinta dalam hatinya. Inilah jawaban doa-doanya.

Beberapa hari kemudian Hamzah datang ke rumah Zahra. Ia harus berputar-putar mencari rumah Zahra hingga dua jam karena belum mengetahui lokasinya. Dengan sedikit tersesat, Hamzah akhirnya tiba di rumah Zahra.

Hamzah, dengah penuh percaya diri, mengutarakan maksud kedatanganya. Zahra, gadis pemalu itu tertunduk semakin malu.

Ia adalah Hamzah, yang keyakinannya sekukuh karang.
Ia adalah Hamzah, yang yakin atas kuasa Allah, yang mengendalikan jodoh dan rezeki manusia.

Dilangsungkanlah pernikahan dengan penuh kesederhanaan. Mulai saat itu, Hamzah dan Zahra bersama-sama meniti hidup, melewati setiap rintangan dengan kasih sayang dan cinta.

Saat ini Hamzah dan Zahra dikaruniai seorang anak yang lucu, saat ini mereka sedang membangun rumah baru untuk tempat tinggalnya.

***
Berdasarkan kisah nyata.
Ditulis oleh
Sukrisno Santoso, pada malam yang dingin, 29 Juli 2014, di kota Sukoharjo.


Lelaki yang Setia Mencari


Menikah. Betapa indahnya sunnah Rasul yang satu ini. Bukanlah umat Nabi, jika enggan menikah. Menikah, menyatukan dua hati yang dirudung rindu. Mengikat dua insan yang mendamba bahagia.

Seorang muslim pasti mendambakan pasangan yang baik; yang saleh atau salehah. Segala cara ditempuh agar mendapatkan jodoh penenteram hati.

Kisah ini adalah kisah seorang laki-laki yang tetap setia mencari. Ia tidak berpangku tangan dalam penantian. Ia mengejar bidadarinya.

Di sebuah kampus terkenal, seorang wanita berdiri dengan anggun. Sebut saja namanya Dewi (bukan nama sebenarnya).Corak dan warna pakaiannya yang kalem serta dipadu dengan kerudung besarnya membuat ia seakan bidadari yang turun dari surga.

Dewi adalah seorang mahasiswi yang berasal dari luar kota. Pembawaanya tenang. Lembut tutur katanya, dan senyum yang menghias wajah cerahnya menandakan ia seorang pribadi yang ramah. Dewi adalah seorang mahasiswi yang cerdas. Nilai akademiknya bagus. Ia pun aktif di organisasi. Ia seorang aktivis muslimah.

Banyak laki-laki yang tertarik pada Dewi. Dan mereka yang mengungkapkan ketertarikannya harus menanggung kecewa karena Dewi bukanlah wanita yang mau menjalani hubungan yang tak halal. Ia akan menyerahkan hati dan raganya hanya kepada lelaki yang menjadi suaminya.

Salah seorang laki-laki yang tertarik kepada Dewi ialah adik tingkatnya sendiri. Sebut saja namanya Gilang (bukan nama sebenarnya). Dewi dan Gilang aktif dalam organisasi yang sama.

Kecantikan, kecerdasan, dan kesalehahan Dewi membuat Gilang jatuh hati. Namun, Gilang bukan lelaki yang mudah mengungkapkan perasaannya. Ia pun sadar bahwa wanita sebaik Dewi tentu banyak yang menginginkannya.

Semakin lama persahabatan Dewi dengan Gilang, semakin dalam perasaan Gilang kepada wanita yang memesona itu. Gilang pun bertekad akan mengutarakan niatnya untuk menyunting Dewi.

Manusia hanyalah bisa berencana, Tuhanlah yang menentukan. Sebuah kabar tak terduga menyambar hati Gilang.
Dewi, wanita yang anggun dan memesona itu sudah dikhitbah oleh orang lain. Dan undangan pernikahan pun sudah tersiar.

Gilang memang kecewa. Namun, ia tak mengeluh atau meratap. Ia yakin Tuhan sudah menetapkan jodoh bagi setiap hamba-Nya.
Gilang berusaha berdamai dengan hatinya. Dia bukan jodohku, kata Gilang. Namun, Gilang penasaran siapakah lelaki yang beruntung mendapatkan Dewi.

Gilang bertanya kepada teman-temannya siapakah calon suami Dewi. Dari keterangan yang ia peroleh, Gilang mengetahui bahwa calon suami Dewi adalah lelaki yang baik, saleh, dan sudah mandiri.

Hati Gilang pun menjadi tenang. Ia teringat sebuah ayat yang menyebutkan bahwa laki-laki yang baik untuk wanita yang baik. Gilang pun kemudian mengetahui bagaimana kisah lelaki tersebut bisa mendapatkan Dewi. Hingga Gilang pun menyebutnya sebagai lelaki yang setia mencari.

Lelaki
yang setia mencari itu bernama Fariz (bukan nama sebenarnya). Berasal dari kota yang sama dengan Dewi. Kisah Fariz dan Dewi dimulai saat masa putih abu-abu. Fariz dan Dewi aktif di organisasi kerohanian di sekolahnya. Fariz adalah kakak kelas Dewi.

Fariz adalah pemuda yang baik, santun, dan saleh. Ia seorang muslim yang pemberani; berani dalam menyuarakan kebenaran dan dakwah kepada Allah.
Banyaklah siswi sekolahnya yang jatuh hati pada Fariz. Namun, Fariz tiada menggubris masalah seperti itu. Ia menjadi teladan dalam kepandaian dan kesalehan.

Dewi sudah aktif di organisasi sejak SMA. Di situlah Fariz mengenal Dewi dengan segala kelebihannya. Kecantikannya, ketegasannya, kebaikannya, kesalehahannya, dan semangat dakwahnya.

Secara diam-diam hati Fariz tercuri. Perlahan-lahan tumbuh benih-benih cinta dalam hatinya. Namun, ia sadar bahwa belum waktunya ia mengungkapkan perasaan.
Fariz dan Dewi masih SMA. Masa depan masih terbentang panjang.

Fariz pun bertekad untuk memendam perasaannya. Ia berjanji pada dirinya sendiri, suatu hari nanti akan meminang Dewi. Iya, suatu hari nanti.

Akan halnya dengan Dewi, siapa yang tahu perasaan seorang wanita. Adakah perasaan yang sama hadir di dalam hati Dewi sebagimana dirasakan oleh Fariz? Dewi adalah wanita yang pandai menjaga kehormatan diri dan senantiasa menjaga pandangan.

Masa SMA pun terlewati. Fariz dan Dewi berpisah. Keduanya kuliah di kota yang berbeda; berjarak ratusan kilometer.

Sejak saat itu, mereka tidak berkomunikasi. Mereka menjalani kehidupan masing-masing. Keduanya disibukkan dengan aktivitas perkuliahan dan dakwah di kampus mereka.

Beberapa tahun berpisah, tidaklah menggugurkan perasaan Fariz kepada Dewi. Tiada bersua atau sekadar berkomunikasi, tak membuat Fariz melupakan Dewi. Ia selalu memegang janjinya kepada diri sendiri dahulu bahwa ia akan menyunting Dewi suatu hari nanti.

Setelah lulus kuliah, Fariz mendapatkan pekerjaan yang layak. Ia berusaha untuk hidup mandiri. Ia sadar bahwa seorang laki-laki haruslah berpijak di atas kakinya sendiri. Lebih-lebih jika ingin menyunting seorang wanita, ia harus sudah mandiri.

Saat itu Dewi masih kuliah semester akhir. Fariz, yang telah menabur benih cinta sejak SMA, sudah memantapkan hati untuk menyunting Dewi. Yang menjadi masalah ialah, mereka sudah lama tidak bertemu dan tidak berkomunikasi.

Segala puji bagi Allah, Fariz dan Dewi aktif dalam barisan dakwah. Melalui sarana dakwah, Fariz bisa mendapatkan kabar tentang Dewi. Fariz mengikuti kajian rutin seminggu sekali, yang sering disebut halaqah atau liqa. Kajian itu dibimbing oleh seorang ustadz yang biasa disebut sebagai murabbi. Begitu juga dengan Dewi. Meski berada di kota yang berbeda, keduanya ditakdirkan untuk kembali bersua.

Bagaimanakah cara Fariz menghubungi Dewi? Awalnya ia mengutarakan niatnya untuk menyunting Dewi kepaa ustadznya. Fariz menyebutkan ciri-ciri Dewi, asal kota, dan tempat kuliah.

Dari situ, sang ustadz berhasil menelusuri keberadaan Dewi melalui guru ngajinya. Ustadz dari Fariz kemudian menghubungi ustadzah dari Dewi. Lalu, tersampaikanla niat Fariz untuk menyunting Dewi.

Fariz tidak ingin langsung mengutarakan niatnya kepada Dewi. Melalui ustadznya, Faris menyodorkan biodata dirinya secara lengkap. Biodata tersebut kemudian diberikan kepada ustadzahnya Dewi.

Lalu, kepada Dewi, disampaikanlah oleh ustadzahnya bahwa ada seorang lelaki yan ingin ta’aruf dengannya. Dewi tidak mengetahui bahwa yang ingin ta’aruf ialah Fariz. Ia tidak mempunyai bayangan siapa yang akan ta’aruf dengannya.

Diberikanlah biodata Fariz kepada Dewi. Lalu, seakan hatinya mendengar suara petir di siang hari, Dewi tersentak saat mengetahui bahwa biodata tersebut adalah biodata Fariz. Kakak kelasnya dahulu saat SMA, lelaki saleh yang banyak dikagumi oleh wanita.

Berbungalah hati Dewi. Ia tahu, Fariz adalah lelaki yang baik dan pantas menjadi imam baginya. Apalagi, Fariz masih mengingatnya meskipun sudah lama berpisah. Perjuangan Fariz untuk bisa ta’aruf dengannya membuktikan bahwa Fariz adalah laki-laki yang pantang menyerah. Dan setia.

Jika datang laki-laki yang baik untuk melamar, maka tak ada alasan untuk menolak. Karena penolakan terhadap lamaran laki-laki saleh akan berujung musibah dan penyesalan. Sebaliknya, penerimaan terhadapnya merupakan sebuah usaha untuk menggapai ridha Allah.

Singkat cerita, Fariz dan Dewi pun berta’aruf, kemudian terjadi proses khitbah. Dan mereka pun mengambil mitsaqan ghalizan (perjanjian yang kuat), yaitu janji pernikahan; untuk sama-sama mengarungi kehidupan dalam rangka menggapai ridha Allah.

Fariz dan Dewi tidak hanya memperjuangkan kebahagiaan dalam kebersamaan di dunia, tapi juga kebahagiaan dalam kebersamaan di akhirat.


Walhamdulillahirabbil 'alamin.

***
Berdasarkan kisah nyata.
Ditulis oleh Sukrisno Santoso, pada sepertiga malam terakhir, 25 Juli 2014, di kota Sukoharjo.

Pilihan Allah adalah yang Terbaik


"Demi Allah, saya tidak ada rasa cinta."

Kata-kata tersebut merupakan ungkapan jujur seorang suami pada masa awal pernikahannya.

Kisahnya berawal dari seorang ikhwan, sebut saja namanya Said (bukan nama sebenarnya). Ia adalah seorang ikhwan yang terdidik agamanya dengan baik.
Said adalah lulusan magister dari universitas negeri yang ternama. Ia sudah mendapatkan pekerjaan sebagai seorang guru, sesuai dengan kualifikasi pendidikannya.

Di usianya yang sudah menginjak 28 tahun, keinginannya untuk membangun rumah tangga mulai menggebu. Satu-satunya cara yang ia tahu untuk menjemput jodohnya ialah dengan meminta bantuan guru mengajinya (murabbi).

Said pun dipertemukan dengan seorang akhwat. Setelah proses ta'aruf, Allah pun berkehendak untuk tidak menjodohkan keduanya.

Tawaran akhwat lain pun datang dari murabbi-nya. Namun, ta'aruf pun berakhir sebagaimana proses dengan akhwat yang pertama. Tawaran lain menyusul datang, dan berakhir tiada beda.

Setelah tidak berhasil dalam proses ta'aruf dengan beberapa akhwat, Said tiada jera dalam menjemput jodohnya. Ia yakin bahwa Allah sudah menuliskan nama seseorang untuk mengisi hatinya.

Said merasakan bahwa proses menjemput jodohnya akan segera berhasil tatkala murabbi-nya menawarkan seorang akhwat yang menarik hatinya. Said sangat tertarik dengan akhwat tersebut bukan karena keindahan paras wajahnya, namun karena keindahan hatinya. Akhwat yang shalihah, cerdas, dan mandiri. Sebut saja namanya Rina (bukan nama sebenarnya).

Proses ta'aruf berjalan lancar. Perkenalan dengan orang tua juga tiada terhambat. Khitbah pun dilaksanakan. Tanggal akad nikah ditentukan.

Dalam masa penantian menuju hari-H, hati Said senantiasa berbunga-bunga. Dialah jodohku, batin Said. Sedikit demi sedikit dalam hatinya tumbuh harapan-harapan kebahagiaan. Pernikahan yang ia idamkan akan segera terlaksana. Inilah masa yang ditunggu-tunggunya.

Siang dan malam bergulir. Orang tua Said merasa bahagia akan mendapatkan seorang menantu. Apalagi orang tuanya juga cocok dengan Rina, calon istrinya.

Tanggal yang ditentukan semakin dekat. Akan tetapi, benarlah kata-kata bijak, manusia boleh membuat rencana, Allah-lah yang menentukan. Salah satu "kekurangan" Rina ialah ia mempunyai penyakit yang tidak ringan. Penyakit tersebut berpotensi akan diturunkan pada anak keturunannya.

Hati Said sempat goyah. Namun kemudian ia kembali teguh. Ia paham betul bahwa segala penyakit merupakan ujian dari Allah. Dan kesembuhan dari segala penyakit hanya berasal dari Allah. Said pun tetap menerima Rina.

Namun, kali ini orang tua Said berbeda pandangan dengannya. Sebagai orang tua, mereka menginginkan "jaminan" akan keturunan yang baik. Mereka memikirkan keturunan mereka selanjutnya.

Badai menyapu benih-benih kebahagiaan dalam hati Said. Ia tak bisa mengacuhkan pandangan orang tuanya. Ia mesti setuju dengan orang tuanya meski hatinya berseberangan.

Rencana pernikahan telah gagal. Kapal yang hendak berlayar, patah tiang sebelum menyentuh lautan. Awan mendung menaungi hari-hari Said. Hati Rina tak jauh berbeda. Duka lara ia kecap setelah sebelumnya hatinya melayang oleh impian pernikahan. Namun, ia pasrah pada takdir yang tiada bisa terelakkan.

Said memendam kecewa dalam hatinya. Dicobanya menghapus bayangan Rina. Berharap luka hatinya segera terobati.

Selama beberapa waktu Said masih belum bisa menghapus jejak Rina. Lalu, ia kembali berikhtiar. Ia paham bahwa pencarian jodohnya harus tetap berlanjut.

Tawaran seorang akhwat dari murabbi-nya datang lagi. Kali ini hanya biodata si akhwat, tanpa adanya foto.

Said sudah memasrahkan jodohnya di tangan Allah. Ia pun juga tsiqah (percaya) kepada murabbi-nya bahwa akhwat yang ditawarkan kepadanya pastilah akhwat yang shalihah.

Maka, dengan keyakinan hati, tanpa mengetahui wajah si akhwat, Said setuju untuk proses ta'aruf dengannya. Si akhwat, sebut saja namanya Putri (bukan nama sebenarnya), juga setuju untuk ta'aruf.

Said berdoa agar Allah memperlancar dan mempermudah urusannya.

Pada hari yang ditentukan, Said datang ke rumah orang tua Putri ditemani oleh murabbinya. Dalam proses ta'aruf, Said dan Putri melakukan tanya jawab tentang visi misi pernikahan.

Selama proses ta'aruf itu, Putri senantiasa menundukkan pandangan. Said pun tidak mencoba mencuri pandang karena yang ia cari bukanlah keelokan wajah, tetapi keshalihan pribadi. Proses ta'aruf berlanjut pada khitbah. Tanggal pernikahan ditentukan.

Pada hari-H, semua orang bersuka cita. Inilah pertemuan dua insan atas dasar cinta kepada Allah.

Akad nikah dan walimahan berjalan lancar. Akan tetapi, hati Said merasa ada yang kurang. Seolah-olah secuil hatinya ada yang hilang.

Ia kemudian sadar bahwa secuil hatinya itu telah diberikannya kepada akhwat lain, yaitu Rina, mantan calon istrinya dahulu.

Pesta walimahan yang meriah tak mampu mengembalikan hatinya secara utuh. Di hari itu pun terjadi sedikit insiden, yaitu ketika ibunya memanggil istri Said -Putri- dengan panggilan "Rina". Ibunya Said silap lidah karena memang hubungannya dengan Rina sudah dekat sehingga saat hendak memanggil Putri, yang keluar dari lidahnya justru kata Rina. Untung saja Putri tidak mengenal Rina, begitu kata Said dalam hati.

Pada hari-hari selanjutnya, Said dan Putri hidup berumah tangga dengan rukun karena keduanya paham nilai-nilai agama. Namun, Said merasakan bahwa tidak ada perasaan cinta di dalam hatinya untuk istrinya. Hatinya memang masih belum utuh.

Hari berganti minggu, minggu berganti bulan. Sebagaimana kata orang bijak, waktu adalah penyembuh luka hati yang paling mujarab, luka hati Said pun sembuh. Hatinya sudah utuh. Bayangan Rina mulai pudar. Ia akan menempuh bahtera rumah tangga bersama Putri dengan sepenuh hati.

Bagaimana dengan Rina? Rina pun akhirnya menikah dengan seorang ikhwan. Jalan bahagia ditempuh masing-masing.

Ada ungkapan jawa, witing tresna jalaran saka kulina, 'adanya cinta karena terbiasa'. Said mulai bisa mencintai istrinya. Benih-benih cinta dan kasih sayang menghiasi rumah tangganya.

Bahagia senantiasa dirasakan Said bersama istrinya. Tiada hari tanpa kasih dan cinta di dalam rumahnya.

Said bersyukur kepada Allah yang telah menghantarkan Putri sebagai istrinya. Didapatinya Putri ialah istri yang shalihah, cerdas, penyabar, tegar, dan bisa mendidik anak dengan baik.

Saat ini Said dan Putri sudah dikaruniai tiga anak. Mereka menjadi keluarga sakinah, mawaddah, wa rahmah.

Walhamdulillahirabbil 'alamin.

***
Berdasarkan kisah nyata.
Ditulis oleh
Sukrisno Santoso, pada sepertiga malam terakhir, 22 Juli 2014, di kota Sukoharjo.

PROMO BUKU

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More