Hasan Al-Bashri berkata, “Kami telah berjumpa dengan kaum yang jika ada amal kebaikan mereka ditolak lebih khawatir daripada kalian akan diazab dengan amal buruk kalian.”
Ketahuilah bahwa Allah tidak menerima amal kecuali yang benar dan ikhlas, berdasarkan sabda Rasulullah, “Sesungguhnya amal-amal itu tergantung niatnya. Seiap ornag tergantung apa yang diniatkannya.” (HR. Bukhari)
Ibnu Katsir berkata. “Sesungguhnya Allah tidak akan menerima amal sampai megumpulkan dua pilar ini : benar sesuai dengan syariat dan bersih dari syirik.”
Abu Said Al-Khudri berkata, “Rasulullah keluar menemui kami dan kami sedang menyebut-nyebut Al-Masih Dajjal, beliau lantas bersabda, ‘Tidakkah aku kabarkan kepada kalian apa yang lebih aku takutkan pada kalian di sisiku daripada Al-Masih Dajjal?’ Rasulullah lalu menyambung, ‘Syirik yang tersembunyi, yaitu seseorang berdiri lalu shalat. Dia lalu memperindah shalatnya karena merasa dilihat seseorang.’” (HR. Ibnu Majah, Baihaqi, dan Hakim)
Pembaca Al-Qur’an jika membacanya dengan riya’ dan menampakkan keshalihan padahal sejatinya sebaliknya, maka bacaannya dengan niat yang rusak ini mengharamkannya dari pahala dan membuatnya membawa dosa serta membinasakannya di sebuah lembah di neraka jahanam yang disebut Jibul Huzni.
Abu Hurairah mengatakan bahwa Rasulullah bersabda, “Berlindunglah kalian dari Jibul Huzni.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apa itu Jibul Huzni?” Beliau menjawab, “Sebuah lembah di neraka jahanam. Para penghuni neraka jahanam berlindung darinya setiap hari seratus kali.” Ada yang bertanya, “ Wahai Rasulullah, siapa yang dimasukkan ke dalamnya?” Beliau menjawab, “Para qurra’ (pembaca Al-Qur’an) yang riya’ dengan amal mereka.” (HR. At-Tirmidzi)
Sesungguhnya syirik dan riya’ membatalkan dan menafikan keikhlasan. Karena seseorang tidak memaksudkan perbuatan dan perkataannya untuk mendapat keridhaan Allah, tetapi memaksudkan untuk mendapat ridha selain Allah, yaitu manusia. Jika bersedekah, ia bertujuan agar dipuji manusia. Jika shalat, ia bertujuan agar dilihat orang. Jika berbicara, ia mamuji orang yang tidak pantas dipuji dengan tujuan untuk mendapatkan manfaat pribadi. Jika berperang, maka ia berperang karena fanatisme buta kesukuan, atau berperang untuk rampasan perang, atau berperang karena riya’ dan agar didengar, terkenal, dan mendapatkan pujian, serta disifati sebagai orang yang pemberani dan lelaki sejati.
Allah tidak menerima jika diri-Nya disekutukan dengan siapa pun.
Rasulullah bersabda,
“Allah berfirman, ‘Aku adalah Dzat yang paling tidak memerlukan persekutuan di antara yang bersekutu. Barangsiapa yang mengerjakan suatu amal dan di dalamnya bersama-Ku ada selain Aku, maka Aku tinggalkan dia dan sekutunya.’” (HR. Muslim)
Rasulullah bersabda,
“Siapa yang ingin didengar, maka Allah akan membuatnya didengar dengan amalnya. Dan barangsiapa yang ingin dilihat, maka Allah akan membuatnya dilihat dengan amalnya.” (HR. Muslim)
Abu Said Al-Khudri berkata, “Rasulullah keluar menemui kami dan kami sedang menyebut-nyebut Al-Masih Dajjal, beliau lantas bersabda, ‘Tidakkah aku kabarkan kepada kalian apa yang lebih aku takutkan pada kalian di sisiku daripada Al-Masih Dajjal?’ Rasulullah lalu menyambung, ‘Syirik yang tersembunyi, yaitu seseorang berdiri lalu shalat. Dia lalu memperindah shalatnya karena merasa dilihat seseorang.’” (HR. Ibnu Majah, Baihaqi, dan Hakim)
Pembaca Al-Qur’an jika membacanya dengan riya’ dan menampakkan keshalihan padahal sejatinya sebaliknya, maka bacaannya dengan niat yang rusak ini mengharamkannya dari pahala dan membuatnya membawa dosa serta membinasakannya di sebuah lembah di neraka jahanam yang disebut Jibul Huzni.
Abu Hurairah mengatakan bahwa Rasulullah bersabda, “Berlindunglah kalian dari Jibul Huzni.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apa itu Jibul Huzni?” Beliau menjawab, “Sebuah lembah di neraka jahanam. Para penghuni neraka jahanam berlindung darinya setiap hari seratus kali.” Ada yang bertanya, “ Wahai Rasulullah, siapa yang dimasukkan ke dalamnya?” Beliau menjawab, “Para qurra’ (pembaca Al-Qur’an) yang riya’ dengan amal mereka.” (HR. At-Tirmidzi)
Sesungguhnya syirik dan riya’ membatalkan dan menafikan keikhlasan. Karena seseorang tidak memaksudkan perbuatan dan perkataannya untuk mendapat keridhaan Allah, tetapi memaksudkan untuk mendapat ridha selain Allah, yaitu manusia. Jika bersedekah, ia bertujuan agar dipuji manusia. Jika shalat, ia bertujuan agar dilihat orang. Jika berbicara, ia mamuji orang yang tidak pantas dipuji dengan tujuan untuk mendapatkan manfaat pribadi. Jika berperang, maka ia berperang karena fanatisme buta kesukuan, atau berperang untuk rampasan perang, atau berperang karena riya’ dan agar didengar, terkenal, dan mendapatkan pujian, serta disifati sebagai orang yang pemberani dan lelaki sejati.
Allah tidak menerima jika diri-Nya disekutukan dengan siapa pun.
Rasulullah bersabda,
“Allah berfirman, ‘Aku adalah Dzat yang paling tidak memerlukan persekutuan di antara yang bersekutu. Barangsiapa yang mengerjakan suatu amal dan di dalamnya bersama-Ku ada selain Aku, maka Aku tinggalkan dia dan sekutunya.’” (HR. Muslim)
Rasulullah bersabda,
“Siapa yang ingin didengar, maka Allah akan membuatnya didengar dengan amalnya. Dan barangsiapa yang ingin dilihat, maka Allah akan membuatnya dilihat dengan amalnya.” (HR. Muslim)
Hasan Al-Bashri ditanya tentang keikhlasan dan riya’.
Ia menjawab, “Termasuk ikhlas adalah jika kamu suka menyembunyikan kebaikanmu dan tidak suka menyembunyikan keburukanmu. Jika Allah menampakkan kebaikanmu, maka kamu berkata, ‘Ini karena anugerah dan kebaikan-Mu, dan bukan dari perbuatan dan kelakuanku.’ Dan kamu mengingat firman Allah, ‘Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shalih dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya.’ Orang-orang yang menepati pesan yang dibawa ayat ini, mereka menepati keikhlasan dan mereka sangat takut jika tidak diterima. Sedangkan riya’ adalah menuntut bagian nafsu dari amalnya di dunia. Ada yang bertanya, ‘Bagaimana itu bisa terjadi?’ Ulama menjawab, ‘Siapa yang menuntut dengan suatu amal antara dia dan Allah selain ridha Allah dan rumah akhirat, maka dia telah riya’’”
Sahl bin Abdillah berkata, “Tidak ada yang lebih berat bagi nafsu dari keikhlasan. Karena tidak ada bagian bagi nafsu dalam keikhlasan.”
Sahl bin Abdillah berkata, “Tidak ada yang lebih berat bagi nafsu dari keikhlasan. Karena tidak ada bagian bagi nafsu dalam keikhlasan.”
Yusuf bin Husain Ar-Razi berkata, “Yang paling berharga di dunia adalah keikhlasan. Betapa aku berusaha keras menghilangkan riya’ dari hatiku, tapi seolah-olah ia tumbuh dalam bentuk yang lain.” Rasulullah ditanya, “Siapa yang paling berbahagia mendapatkan syafa’atmu pada Hari Kiamat?” Beliau menjawab, “Manusia yang paling bahagia dengan syafa’atku pada Hari Kiamat adalah orang yang mengatakan Laa ilaaha illallah dengan penuh keikhlasan dari hati dan jiwanya.” (HR. Bukhari)
Referensi:
Referensi:
M. Abdul Qadir Abu Faris. Tazkiyatun An-Nafs. (Terjemahan Habiburrahman Saerozi). 2005. Menyucikan Jiwa. Depok: Gema Insani
0 komentar:
Posting Komentar