MUSLIMAH

Menuju Insan yang Shalihah

This is default featured post 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

MUTIARA DAKWAH

This is default featured post 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

5 Mei 2014

8 Pelajaran dari Hatim Al-A'sham


Disebutkan dalam kitab Mukhtashar Minhajil Qashidin karangan Ibnu Qudamah Al-Maqdisi, dua macam ulama yaitu ulama su’ (buruk) dan ulama akhirat. Ulama su’ (buruk) adalah mereka yang dengan ilmunya ingin mendapatkan kenikmatan di dunia dan mendapatkan kedudukan terpandang di kelompoknya.

Kebalikan dari ulama su’ ialah ulama akhirat. Ibnu Qudamah mengatakan, “Di antara sifat-sifat ulama akhirat, mereka mengetahui bahwa dunia ini hina, sedangkan akhirat adalah mulia. Keduanya seperti dua macam kebutuhan pokok, namun mereka lebih mementingkan akhirat. Perbuatan mereka tidak bertentangan dengan perkataan, kecenderungan mereka hanya kepada ilmu-ilmu yang bermanfaat di akhirat dan menjauhi ilmu-ilmu yang manfaatnya lebih sedikit.”

Berkaitan dengan ulama akhirat, Ibnu Qudamah meriwayatkan sebuah kisah dari Syaqiq Al-Balkhi, bahwa ia pernah bertanya kepada Hatim Al-A’sham –salah seorang muridnya, “Sudah berapa lama engkau menyertai aku? Lalu apa saja pelajaran yang bisa engkau serap?”

Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Hatim Al-A’sham berguru kepada Syaqiq Al-Balkhi selama tiga puluh tahun lebih. Hatim Al-A’sham menjawab, “Ada delapan pelajaran.”

Berikut ini delapan pelajaran yang diserap oleh Hatim Al-A’sham dari gurunya tersebut.

1. Aku suka mengamati manusia. Ternyata setiap orang, ada sesuatu yang dicintainya. Namun, jika ia sudah dibawa ke kuburannya, ia harus berpisah dengan sesuatu yang dicintainya. Maka, kujadikan sesuatu yang kucintai adalah amal kebaikanku, agar kebaikan itu tetap menyertaiku di kuburan.

2. Aku merenungi firman Allah, “... dan menahan diri dari keinginan hawa nafsu,” (QS. An-Naziat: 40). Sebisa mungkin aku mengenyahkan hawa nafsu, hingga jiwaku menjadi tenang karena taat kepada Allah.

3. Setelah kurenungi, aku mengetahui bahwa setiap orang mempunyai sesuatu yang bernilai dalam pandangannya, lalu ia pun menjaganya. Kemudian kurenungi firman Allah, “Apa yang di sisi kalian akan lenyap dan apa yang di sisi Allah akan kekal,” (QS. An-Nahl: 96). Setiap kali aku mempunyai sesuatu yang berharga maka aku segera menyerahkannya kepada Allah agar ia kekal di sisi-Nya.

4. Kuamati banyak manusia yang membanggakan harta, keturunan, kemuliaan, dan kedudukannya. Padahal, semua itu tidak ada artinya apa-apa. Lalu kurenungi firman Allah, “Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa di antara kalian,” (QS. Al-Hujurat: 13). Maka, aku beramal dalam lingkup takwa agar aku menjadi mulia di sisi-Nya.

5. Kulihat manusia sering iri dan dengki. Lalu kurenungi firman Allah, “Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia,” (QS. Az-Zukhruf: 32). Oleh karena itu, kutinggalkan sifat iri dan dengki.

6. Kulihat mereka saling bermusuhan. Lalu kurenungi firman Allah, “Sesungguhnya setan itu adalah musuh bagimu, Maka anggaplah ia musuh(mu),” (QS. Fathir: 6). Oleh karena itu, aku tidak mau bermusuhan dengan mereka dan hanya setan semata yang kujadikan musuh.

7. Kulihat mereka berjuang habis-habisan untuk mencari rezeki. Lalu kurenungi firman Allah, “Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya,” (QS. Hud: 6). Oleh karena itu, aku menyibukkan diri dalam perkara yang memang menjadi kewajibanku dan kutinggalkan sesuatu meskipun memberikan keuntungan kepadaku.

8. Kuamati mereka mengandalkan perdagangan, usaha, dan kesehatan badan mereka, tetapi aku mengandalkan Allah dengan bertawakal kepada-Nya.

Itulah delapan pelajaran yang diserap oleh Hatim Al-A’sham setelah berguru selama tiga puluh tahun lebih kepada Syaqiq Al-Balkhi. Semoga kita bisa mengamalkan apa yang disampaikan oleh Hatim tersebut.

***
Referensi:
Ibnu Qudamah Al-Maqdisi. Mukhtashar Minhajil Qashidin. (Terjemahan: Minhajul Qashidin. Cetakan ke-19. 2013. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar)

***
Sukrisno Santoso
Ditulis pada hari Senin, 5 Mei 2014, di basecamp IMTAQ, Kota Sukoharjo

0 komentar:

Posting Komentar

PROMO BUKU

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...