Pada suatu malam, aku mendapatkan tulisan yang bagus dari salah satu website ikhwah. Segera saja aku download tulisan tersebut dan aku baca sampai selesai.
Tulisan itu berjudul “Dari Madinah Hingga ke RadioRodja: Mendulang Pelajaran Akhlak dari Syaikh Abdurrazaq Al-Badr.” Karya itu ditulis oleh Al-Ustadz Abu Muhsin Firandan Andirja yang merupakan salah satu murid Syaikh Abdurrazaq Al-Badr di Universitas Islam Madinah. Ustadz Abu Muhsin menceritakan pelajaran-pelajaran akhlak yang dapat diambil selama pergaulannya dengan Syaikh Abdurrazaq Al-Badr.
Syaikh Abdurrazaq Al-Badr mempunyai pengalaman yang sangat berkesan dengan gurunya, yaitu Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin. Syaikh Abdurrazaq Al-Badr pernah menjadi moderator saat Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin menyampaikan nasehat kepada para mahasiswa di Universitas Islam Madinah. Syaikh Abdurrazaq Al-Badr memulai moderasinya dengan kalimat, “Alhamdulillah, pada kesempatan yang berbahagia ini kita akan mendengarkan muhadharah yang akan disampaikan oleh Al-‘Alamah Muhammad bin Shalih….”
Tiba-tiba Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin menimpali dengan suara yang lantang, “Uskut!” (Diam!)
Syaikh Abdurrazaq tersentak mendengar kalimat Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin yang memintanya diam. Beberapa saat kemudian barulah beliau sadar bahwa Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin tidak ridha jika digelari dengan Al-‘Alamah (orang yang sangat alim).
Peristiwa itu sangat membekas di dalam hati Syaikh Abdurrazaq sehigga beliau sering mengulang-ulang cerita ini dengan mengatakan, “Lihatlah bagaimana Syaikh Muhammad bin Shalih al-’Utsaimin sama sekali tidak suka untuk digelari dengan gelar Al-’Allamah. Spontan beliau menegurku di hadapan begitu banyak mahasiswa, tanpa ragu-ragu dan tidak dibuat-buat.”
Menolak Penulisan Gelar
Syaikh Abdurrazaq Al-Badr merasa enggan mencantumkan gelarnya pada buku-buku karangannya. Dikisahkan bahwa Saat salah seorang ikhwan dari Indonesia meminta izin untuk menerjemahkan buku beliau yang berjudul Fikhul Ad’iyaa wal Adzkar (Fikh Doa dan Dzikir) ke dalam bahasa Indonesia, beliau mengizinkan dengan syarat: tatkala buku tersebut dicetak, nama beliau hanya ditulis ‘Abdurrozaq bin Abdulmuhsin Al-Badr’, tanpa embel-embel gelaran Profesor Doktor. Begitu pula buku-buku beliau yang dicetak di Arab Saudi maupun di Aljazair (Algeria), semua tanpa embel-embel gelar tersebut.
Semangat dalam Menuntut Ilmu dan Menyampaikan Ilmu
Syaikh Abdurrazaq Al-Badr mempunyai semangat yang tinggi dalam menuntut ilmu. Di dalam pesawat terbang pun beliau menyempatkan untuk membaca kitab dan menulis.
Syaikh Abdurrazaq Al-Badr mempunyai semangat yang tinggi dalam menyampaikan ilmu. Ustadz Abu Muhsin menyampaikan permintaan kepada beliau untuk mengisi kajian di RadioRodja. Ustadz Abu Muhsin mengisahkan:
“Syaikh, saya menyampaikan permintaan teman-teman di Radiorodja agar Syaikh mengisi kajian rutin, seminggu sekali.”
Dan, jawaban beliau sungguh-sungguh di luar dugaan saya (Abu Muhsin). Syaikh berkata: “Saya siap mengisi kajian setiap hari.”
Saya takjub sekaligus bingung mendengar jawaban tersebut, karena justru sayalah yang tidak siap. Saya pun menawarkan kepada beliau untuk mengisi kajian sepekan dua kali, dengan mempertimbangkan kesiapan dari berbagai teknisnya. Alhamdulillah, Syaikh setuju dengan usulan tersebut.
Tawadhu’
Syaikh Abdurrazaq Al-Badr menunjukkan sikap tawadhu yang patut kita teladani. Dalam salah satu kajian, Syaikh Abdurrazaq Al-Badr memaksa penerjemahnya yaitu Ustadz Abu Muhsin agar mau duduk di kursi yang bagus, sedangkan beliau memilih duduk di kursi yang jelek dan datar tanpa spon.
Syaikh Abdurrazaq Al-Badr bersikap lemah lembut kepada anak-anak orang tua. Beliau menyalami anak-anak, mengusap kepala mereka, dan memberikan hadiah kepada mereka. Terhadap orang tua, beliau merangkul mereka dengan sikap tawadhu dan sopan.
Tulisan itu berjudul “Dari Madinah Hingga ke RadioRodja: Mendulang Pelajaran Akhlak dari Syaikh Abdurrazaq Al-Badr.” Karya itu ditulis oleh Al-Ustadz Abu Muhsin Firandan Andirja yang merupakan salah satu murid Syaikh Abdurrazaq Al-Badr di Universitas Islam Madinah. Ustadz Abu Muhsin menceritakan pelajaran-pelajaran akhlak yang dapat diambil selama pergaulannya dengan Syaikh Abdurrazaq Al-Badr.
Syaikh Abdurrazaq Al-Badr mempunyai pengalaman yang sangat berkesan dengan gurunya, yaitu Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin. Syaikh Abdurrazaq Al-Badr pernah menjadi moderator saat Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin menyampaikan nasehat kepada para mahasiswa di Universitas Islam Madinah. Syaikh Abdurrazaq Al-Badr memulai moderasinya dengan kalimat, “Alhamdulillah, pada kesempatan yang berbahagia ini kita akan mendengarkan muhadharah yang akan disampaikan oleh Al-‘Alamah Muhammad bin Shalih….”
Tiba-tiba Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin menimpali dengan suara yang lantang, “Uskut!” (Diam!)
Syaikh Abdurrazaq tersentak mendengar kalimat Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin yang memintanya diam. Beberapa saat kemudian barulah beliau sadar bahwa Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin tidak ridha jika digelari dengan Al-‘Alamah (orang yang sangat alim).
Peristiwa itu sangat membekas di dalam hati Syaikh Abdurrazaq sehigga beliau sering mengulang-ulang cerita ini dengan mengatakan, “Lihatlah bagaimana Syaikh Muhammad bin Shalih al-’Utsaimin sama sekali tidak suka untuk digelari dengan gelar Al-’Allamah. Spontan beliau menegurku di hadapan begitu banyak mahasiswa, tanpa ragu-ragu dan tidak dibuat-buat.”
Menolak Penulisan Gelar
Syaikh Abdurrazaq Al-Badr merasa enggan mencantumkan gelarnya pada buku-buku karangannya. Dikisahkan bahwa Saat salah seorang ikhwan dari Indonesia meminta izin untuk menerjemahkan buku beliau yang berjudul Fikhul Ad’iyaa wal Adzkar (Fikh Doa dan Dzikir) ke dalam bahasa Indonesia, beliau mengizinkan dengan syarat: tatkala buku tersebut dicetak, nama beliau hanya ditulis ‘Abdurrozaq bin Abdulmuhsin Al-Badr’, tanpa embel-embel gelaran Profesor Doktor. Begitu pula buku-buku beliau yang dicetak di Arab Saudi maupun di Aljazair (Algeria), semua tanpa embel-embel gelar tersebut.
Semangat dalam Menuntut Ilmu dan Menyampaikan Ilmu
Syaikh Abdurrazaq Al-Badr mempunyai semangat yang tinggi dalam menuntut ilmu. Di dalam pesawat terbang pun beliau menyempatkan untuk membaca kitab dan menulis.
Syaikh Abdurrazaq Al-Badr mempunyai semangat yang tinggi dalam menyampaikan ilmu. Ustadz Abu Muhsin menyampaikan permintaan kepada beliau untuk mengisi kajian di RadioRodja. Ustadz Abu Muhsin mengisahkan:
“Syaikh, saya menyampaikan permintaan teman-teman di Radiorodja agar Syaikh mengisi kajian rutin, seminggu sekali.”
Dan, jawaban beliau sungguh-sungguh di luar dugaan saya (Abu Muhsin). Syaikh berkata: “Saya siap mengisi kajian setiap hari.”
Saya takjub sekaligus bingung mendengar jawaban tersebut, karena justru sayalah yang tidak siap. Saya pun menawarkan kepada beliau untuk mengisi kajian sepekan dua kali, dengan mempertimbangkan kesiapan dari berbagai teknisnya. Alhamdulillah, Syaikh setuju dengan usulan tersebut.
Tawadhu’
Syaikh Abdurrazaq Al-Badr menunjukkan sikap tawadhu yang patut kita teladani. Dalam salah satu kajian, Syaikh Abdurrazaq Al-Badr memaksa penerjemahnya yaitu Ustadz Abu Muhsin agar mau duduk di kursi yang bagus, sedangkan beliau memilih duduk di kursi yang jelek dan datar tanpa spon.
Syaikh Abdurrazaq Al-Badr bersikap lemah lembut kepada anak-anak orang tua. Beliau menyalami anak-anak, mengusap kepala mereka, dan memberikan hadiah kepada mereka. Terhadap orang tua, beliau merangkul mereka dengan sikap tawadhu dan sopan.
Sukoharjo, 8 September 2012
0 komentar:
Posting Komentar