Risalah ini aku sampaikan atas dasar rasa cinta kepada Anda. Rasa cinta yang telah Allah anugerahkan kepadaku dan kepada Anda, rasa cinta atas dasar keimanan dalam ikatan dinul Islam. Rasa cinta dalam persaudaraan muslim. Sesungguhnya kita termasuk orang-orang yang merugi bila kita tidak mau beramal shalih dan saling menasehati dalam menaati kebenaran dan menetapi kesabaran. Marilah kita senantiasa membiasakan diri untuk saling menasehati.
Ghibah, Petaka Lisan
Allah berfirman, yang terjemahannya,
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa, dan jangan kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” (Qs. Al-Hujurat: 12)
Abu Musa Al-Ash’ari meriwayatkan: Saya berkata, “Ya Rasulullah, manakah Muslim yang terbaik?” Beliau bersabda: “Barangsiapa yang orang-orang Muslim selamat dari lidah dan tangannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Saudaraku,
Ketika kita berbuat dosa dan kita menyadari perbuatan kita tersebut, maka akan lebih mudah bagi kita untuk bertaubat. Akan tetapi wahai saudaraku, apabila kita berbuat dosa sedangkan kita tidak menyadari bahwa kita telah melakukan sebuah dosa, maka akan sulit bagi kita untuk bertaubat. Bagaimana kita akan bertaubat sedangkan kita merasa tidak melakukan dosa.
Sering kita berbuat dosa tanpa sadar. Terutama perbuatan dosa yang diakibatkan oleh lisan kita. Rasulullah senantiasa mewanti-wanti agar kita menjaga lisan.
Dari Abu Hurairah, sesungguhnya Rasulullah pernah bersabda: “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka hendaklah ia berkata baik atau diam. Dan barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka hendaklah ia memuliakan tetangganya. Dan barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat hendaklah ia memuliakan tamunya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Imam Nawawi dalam kitabnya Al-Adzkar berkata, “Hadits ini, yang telah disepakati keshahihannya, adalah sebuah dalil yang jelas bahwa seseorang tidak boleh berbicara, kecuali pembicaraannya baik, dan bahwa pembicaraan tersebut mengandung hal yang bermanfaat. Maka jika seseorang ragu-ragu apakah suatu pembicaraan mengandung manfaat atau tidak, maka janganlah berbicara.
Dalam Syarah Shahih Muslim, Imam Nawawi berkata, “hendaklah ia berkata baik atau diam, maksud dari kalimat ini adalah bahwa hendaklah seseorang baru memutuskan untuk berbicara ketika perkataan yang akan dia ucapkan itu benar-benar mengandung kebaikan dan bisa mendatangkan pahala, baik yang sifatnya wajib maupun sunnah. Namun apabila perkataan yang akan dia sampaikan itu tidak mengandung kebaikan dan tidak bisa mendatangkan pahala, maka hendaklah dia lebih memilih untuk menahan perkataannya tersebut, baik apakah dia mengetahui kalau perkataan tersebut hukumnya haram, makruh, atau mubah.”
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa, dan jangan kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” (Qs. Al-Hujurat: 12)
Abu Musa Al-Ash’ari meriwayatkan: Saya berkata, “Ya Rasulullah, manakah Muslim yang terbaik?” Beliau bersabda: “Barangsiapa yang orang-orang Muslim selamat dari lidah dan tangannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Saudaraku,
Ketika kita berbuat dosa dan kita menyadari perbuatan kita tersebut, maka akan lebih mudah bagi kita untuk bertaubat. Akan tetapi wahai saudaraku, apabila kita berbuat dosa sedangkan kita tidak menyadari bahwa kita telah melakukan sebuah dosa, maka akan sulit bagi kita untuk bertaubat. Bagaimana kita akan bertaubat sedangkan kita merasa tidak melakukan dosa.
Sering kita berbuat dosa tanpa sadar. Terutama perbuatan dosa yang diakibatkan oleh lisan kita. Rasulullah senantiasa mewanti-wanti agar kita menjaga lisan.
Dari Abu Hurairah, sesungguhnya Rasulullah pernah bersabda: “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka hendaklah ia berkata baik atau diam. Dan barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka hendaklah ia memuliakan tetangganya. Dan barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat hendaklah ia memuliakan tamunya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Imam Nawawi dalam kitabnya Al-Adzkar berkata, “Hadits ini, yang telah disepakati keshahihannya, adalah sebuah dalil yang jelas bahwa seseorang tidak boleh berbicara, kecuali pembicaraannya baik, dan bahwa pembicaraan tersebut mengandung hal yang bermanfaat. Maka jika seseorang ragu-ragu apakah suatu pembicaraan mengandung manfaat atau tidak, maka janganlah berbicara.
Dalam Syarah Shahih Muslim, Imam Nawawi berkata, “hendaklah ia berkata baik atau diam, maksud dari kalimat ini adalah bahwa hendaklah seseorang baru memutuskan untuk berbicara ketika perkataan yang akan dia ucapkan itu benar-benar mengandung kebaikan dan bisa mendatangkan pahala, baik yang sifatnya wajib maupun sunnah. Namun apabila perkataan yang akan dia sampaikan itu tidak mengandung kebaikan dan tidak bisa mendatangkan pahala, maka hendaklah dia lebih memilih untuk menahan perkataannya tersebut, baik apakah dia mengetahui kalau perkataan tersebut hukumnya haram, makruh, atau mubah.”
Selanjutnya beliau berkata, “Ajaran syari’at telah menganjurkan seseorang untuk tidak banyak melontarkan perkataan yang sifatnya mubah agar dia tidak terjerumus kepada perkataan-perkataan yang sifatnya haram maupun makruh. Imam Asy-Syafi’i telah memeras intisari dari redaksi hadits Rasulullah tersebut, sehingga beliau pun berkata, ‘Jika seseorang hendak berbicara, maka hendaklah dipikirkan terlebih dahulu. Jika dipertimbangkan perkataannya tidak menyebabkan kemadharatan, maka boleh dia ucapkan. Akan tetapi jika bisa mengakibatkan madharat atau dia ragu apakah akan menimbulkan madharat atau tidak, maka lebih baik dia menahan ucapannya.’”
Al-Qur’an surat Al-Hujurat ayat 12 di atas seharusnya sudah menjadi peringatan bagi kita agar kita berhati-hati berkaitan dengan lisan kita. Sering kita menceritakan kejelekan orang lain. Kita tidak sadar bahwa kita sudah melakukan ghibah. Sedangkan ghibah termasuk dosa besar.
Apakah Ghibah Itu?
Imam Nawawi menjelaskan: “Ghibah adalah ketika engkau menyebutkan sesuatu tentang seseorang yang dia benci, apakah itu tentang tubuhnya, agamanya, kehidupan dunianya, dirinya, penampilan fisiknya, karakternya, kekayaannya, anaknya, ayahnya, istrinya, pembantunya, budaknya, sorbannya, pakaiannya, caranya berjalan, senyumnya, kegeramannya, kernyitannya, kegembiraannya, atau hal-hal lain yang berhubungan dengan di atas. Demikian juga, sama saja apakah engkau menyebutkan sesuatu mengenainya dengan kata-kata, tulisan, atau menunjukkannya dengan isyarat mata, tangan atau kepala.”
Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah suatu kali berkata (kepada para sahabatnya): “Tahukah kamu apakah ghibah itu?” Sahabat menjawab: “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.” Beliau bersabda: “Kamu menyebut-nyebut saudaramu dengan sesuatu yang dia benci.” Beliau ditanya: “Bagaimana kalau memang saudaraku melakukan apa yang kukatakan?” Beliau menjawab: “Kalau memang dia melakukan seperti apa yang kamu katakan berarti kamu telah menghibahinya. Sebaliknya jika dia tidak melakukan apa yang kamu katakan, maka kamu telah memfitnahnya.” (HR. Muslim)
Jadi, ketika engkau menceritakan keburukan orang lain, maka engkau telah melakukan ghibah, meskipun yang engkau ceritakan itu benar. Jika yang engkau ceritakan itu tidak benar, maka engkau telah melakukan fitnah. Orang yang memiliki keburukan –keburukan lahir maupun batin– kita tidak berhak untuk mencelanya.
Beberapa orang yang sering menjadi pembicaraan terkait kejelekannya adalah: para ulama, para pemimpin, para pelaku maksiat, sahabat, tetangga, bahkan hampir semua orang bisa menjadi sasaran ghibah.
Seorang ulama yang diakui keilmuannya dan ketaqwaannya pun tidak luput dari kesalahan karena ia tidak maksum. Maka menjelek-jelekkan ulama adalah perbuatan orang-orang bodoh yang tidak takut kepada Allah. Ibnu Asakir mengatakan bahwa daging para ulama itu beracun. Maka, janganlah engkau memakannya. Janganlah engkau jatuhkan kehormatan ulama.
Seorang pemimpin adalah orang yang mempunyai beban amanah yang berat yang tidak semua orang mampu memikulnya. Maka wajar jika ada beberapa amanah yang dipandang orang lain tidak dapat dikerjakan oleh seorang pemimpin. Maka, janganlah kita mengungkit-ungkit kelemahannya. Para ulama salaf senantiasa menjauhi para pemimpin. Jika para ulama ingin menasehati pemimpin, maka mereka akan menasehatinya ketika pemimpin tersebut dalam keadaan sendiri.
Saudaraku,
Para pelaku maksiat yang perbuatannya tercela di hadapan Allah juga tidak sepantasnya kita menjelek-jelekkannya. Kita mestinya merasa kasihan kepada para pelaku maksiat tersebut. Kita dekati, kita nasehati, dan semoga Allah memberinya hidayah. Seorang ulama salaf ahli nasehat yang terkenal, Yahya bin Mu’adz Ar-Razi mengatakan: “Orang bodoh melihat dosa sebagai kesalahan. Oleh karena itu, ia memandang pelakunya dengan sikap kasar. Adapun orang arif mengenal kedudukan dosa itu dari yang bersangkutan. Oleh karena itu, ia memandangnya dengan sikap kasihan kepadanya.”
Wahai Saudaraku, Jagalah Lisanmu!
Mu’adz bin Jabal meriwayatkan: Aku berkata: “Ya Rasulullah, beritahukanlah kepadaku suatu amal yang dapat memasukkan aku ke dalam surga dan menjauhkan aku dari neraka". Beliau bersabda: "Engkau telah bertanya tentang perkara yang besar, dan sesungguhnya itu adalah mudah bagi orang yang dimudahkan oleh Allah ta'ala. Engkau menyembah Allah dan jangan menyekutukan sesuatu dengan-Nya, mengerjakan shalat mengeluarkan zakat, berpuasa pada bulan Ramadhan, dan mengerjakan haji ke Baitullah".
Kemudian beliau bersabda : "Inginkah kuberi petunjuk kepadamu pintu-pintu kebaikan? Puasa itu adalah perisai, shadaqah itu menghapuskan kesalahan sebagaimana air memadamkan api, dan shalat seseorang di tengah malam". Kemudian beliau membaca ayat:
“Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya dan mereka selalu berdo'a kepada Rabbnya dengan penuh rasa takut dan harap, serta mereka menafkahkan apa apa rezki yang Kami berikan.” (QS As-Sajdah [32] : 16)
Kemudian beliau bersabda: "Maukah bila aku beritahukan kepadamu pokok amal tiang-tiangnya dan puncak-puncaknya?" Aku menjawab : "Ya, wahai Rasulullah". Rasulullah r bersabda : "Pokok amal adalah Islam, tiangtiangnya adalah shalat, dan puncaknya adalah jihad". Kemudian beliau bersabda : "Maukah kuberitahukan kepadamu tentang kunci semua perkara itu?" Jawabku : "Ya, wahai Rasulullah". Maka beliau memegang lidahnya dan bersabda : "Jagalah ini".
Aku bertanya : "Wahai Rasulullah, apakah kami dituntut (disiksa) karena apa yang kami katakan?" Maka beliau bersabda : "Semoga engkau selamat. Adakah yang menjadikan orang menyungkurkan mukanya (atau ada yang meriwayatkan batang hidungnya) di dalam neraka, selain ucapan lidah mereka?" (HR. At-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad – shahih)
Meninggalkan perkataan yang tidak berguna adalah salah satu tanda kebaikan islam seseorang. Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Nabi bersabda: “Di antara kebaikan Islam seseorang adalah meninggalkan apa-apa yang tidak berguna baginya.” (HR. Malik, At-Tirmidzi, dan Ibnu Majah – shahih)
Suatu saat Umar mendatangi Abu Bakar, sedang Abu Bakar memegang lisannya. Lalu Umar berkata, “Mudah-mudahan Allah mengampunimu.” Abu Bakar menimpali, “Inilah yang memasukkanku ke dalam neraka.”
Abu Bakar juga pernah berkata “Sesungguhnya cobaan (musibah) itu berawal dari ucapan.” (Mawa'izu Ash-Shahabah)
Anas bin Malik pernah berkata:
“Seorang hamba itu belum dikatakan bertaqwa kepada Allah hingga ia menjaga lisannya.”
“Janganlah berbicara yang tidak berguna, dan jangan berdebat dengan orang biasa maupun orang bijak. Dan panggillah saudaramu dengan panggilan yang engkau suka jika dipanggil dengan panggilan itu.”
Menghindari Ghibah
“Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat lagi pencela,” (Qs. Al-Humazah: 1)
Sesungguhnya orang yang mengghibah dan orang yang mendengarkannya sama-sama berdosa. Imam Nawawi mengatakan: “Ketahuilah bahwa wajib bagi orang yang mendengar seorang Muslim dighibahi untuk menentangnya dan menghalangi orang tersebut mengghibah. Jika dia tidak dapat mencegah dengan perkataannya, maka dia harus menghentikan dengan tangannya. Jika dia juga tidak dapat melakukannya dengan tangannya atau lidahnya, maka dia harus bangkit dan meninggalkan majelis itu. Dan jika dia mendengar gurunya dighibahi –atau orang lain yang memiliki hak atasnya, atau orang yang dighibahi adalah seorang di antara orang-orang shalih dan mulia, maka perhatiannya dengan apa yang telah kami sebutkan seharusnya lebih besar.”
Dalam Syarah Shahih Muslim, Imam Nawawi meriwayatkan dari Abul Qasim Al-Qusyairi, dia berkata, “Diam merupakan pangkal keselamatan. Selain itu, diam itu sendiri merupakan sifat tokoh besar, sebagaimana ucapan yang rasional merupakan sesuatu yang paling mulia.”
- Jangan bicara yang tidak ada gunanya, karena ia adalah kelebihan yang tidak mempunyai jaminan selamat dari dosanya. Dan jangan bicara sesuatu yang dianggap perlu hingga engkau dapat tempat yang cocok untuk mengutarakannya. Sesungguhnya sudah berapa banyak orang yang berbicara tentang sesuatu yang penting baginya, tapi tidak menempatkannya pada tempatnya, sehingga ia jadi susah.
- Dan janganlah berdebat dengan orang yang bijak maupun orang yang tidak bijak, karena orang bijak itu tidak akan membencimu, sedang orang yang tidak bijak akan menyakitimu.
- Sebutlah saudaramu saat ia tidak ada didekatmu dengan sebutan yang engkau suka disebut dengannya. Dan maafkanlah saudaramu dalam suatu hal yang yang engkau suka jika dimaafkan olehnya.
- Pergaulilah saudaramu dengan sikap yang engkau suka jika ia bersikap seperti itu padamu.
- Dan beramallah dengan amalan orang yang tahu bahwa dirinya akan mendapatkan pahala jika berbuat baik dan akan dihukum jika berbuat dosa.”
Menghindari Ghibah
“Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat lagi pencela,” (Qs. Al-Humazah: 1)
Sesungguhnya orang yang mengghibah dan orang yang mendengarkannya sama-sama berdosa. Imam Nawawi mengatakan: “Ketahuilah bahwa wajib bagi orang yang mendengar seorang Muslim dighibahi untuk menentangnya dan menghalangi orang tersebut mengghibah. Jika dia tidak dapat mencegah dengan perkataannya, maka dia harus menghentikan dengan tangannya. Jika dia juga tidak dapat melakukannya dengan tangannya atau lidahnya, maka dia harus bangkit dan meninggalkan majelis itu. Dan jika dia mendengar gurunya dighibahi –atau orang lain yang memiliki hak atasnya, atau orang yang dighibahi adalah seorang di antara orang-orang shalih dan mulia, maka perhatiannya dengan apa yang telah kami sebutkan seharusnya lebih besar.”
Dalam Syarah Shahih Muslim, Imam Nawawi meriwayatkan dari Abul Qasim Al-Qusyairi, dia berkata, “Diam merupakan pangkal keselamatan. Selain itu, diam itu sendiri merupakan sifat tokoh besar, sebagaimana ucapan yang rasional merupakan sesuatu yang paling mulia.”
Dari Dzun Nun, ia berkata, “Orang yang paling menjaga dirinya adalah orang yang paling mampu menahan lisannya.”
Ghibah yang Diperbolehkan
Ketahuilah, meskipun ghibah haram, ia diperbolehkan dalam kondisi tertentu manakala dilakukan untuk alasan yang bermanfaat. Kebolehan melakukan ghibah harus berdasarkan alasan yang benar dan syar’i yang tanpanya pembolehan tersebut tidak diberikan. Imam Nawawi dalam Al-Adzkar menyebutkan pembolehan ghibah dapat diberikan untuk enam alasan berikut:
1. Kedzaliman. Diperbolehkan bagi orang yang dizalimi untuk mengadukan persoalannya kepada penguasa atau hakim atau siapapun yang memegang kekuasaan atau memiliki kemampuan untuk memberikan keadilan terhadap orang yang menekannya.
2. Meminta pertolongan dalam mengubah kemungkaran dan mengembalikan pelaku maksiat kepada kebenaran. Seseorang harus berkata kepada orang yang dianggap mempunyai kemampuan untuk menghentikan kejahatan. Tujuannya adalah untuk mencari jalan mengakhiri kejahatan. Jika dia tidak meniatkan hal itu sebagai tujuannya, maka haram baginya (menyebutkannya).
3. Mencari fatwa. Seseorang melakukannya dengan berkata kepada mufti (ulama yang memiliki kemampuan mengeluarkan fatwa).
4. Memperingatkan dan menasihati kaum muslimin terhadap kejahatan. Ada beberapa pandangan mengenai hal ini, salah satunya adalah: Menyatakan seseorang tidak terpercaya dalam bidang periwayatan hadits dan memberikan persaksian. Kasus lain adalah ketika seseorang berkeinginan untuk menjalin hubungan dengan orang lain, apakah melalui perkawinan, bisnis, konsinyasi (jual titip) properti, penitipan sesuatu kepadanya atau hal-hal lain dalam kehidupan sehari-hari. Wajib bagimu untuk menyebutkan kepada orang tersebut apa yang engkau ketahui mengenai orang yang hendak dijalin hubungan dengannya, dengan maksud untuk menasihatinya. Contoh lainnya, penuntut ilmu pergi kepada seorang ahlul bid’ah atau orang yang sesat, untuk menimba ilmu darinya, dan engkau takut hal itu akan mempengaruhi pelajar tersebut. Dalam kondisi itu, engkau boleh menyampaikan keadaan ahlul bid’ah tersebut, dengan syarat bahwa tujuannya hanya sebagai nasihat.
5. Ketika seseorang secara terang-terangan menunjukkan kejahatan dan kebid’ahannya. Contohnya ketika seseorang secara terang-terangan meminum khamr, atau menyita uang orang lain secara tidak sah dan menaikkan pajak dengan tidak adil atau merebut kekuasaan secara dzalim. Maka diperbolehkan untuk membicarakan apa yang ditampakkan orang tersebut. Tetapi haram menyebutkan kelemahannya yang lain, kecuali termasuk kedalam salah satu kategori yang telah kita sebutkan dimana ghibah diperbolehkan.
6. Untuk mengenali (mengidentifikasi) seseorang. Jika seseorang dikenal manusia dengan nama panggilannya, seperti “orang bermata bilis”, “si pincang”, “si tuli”, “si buta”, “si mata juling”, “si hidung pesek”, dan selainnya, maka diperbolehkan untuk mengkhususkan dirinya seperti itu, dengan maksud untuk menggambarkan dirinya. Namun demikian, haram melakukan hal tersebut kepadanya, ketika niat seseorang adalah untuk menjatuhkannya. Jika dia dapat digambarkan dengan nama lain (yang lebih sesuai), maka hal itu lebih disukai.
Ghibah yang Diperbolehkan
Ketahuilah, meskipun ghibah haram, ia diperbolehkan dalam kondisi tertentu manakala dilakukan untuk alasan yang bermanfaat. Kebolehan melakukan ghibah harus berdasarkan alasan yang benar dan syar’i yang tanpanya pembolehan tersebut tidak diberikan. Imam Nawawi dalam Al-Adzkar menyebutkan pembolehan ghibah dapat diberikan untuk enam alasan berikut:
1. Kedzaliman. Diperbolehkan bagi orang yang dizalimi untuk mengadukan persoalannya kepada penguasa atau hakim atau siapapun yang memegang kekuasaan atau memiliki kemampuan untuk memberikan keadilan terhadap orang yang menekannya.
2. Meminta pertolongan dalam mengubah kemungkaran dan mengembalikan pelaku maksiat kepada kebenaran. Seseorang harus berkata kepada orang yang dianggap mempunyai kemampuan untuk menghentikan kejahatan. Tujuannya adalah untuk mencari jalan mengakhiri kejahatan. Jika dia tidak meniatkan hal itu sebagai tujuannya, maka haram baginya (menyebutkannya).
3. Mencari fatwa. Seseorang melakukannya dengan berkata kepada mufti (ulama yang memiliki kemampuan mengeluarkan fatwa).
4. Memperingatkan dan menasihati kaum muslimin terhadap kejahatan. Ada beberapa pandangan mengenai hal ini, salah satunya adalah: Menyatakan seseorang tidak terpercaya dalam bidang periwayatan hadits dan memberikan persaksian. Kasus lain adalah ketika seseorang berkeinginan untuk menjalin hubungan dengan orang lain, apakah melalui perkawinan, bisnis, konsinyasi (jual titip) properti, penitipan sesuatu kepadanya atau hal-hal lain dalam kehidupan sehari-hari. Wajib bagimu untuk menyebutkan kepada orang tersebut apa yang engkau ketahui mengenai orang yang hendak dijalin hubungan dengannya, dengan maksud untuk menasihatinya. Contoh lainnya, penuntut ilmu pergi kepada seorang ahlul bid’ah atau orang yang sesat, untuk menimba ilmu darinya, dan engkau takut hal itu akan mempengaruhi pelajar tersebut. Dalam kondisi itu, engkau boleh menyampaikan keadaan ahlul bid’ah tersebut, dengan syarat bahwa tujuannya hanya sebagai nasihat.
5. Ketika seseorang secara terang-terangan menunjukkan kejahatan dan kebid’ahannya. Contohnya ketika seseorang secara terang-terangan meminum khamr, atau menyita uang orang lain secara tidak sah dan menaikkan pajak dengan tidak adil atau merebut kekuasaan secara dzalim. Maka diperbolehkan untuk membicarakan apa yang ditampakkan orang tersebut. Tetapi haram menyebutkan kelemahannya yang lain, kecuali termasuk kedalam salah satu kategori yang telah kita sebutkan dimana ghibah diperbolehkan.
6. Untuk mengenali (mengidentifikasi) seseorang. Jika seseorang dikenal manusia dengan nama panggilannya, seperti “orang bermata bilis”, “si pincang”, “si tuli”, “si buta”, “si mata juling”, “si hidung pesek”, dan selainnya, maka diperbolehkan untuk mengkhususkan dirinya seperti itu, dengan maksud untuk menggambarkan dirinya. Namun demikian, haram melakukan hal tersebut kepadanya, ketika niat seseorang adalah untuk menjatuhkannya. Jika dia dapat digambarkan dengan nama lain (yang lebih sesuai), maka hal itu lebih disukai.
Referensi:
Imam Nawawi. Al-Adzkar
Imam Nawawi. Syarah Shahih Muslim
Shalih Ahmad Asy-Syami. Mawa'izhu Ash-Shahabah
Shalih Ahmad Asy-Syami. Mawa'izhu Ash-Shahabah
0 komentar:
Posting Komentar