Umar bin Khaththab pernah berkata, “Aku tidak peduli dengan keadaanku, apakah aku dalam hal yang aku senangi, atau yang aku benci. Itu karena aku tidak tahu apakah kebaikan itu terdapat dalam hal yang aku senangi atau dalam hal yang aku benci.” (Mawa’izu Ash-Shahabah)
Ini adalah ucapan yang menunjukkan keridhaan atas takdir Illahi. Sesuatu keadaan yang dialami oleh seorang hamba merupakan takdir Allah. Kenikmatan yang dianugerahkan dan ujian yang ditimpakan adalah dari Allah. Dan segala yang menimpa seorang hamba mempunyai hikmah. Bencana yang menghancurkan gedung-gedung, mencabik-cabik tanah tempat berpijak, mencurahkan air bah yang deras, mencerabut pepohonan, melontarkan batu-batu panas, dan menurunkan hujan abu panas dan asap beracun. Ketahuilah bahwa ada hikmah di balik semua bencana itu. Mungkin kita merasa menderita dan susah payah ditimpa ujian. Ada dua sikap yang baik, yaitu ridha dan sabar. Karena kita tidak atau belum mengetahui hikmah dalam ujian yang menimpa kita.
Ketika ujian semakin terasa berat, mungkin kita merasakan seolah-olah Allah berlaku zalim kepada kita. Kita merasa ditelantarkan, dihinakan, dan dijatuhkan ke dalam jurang kehancuran. Namun, apakah kita akan menolak takdir itu? Sekali-kali tidak, karena kita tidak mempunyai hak dan tidak mempunyai kemampuan untuk menolak takdir.
Umar bin Khaththab berkata, “Sesungguhnya kebaikan itu semuanya berada dalam keridhaan. Jika engkau mampu untuk ridha, maka lakukanlah. Dan jika tidak bisa maka bersabarlah.” (Mawa’izu Ash-Shahabah)
Sikap yang baik dalam menghadapi ujian adalah ridha atas ketentuan Allah tersebut. Meskipun kita membenci kejadian buruk menimpa kita, akan tetapi “boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui” (Qs. Al-Baqarah: 216).
TERJADILAH APA YANG SEHARUSNYA TERJADI
Kebijaksanaan orang Jawa mengatakan, “Urip mung sadermo nglakoni”. Ungkapan ini bukanlah suatu bentuk sikap pasrah pada sebuah keadaan. Ketika terjadi musibah gunung meletus, orang-orang mengungsi, persediaan makanan menipis, air bersih langka. Dalam keadaan seperti itu, maka ungkapan Urip mung sadermo nglakoni menjadi penghibur yang dapat menenangkan hati. Bagaimana hati tidak tenang, sedangkan ia tahu bahwa apa yang telah menimpa dirinya sudah merupakan suratan takdir. Hidup sulit di pengungsian dengan makanan seadanya dan diselimuti udara pengab ataupun hidup nyaman dengan makanan enak di ruangan ber-AC, bukankah keduanya adalah takdir Illahi atas hamba-Nya?
Jika kita sadar bahwa senang, susah, kaya, miskin, pintar, bodoh, hidup dan mati kita sudah ada dalam takdir Allah, maka hati ini akan menjadi tenang. Ketika diberi kekayaan maka ia sadar bahwa saat itu ia memang sedang diberi nikmat berupa harta. Harta itu tentu menjadi ujian baginya, apakah ia akan bersyukur atau ia akan mengingkari. Ketika diberi ujian berupa kemiskinan ia akan sabar, berusaha, dan tawakal. Maka, hati akan tenang, jiwa menjadi tenteram.
Keadaan nyaman dengan banyak harta akan membuat ia mengingat Tuhannya dan janji suci-Nya bahwa yang bersyukur kepada-Nya maka akan ditambah baginya nikmat dan yang ingkar maka azab yang pedih baginya. Maka, wajiblah ia bersyukur dengan lisannya dan amal perbuatannya. Lisannya senantiasa memuji-Nya dan mohon ampun kepada-Nya. Gerak badannya senantiasa mengerjakan kebajikan. Nikmat kekayaannya ia gunakan sebaik-baiknya. Ia hitung tiap keping hartanya dan ia perhitungkan dengan cermat akan dikemanakan harta itu dibelanjakan. Ia sadar bahwa setiap hartanya sekecil apapun akan diperhitungkan di Hari Akhir nanti. Tidak akan ada harta yang terbuang sia-sia untuk kenikmatan dunia yang fana ini. Anak-anak yatim ia santuni, orang-orang miskin ia tanggung, dan ia ulurkan bantuan kepada orang-orang yang tertimpa musibah.
Keadaan susah akan membuat ia mengingat Tuhannya dan janji suci-Nya bahwa setiap ada kesulitan pasti selanjutnya ada kelapangan. Setiap masalah pasti ada jalan keluar. Maka, wajiblah bagi setiap orang yang tertimpa kesusahan untuk berusaha mencari jalan keluar seraya tawakal pada Dzat yang Mahakuasa. Ia tahu persis bahwa Dzat yang telah menciptakannya dengan sempurna pasti akan mencurahkan kasih sayang kepadanya. Ia yakin bahwa ia tidak akan diterlantarkan oleh Penciptanya.
Hatinya menjadi tenang dengan mengingat Tuhannya saat ia berdiri, duduk, maupun berbaring. Lisannya senantiasa memuji-Nya dan mohon ampun kepada-Nya. Gerak badannya taat pada perintah Tuhannya. Hatinya menjadi tenang dan penuh gairah hidup. Meski perutnya tidak terisi nasi berhari-hari, namun semangatnya mencapai puncak. Ia yakin dengan pertolongan Tuhannya ia akan mampu melewati cobaan dan akan mendapatkan jalan keluar dan kelapangan hidup.
Aidh Al-Qarni berkata, “Barangsiapa yang tidak pernah tertimpa musibah, maka ditakutkan dirinya akan terkena penyakit lalai. Sehingga dia menjadi orang yang ebrhati keras, memiliki sifat sombong, menganggap remeh nikmat yang telah diberikan kepadanya, dan tidak mau mensyukurinya. Dia menjadi seperti orang mabuk yang tidak mengerti dan peka terhadap keadaan sekitarnya. Yang dia pikirkan hanya masalah makan, minum, dan kesenangan sendiri. Jadi, berbagai musibah yang menimpa merupakan salah satu hal terbesar yang mampu menggugah hati nurani dan kesadaran seseorang.”
0 komentar:
Posting Komentar