MUSLIMAH

Menuju Insan yang Shalihah

This is default featured post 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

MUTIARA DAKWAH

This is default featured post 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

23 April 2012

Menjamak Dua Shalat dalam Perjalanan


Oleh
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman bin Shalih Ali Bassam

Karena perjalanan menimbulkan banyak kesulitan, maka Allah membuat beberapa rukhshah dalam ibadah, sebagai kemudahan bagi hamba-hambaNya dan rahmat atas mereka. Di antara rukshah itu ialah diperbolehkannya menjamak bagi orang yang mengadakan perjalanan. Karena boleh jadi dia masuk waktu shalat tapi mengalami satu dua hambatan dalam perjalanannya.

Diperbolehkan baginya manjamak shalat Dhuhur dengan Ashar dalam salah satu waktu di antara keduanya, menjamak shalat Maghrib dengan Isya' dalam salah satu waktu di antara keduanya. Semua ini merupakan keluwesan syariat yang dibawa Rasulullah dan kemudahannya, yang berarti merupakan karunia dari Allah, agar tidak ada keberatan dalam agama.

[Artinya:] Dari Abdullah bin Abbas, dia berkata, "Rasulullah pernah menjamak antara Dhuhur dan Ashar jika berada dalam perjalanan, juga menjama antara Maghrib dan Isya'." [1]

Makna Hadits
Di antara kebiasaan Rasulullah jika mengadakan perjalanan, apalagi di tengah perjalanan, maka beliau menjamak antara shalat Dhuhur dan Ashar, entah taqdim entah takhir. Beliau juga menjamak antara Maghrib dan Isya, entah taqdim entah takhir, tergantung mana yang lebih memungkinkan untuk dikerjakan dan dengan siapa beliau mengadakan perjalanan. Yang pasti, perjalanan ini menjadi sebab jamak dan shalat pada salah satu waktu di antara dua waktunya karena waktu itu merupakan waktu bagi kedua shalat.

Perbedaan Pendapat di Kalangan Ulama
Para ulama saling berbeda pendapat tentang jamak ini. Mayoritas shahabat dan tabi'in memperbolehkan jamak, baik taqdim maupun takhir. Ini juga merupakan pendapat Asy-Syafi'i, Ahmad, dan Ats-Tsaury. Mereka berhujjah dengan hadits-hadits Ibnu Abbas dan Ibnu Umar, begitu pula hadits Mu'adz, bahwa jika Rasulullah berangkat sebelum matahari condong, maka beliau menjama shalat Dhuhur dan Ashar pada waktu shalat Ashar. Beliau mengerjakan keduanya secara bersamaan. Tapi jika beliau berangkat sesudah matahari condong, maka beliau shalat Dhuhur dengan Ashar, lalu berangkat. Jika beliau berangkat sebelum Maghrib, maka belaiu menunda shalat Maghrib dan mengerjakannya bersama shalat Isya. Jika beliau berangkat sesudah masuk waktu Maghrib, maka beliau mengerjakan shalat Isya bersama shalat Maghrib. (Diriwayatkan Ahmad, Abu Daud dan At-Tirmidizy)

Sebagian Imam menshahihkan hadits ini. Sementara yang lain mempermasalahakannya. Asal hadits ini ada dalam riwayat Muslim tanpa menyebutkan jama taqdim.

Sementara Abu Hanifah dan dua rekannya. Al-Hasan dan An-Nakha'y tidak memperbolehkan jamak. Mereka menakwil hadits-hadits tentang jamak, bahwa itu merupakan jamak imajiner. Gambarannya, menurut pendapat mereka, beliau mengakhirkan shalat Dhuhur hingga akhir waktunya lalu mengerjakannya, dan setelah itu mengerjakan shalat Ashar pada awal waktunya. Begitu pula untuk shalat Maghrib dan Isya.

Tentu saja ini tidak mengenai dan bertentangan dengan pengertian lafazh jamak, yang artinya menjadikan dua shalat di salah satu waktu di antara dua waktunya, yang juga ditentang ketetapan jamak taqdim, sehingga menafikan cara penakwilan seperti itu. Al-Khaththaby dan Ibnu Abdil Barr menyatakan jamak sebagai rukhshah. Mengerjakan dua shalat, yang pertama pada akhir waktunya dan yang kedua pada awal waktunya, justru berat dan sulit. Sebab orang-orang yang khusus pun sulit mencari ketetapan waktunya. Lalu bagaimana dengan orang-orang awam ?

Ibnu Hazm dan salah satu riwayat dari Malik menyatakan, yang boleh dilakukan ialah jamak takhir dan tidak jamak taqdim. Mereka menanggapi hadits-hadits yang dikatakan sebagian ulama, yang dipermasalahkan.

Mereka juga saling berbeda pendapat tentang hukum jamak. Asy-Syafi'i, Ahmad, dan jumhur berpendapat, perjalanan merupakan sebab jamak taqdim dan takhir. Ini juga merupakan salah satu riwayat dari Malik. Pendapat Malik dalam riwayat yang masyhur darinya, pengkhususan darinya, pengkhususan jamak pada waktu dibutuhkan saja, yaitu jika sedang mengadakan perjalanan. Ini juga merupakan pilihan pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, yang dikuatkan oleh Ibnul Qayyim. Menurut Al-Bajy, ketidaksukaan Malik terhadap jamak, karena khawatir jamak ini dilakukan orang yang sebenarnya tidak mendapat kesulitan. Adapun pembolehannya jika mengadakan perjalanan, didasarkan kepada hadits Ibnu Umar.

Abu Hanifah tidak memperbolehkan jamak kecuali di Arafah dan Muzdalifah, karena untuk keperluan manasik haji dan bukan karena perjalanan.

Jumhur berhujjah dengan hadits-hadits yang menyebutkan jamak secara mutlak tanpa ada batasan perjalanan, ketika singgah atau ketika mengadakan perjalanan. Begitu pula yang disebutkan di dalam Al-Muwaththa' dari Muadz bin Jabal, bahwa pada Perang Tabuk Rasulullah mengakhirkan shalat, kemudian keluar shalat Dhuhur dan Ashar bersama-sama, kemudian masuk dan keluar lagi untuk shalat Maghrib dan Isya. Menurut Ibnu Abdil Barr, isnad hadits ini kuat. Asy-Syafi'y menyebutkannya di dalam Al-Umm. Menurut Ibnu Abdul Barr dan Al-Bajy, keluar dan masuknya Rasulullah menunjukkan bahwa beliau sedang singgah dan tidak sedang dalam perjalanan. Ini merupakan penolakan secara tegas terhadap orang yang menyatakan bahwa beliau tidak menjamak kecuali ketika mengadakan perjalanan.

Dalil Al-Imam Malik, Syaikhul Islam dan Ibnul Qayyim ialah hadits Ibnu Umar, bahwa jika beliau mengadakan perjalanan, maka beliau menjamak Maghrib dan Isya, seraya berkata: "Jika Rasulullah mengadakan perjalanan, maka beliau menjama keduanya".

Tapi menurut jumhur, tambahan bukti dalam beberapa hadits yang lain layak untuk diterima. Bagaimanapun juga, bepergian mendatangkan banyak kesulitan, baik ketika singgah maupun ketika dalam perjalanan. Rukhshah jamak tidak dibuat melainkan untuk memberikan kemudahan didalamnya.

Ibnul Qayyim di dalam Al-Hadyu, menjadikan hadits Mu'adz dan sejenisnya termasuk dalil-dalilnya, bahwa rukhshah jamak tidak ditetapkan melainkan ketika mengadakan perjalanan (bukan ketika singgah). Adapun pendapat Abu Hanifah tertolak oleh berbagai hadits yang shahih dan jelas maknanya.

Faidah Hadits
[1]. Seperti yang disebutkan pengarang tentang jamak karena perjalanan, maka disana ada beberapa alasan selain perjalanan yang memperbolehkan jamak, di antaranya hujan. Al-Bukhary meriwayatkan bahwa Rasulullah menjamak Maghrib dan Isya pada suatu malam ketika turun hujan. Jamak ini dikhususkan untuk Maghrib dan Isya, bukan untuk Dhuhur dan Ashar. Namun ulama lain membolehkannya juga, di antaranya Al-Imam Ahmad dan rekan-rekannya.

Begitu pula alasan sakit. Muslim meriwayatkan bahwa Rasulullah pernah menjamak Dhuhur dan Ashar, Mgahrib dan Isya bukan karena takut dan hujan. Dalam riwayat lain disebutkan, bukan karena takut dan perjalanan. Tidak ada sebab lain kecuali sakit. Banyak ulama yang memperbolehkannya, di antaranya Malik, Ahmad, Ishaq dan Al-Hasan. Ini juga merupakan pendapat segolongan ulama dari madzhab Syafi'y, seperti Al-Khaththaby dan ini juga merupakan pilihan An-Nawawy di dalam Shahih Muslim. Ibnu Taimiyah menyebutkan bahwa Al-Imam Ahmad menetapkan pembolehan jamak bagi orang yang terluka dank arena kesibukan, yang didasarkan kepada hadits yang diriwayatkan tentang masalah ini. Ada pula yang menetapkan pembolehan jamak bagi wanita istihadhah, karena istihadhah termasuk penyakit.

[2]. Batasan perjalanan yang menyebabkan pembolehan jamak diperselisihkan para ulama. Asy-Syafi'i dan Ahmad menetapkan lama perjalanan selama dua hari hingga ke tujuan, atau sejauh enam belas farskah [2]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menetapkan pilihan bahwa apa pun yang disebut dengan perjalanan, pendek atau jauh, diperbolehkan jamak didalamnya. Jadi tidak diukur dengan jarak tertentu. Menurut pendapatnya, di dalam nash Al-Kitab dan As-Sunnah tidak disebutkan perbedaan antara jarak dekat dengan jarak jauh. Siapa yang membuat perbedaan antara jarak dekat dan jarak jauh, berarti dia memisahkan apa yang sudah dihimpun Allah, dengan sebagian pemisahan dan pembagian yang tidak ada dasarnya. Pendapat Syaikhul Islam ini sama dengan pendapat golongan Zhahiriyah, yang juga didukung pengarang Al-Mughny.

Ibnul Qayyim menyatakan di dalam Al-Hadyu, tentang riwayat yang membatasi perjalanan sehari, dua hari atau tiga hari, maka itu bukan riwayat yang shahih.

[3]. Menurut jumhur ulama, meninggalkan jamak lebih utama daripada jamak, kecuali dalam dua jamak, di Arafah dan Muzdalifah, karena disana ada kemaslahatan.

Kesimpulan Hadits

  1. Boleh menjamak shalat Dhuhur dengan Ashar, shalat Maghrib denan Isya. 
  2. Keumuman hadits menimbulkan pengertian tentang diperbolehkannya jamak taqdim dan takhir antara dua shalat. Beberapa dalil menunjukkan hal ini seperti yang sudah disebutkan di atas.
  3. Menurut zhahirnya dikhususkan saat mengadakan perjalanan. Di atas telah disebutkan perbedaan pendapat di kalangan ulama dan dalil dari masing-masing pihak. Menurut Ibnu Daqiq Al-Id, hadits ini menunjukkan jamak jika dalam perjalan. Sekiranya tidak ada hadits-hadits lain yang menyebutkan jamak tidak seperti gambaran ini, tentu dalil ini mengharuskan jamak dalam kondisi yang lain. Diperbolehkannya jamak di dalam hadits ini berkaitan dengan suatu sifat yang tidak mungkin diabaikan begitu saja. Jika jamak dibenarkan ketika singgah, maka pengamalannya lebih baik, karena adanya dalil lain tentang pembolehannya diluar gambaran ini, yaitu dalam perjalanan. Tegaknya dalil ini menunjukkan pengabaian pengungkapan sifat ini semata. Dalil ini tentu tidak dapat dianggap bertentangan dengan pengertian di dalam hadits ini, karena pembuktian pembolehan apa yang disampaikan di dalam gambaran ini secara khusus, jauh lebih kuat.
  4. Hadits ini dan juga hadits-hadits lainnya menunjukkan bahwa jamak dikhususkan untuk shalat Dhuhur dengan Ashar, Mgahrib dengan Isya, sedangkan Subuh tidak dapat dijamak dengan shalat lainnya.

[Disalin dari kitab Taisirul-Allam Syarh Umdatul Ahkam, Edisi Indonesia Syarah Hadits Pilihan Bukhari Muslim, Pengarang Syaikh Abdullah bin Abdurrahman bin Shalih Ali Bassam, Penerbit Darul Fallah]

Sumber : http://almanhaj.or.id
_________
Foote Note
[1]. Ini lafazh Al-Bukhary dan bukan Muslim, seperti yang dikatakan Abdul haq yang menghimpun Ash-Shahihain. Ibnu Daqiq Al-Id juga mengingatkan hal ini. Mushannif mengaitkan takhrij hadits ini kepada keduanya, karena melihat asal hadits sebagaimana kebiasaan para ahli hadits, karena Muslim mentakhrij dari riwayat Ibnu Abbas tentang jama' antara dua shalat, tanpa mempertimbangkan lafazhnya. Inilah yang telah disepakati bersama. Menurut Ash-Shan'any. Al-Bukhary tidak metakhrijnya kecuali berupa catatan. Hanya saja dia menggunakan bentuk kalimat yang pasti
[2]. Satu farskah sama dengan empat mil. Satu mil sama dengan satu setengah kilometer. Enam belas farsakh sama dengan enam puluh emapt mil, atau sama denan sembilan puluh enam kilometer.





Shalat Qashar dalam Perjalanan

Oleh:
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman bin Shalih Ali Bassam

Qashar di sini berlaku untuk shalat-shalat empat rakaat, yaitu Dhuhur, Ashar dan Isya. Dinukil dari Ibnul Mundzir adanya ijma' bahwa tidak ada qashar dalam shalat Maghrib dan Shubuh. Tidak ada sebab untuk qashar ini kecuali perjalanan, karena ini merupakan rukhshah yang ditetapkan sebagai rahmat bagi musafir dan adanya kesulitan yang dialaminya

[Artinya:] Dari Abdullah bin Umar Radhiyallahu anhum, dia berkata, "Aku menyertai Rasulullah, dan beliau tidak melebihkan shalat dalam perjalanan dari dua rakaat, begitu pula yang dilakukan Abu Bakar, Umar dan Utsaman".

Makna Hadits
Abdullah bin Umar menuturkan bahwa dia pernah menyertai Nabi dalam perjalanan beliau. Dia juga pernah menyertai Abu Bakar, Umar, dan Utsman dalam perjalanan mereka. Ternyata masing-masing di antara mereka senantiasa mengqashar shalat empat rakaat menjadi dua rakaat dan tidak lebih dari dua rakaat itu.

Perbedaan Pendapat di Kalangan Ulama
Para ulama saling berbeda pendapat tentang qashar, apakah itu wajib ataukah rukhshah yang disunnatkan pelaksanaannya ?

Tiga Imam, Malik, Asy-Syafi'i, dan Ahmad membolehkan penyempurnaan shalat, namun yang lebih baik adalah mengqasharnya. Sedangkan Abu Hanifah mewajibkan qashar, yang juga didukung Ibnu Hazm. Dia berkata, "Fardhunya musafir ialah shalat dua rakaat".

Dalil orang yang mewajibkan qashar ialah tindakan Rasulullah yang senantiasa mengqashar dalam perjalanan. Hal ini dapat ditanggapi bahwa perbuatan tidak menunjukkan kewajiban. Begitulah pendapat jumhur. Mereka juga berhujjah dengan hadits Aisyah di dalam Ash-Shahihain, "Shalat diwajibakan dua rakaat, lalu ditetapkan shalat dalam perjalanan dan shalat orang yang menetap disempurnakan".

Hujjah ini dapat ditanggapi dengan beberapa jawaban. Yang paling baik ialah, ini merupakan perkataan Aisyah yang tidak dimarfu'kan kepada Nabi. Sementara Aisyah juga tidak mengikuti masa difardhulkannya shalat.

Adapun dalil-dalil jumhur tentang tidak wajibnya qashar ialah firman Allah.
[Artinya:] "Maka tidaklah mengapa kalian mengqashar shalat kalian". (Qs. An-Nisa: 101)

Penafian di dalam ayat ini menunjukkan bahwa qashar itu merupakan rukhshah dan bukan sesuatu yang dipastikan. Di samping itu, dasarnya adalah penyempurnaannya. Adanya qashar karena dirasa shalat itu terlalu panjang. Dalil lainnya adalah hadits Aisyah, bahwa Rasulullah Shallallahu pernah mengqqashar dalam perjalanan dan menyempurnakannya, pernah puasa dan tidak puasa (Diriwayatkan Ad-Daruquthni, yang menurutnya, ini hadits Hasan).

Dalil-dalil jumhur dapat ditanggapi sebagai berikut: Ayat ini disebutkan tentang qashar sifat dalam shalat khauf dan hadits tentang hal ini dipermasalahkan. Sampai-sampai Ibnu Taimiyah berkata: "Ini merupakan hadits yang didustakan terhadap Rasulullah".

Saya katakan, sebaiknya musafir tidak meninggalkan qashar, karena mengikuti Rasulullah Shallallahu dan sebagai cara untuk keluar dari perbedaan pendapat dengan orang yang mewajibkannya, dan memang qashar inilah yang lebih baik menurut mayoritas ulama.

Dikutip dari Ibnu Taimiyah di dalam Al-Ikhtiyarat, tentang kemakruhan menyempurnakannya. Dia menyebutkan nukilan dari Al-Imam Ahmad, yang tidak mengomentari sahnya shalat orang yang menyempurnakan shalat dalam perjalanan, Ibnu Taimiyah juga berkata: "Telah diketahui secara mutawatir, bahwa Rasulullah Shallallahu senantiasa shalat dua rakaat dalam perjalanan, begitu pula yang dilakukan Abu Bakar dan Umar setelah beliau. Hal ini menunjukkan bahwa dua rakaat adalah lebih baik. Begitulah pendapat mayoritas ulama."

Kesimpulan Hadits 
  1. Pensyaratan qashar shalat empat rakaat dalam perjalanan menjadi dua rakaat saja. 
  2. Qashar merupakan sunnah Rasulullah Shallallahudan sunnah Al-Khulafa Ar-Rasyidun dalam perjalanan mereka.
  3. Qashar bersifat umum dalam perjalanan haji, jihad dan segala perjalanan untuk ketaatan. Para ulama juga memasukkan perjalanan yang mubah. Menurut An-Nawawy, jumhur berpendapat bahwa dalam semua perjalanan yang mubah boleh dilakukan qashar. Sebagian ulama tidak membolehkan qashar dalam perjalanan kedurhakaan. Yang benar, rukhshah ini bersifat umum dan sama untuk semua orang.
  4. Kasih sayang Allah terhadap makhlukNya dan keluwesan syariat ini, yang memberi kemudahan dalam beribadah kepada makhluk. Karena perjalanan lebih sering mendatangkan kesulitan, maka dibuat keringanan untuk sebagian shalat, dengan mengurangi bilangan rakaat shalat. Jika tingkat kesulitan semakin tinggi seperti karena memerangi musuh, maka sebagian shalat juga diringankan.
  5. Perjalanan di dalam hadits ini tidak terbatas, tidak dibatasi dengan jarak jauh. Yang lebih baik ialah dibiarkan menurut kemutlakannya, lalu rukhshah diberikan kepada apapun yang disebut perjalanan. Pembatasanya dengan tempo tertentu atau jarak farsakh tertetntu, tidak pernah disebutkan di dalam nash. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: "Perjalanan tidak pernah dibatasi oleh syariat, tidak ada pembatasan menurut bahasa. Hal ini dikembalikan kepada tradisi manusia. Apa yang mereka sebut dengan perjalanan, maka itulah perjalanan".

[Disalin dari kitab Taisirul-Allam Syarh Umdatul Ahkam, Edisi Indonesia Syarah Hadits Pilihan Bukhari Muslim, Pengarang Syaikh Abdullah bin Abdurrahman bin Shalih Ali Bassam, Penerbit Darul Fallah]
Sumber : http://almanhaj.or.id




Wala' dan Bara' dalam Islam (5): Pembagian Manusia dalam Masalah Wala' wal Bara'


Manusia dalam masalah wala’ dan bara’ terbagi menjadi tiga bagian:

1. Mereka yang dicintai dengan suatu kecintaan yang murni, sama sekali tidak terdapat permusuhan dalam kecintaannya.
Mereka adalah kaum mu'minin sejati seperti para Nabi, orang–orang yang jujur dalam keimanannya, syuhada’ dan shalihin. Dan yang paling mulia dari mereka adalah Rasulullah, oleh karena itu wajib pula mencintai beliau lebih besar daripada kecintaan kita terhadap diri sendiri, anak, orang tua dan manusia seluruhnya.

Kemudian isteri-isteri beliau yang merupakan ibu kaum mu'minin, Ahlul bait (keluarga Nabi) dan para sahabatnya yang mulia, terutama Khulafa'ur Rasyidin dan sepuluh sahabat (yang dijamin masuk surga), kaum muhajirin dan anshar, orang yang ikut serta dalam perang Badar dan orang yang pernah berbai’at dengan Nabi di Bai`atur Ridwan, kemudian
para sahabat yang lainnya.

Lalu para tabi’in dan orang-orang yang hidup pada abad yang terbaik, ulama-ulama salaf dan para imam yang empat.

Allah berfirman:
, yang artinya:
“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar) mereka berdo’Allah, "Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha
Penyantun lagi Maha Penyayang.” (Qs. Al-Hasyr:10).

Dan tidak boleh bagi orang yang di hatinya masih ada iman membenci sahabat Nabi dan para ulama salaf pada umat ini.
Orang-orang yang membenci mereka adalah orang yang hatinya cenderung untuk menyimpang, kaum munafik dan musuh-musuh Islam seperti golongan syi'ah rafidhah dan khawarij.

2. Orang yang dibenci dan dimusuhi dengan sebenarnya, serta tidak ada suatu kecintaan sama sekali kepada mereka.
Mereka adalah kaum kafir murni dari orang-orang yang kafir, musyrik, munafik, murtad dan
orang-orang yang menentang Islam dari berbagai golongan.

Sebagaimana firman Allah
, yang artinya:
“Kamu tidak akan mendapati suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak, atau saudara-saudara atau pun keluarga mereka.” (Qs. Al-Mujadilah : 22).

Allah mencela Bani Israel dalam firman-Nya, yang artinya:
“Kamu melihat kebanyakan dari mereka tolong-menolong dengan orang-orang yang kafir (musyrik). Sesungguhnya amat buruklah apa yang mereka sediakan untuk diri mereka, yaitu kemurkaan Allah kepada mereka dan mereka akan kekal dalam siksaan. Sekiranya mereka beriman kepada Allah, kepada Nabi (Musa) dan kepada apa yang diturunkan kepadanya (Nabi), niscaya mereka tidak akan mengambil orang-orang musyrikin itu menjadi
penolong-penolong, tapi kebanyakan dari mereka adalah orang-orang fasik.” (Qs. Al-Maidah: 80-81).

3. Orang yang dicintai karena suatu hal dan dibenci karena suatu hal yang lain.
Maka dalam dirinya terkumpul adanya suatu kebencian dan permusuhan, mereka itu adalah orang mukmin yang berbuat kemaksiatan. Mereka dicintai karena ada pada mereka keimanan dan dibenci karena ada pada mereka kemaksiatan yang bukan termasuk kekafiran dan kemusyrikan.

Mencintai mereka dengan konsekwensi menasehati mereka dan mengingkari perbuatan maksiat yang mereka lakukan, bahkan harus mengingkarinya, agar mereka diajak kepada yang baik dan dilarang dari yang mungkar. Dan hendaknya ditegakkan atas mereka hukum-hukum serta ancaman-ancaman sehingga mereka jera dari kemaksiatan dan bertaubat dari kejahatan. 
Akan tetapi mereka tidaklah dibenci dengan kebencian yang sepenuhnya dan berlepas diri dari mereka, sebagaimana dikatakan oleh kelompok khawarij dalam hal orang yang melakukan dosa besar, yang tidak sama dengan perbuatan syirik. Mereka juga tidak dicintai dan diberi kesetiaan penuh sebagaimana yang dikatakan oleh kelompok murji’ah, tetapi hendaknya adil dalam menyikapi keadaan mereka, sebagaimana yang dijelaskan dalam mazhab Ahlussunnah wal jama’ah.

Suatu kecintaan yang didasarkan karena Allah, dan kebencian karena Allah adalah tali yang sangat kuat dalam keimanan, dan seseorang akan berada bersama dengan orang yang dicintainya di hari kiamat. Demikian di jelaskan dalam sebuah hadits.

Situasi dan keadaan telah berubah, kini kebanyakan manusia setia dan memusuhi karena urusan dunia. Mereka berwala’ terhadap orang yang memiliki kekuasaan, kenikmatan dunia meskipun orang tersebut adalah musuh Allah, Rasul dan agama Islam. Sedang orang yang tidak memiliki nasib baik, mereka memusuhinya, meski orang tersebut adalah wali Allah dan setia terhadap Rasul-Nya, bahkan dikarenakan sebab yang sepele mereka mengucilkan dan menghinakannya.

Abdullah bin Abbas berkata: “Barangsiapa mencintai karena Allah, membenci karena Allah, berwala’ karena Allah dan memusuhi karena Allah, (maka ketahuilah) bahwasanya perwalian Allah itu hanya bisa dicapai dengan amalan. Dan umumnya manusia mengikat tali
persaudaraan karena perkara dunia. Yang demikian itu tidaklah mendatangkan suatu manfa'at sedikitpun bagi pelakunya.

Diriwayatkan oleh Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah bersabda
, yang artinya: “Sesunguhnya Allah berfirman: "Barangsiapa memusuhi wali-Ku, maka sungguh Aku telah mengumumkan perang padanya.” (HR. Al-Bukhari).

Orang yang paling memusuhi Allah adalah orang yang memusuhi sahabat Nabi, mencela dan merendahkan martabat mereka, padahal Rasulullah telah bersabda, yang artinya:
“Takutlah kepada Allah, Takutlah kepada Allah, terhadap kehormatan sahabatku, janganlah kalian menjadikan mereka sebagai sasaran (cemoohan dan ejekan), barangsiapa menyakiti mereka maka sungguh dia telah menyakiti aku, dan barangsiapa menyakiti aku maka sungguh ia telah menyakiti Allah, dan barangsiapa yang telah menyakiti Allah dikhawatirkan Allah akan menyiksanya.”

Sikap mengejek dan memusuhi sahabat Nabi kini telah menjadi agama dan aqidah sebagian golongan dan kelompok sesat.

Kita berlindung kepada Allah U dari kemurkaan-Nya dan pedih siksaan-Nya. Semoga shalawat dan dalam tetap tercurah ke atas Nabi Muhammad, keluarga, sahabat dan orang-orang yang mengikutinya dengan baik hingga hari kemudian.


Sumber: Al-Wala' wal Bara' fil Islam, Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan


Wala' dan Bara' dalam Islam (4): Hal-hal yang Perlu Diperhatikan



Allah berfirman, yang artinya:
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena (agama) dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.”(Qs. Al-Mumtahanah: 8).

Pengertiannya adalah, barangsiapa di antara orang-orang kafir yang telah menahan diri untuk tidak mengganggu, tidak memerangi dan tidak mengusir kaum muslimin dari kampung halaman mereka, maka dalam menghadapi orang-orang kafir semacam itu, kaum muslimin harus memberikan suatu balasan yang seimbang, yakni dengan kebaikan dan berlaku adil dalam hubungan yang bersifat duniawi. Meski demikian, hati mereka tetap tidak boleh mencintai orang kafir, karena Allah berfirman
, yang artinya:
“…untuk berbuat baik dan berlaku adil kepada mereka.” (Qs. Al-Mumtahanah : 8).
Dan Allah tidak berfirman : “Untuk berwala’ (setia) dan mencintai mereka.”

Dan sebagai perbandingan dalam masalah ini, Allah berfirman tentang keadaan kedua orang tua yang kafir
, yang artinya:
“Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak
ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku.”(Q.S; Luqman:15).
Pada suatu ketika ibunda Asma’ binti Abi Bakar yang kafir datang kepadanya (di Madinah) dengan maksud meminta agar hubungan kekeluargaan tetap terjalin meskipun dia kafir, lalu Asma’ minta izin kepada Rasulullah tentang hal itu, maka beliau bersabda, yang artinya:  “Sambunglah hubungan kekeluargaan dengan ibumu.”

Dan Allah telah berfirman
, yang artinya:
“Kamu tidak akan mendapati suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak, atau saudara-saudara atau pun keluarga mereka.” (Qs. Al-Mujadilah : 22).

Maka hubungan silaturrahim dan saling membalas budi dalam urusan dunia adalah suatu perkara, sedang suatu sikap rasa cinta dan kasih sayang adalah perkara yang lain.

Disamping menyambung tali kekeluargaan dan hubungan yang baik merupakan suatu pemikat agar orang kafir mau masuk Islam. Dengan demikian perkara tersebut merupakan bagian dari sarana dakwah. Berbeda halnya dengan kasih sayang dan kesetiaan yang menunjukkan setuju dengan keadaan orang kafir, seperti; akhlak, aqidahnya, ibadah dan lain-lain. Yang demikian itu menyebabkan tidak ada keinginan bagi seseorang untuk mengajak mereka masuk Islam.

Demikian pula di haramkannya berwala’ terhadap orang kafir, bukan berarti di haramkan bergaul dengan mereka dalam hal hubungan dagang yang mubah, meng-import barang-barang dan industri, atau mengambil manfaat dari pengalaman dan temuan-temuan mereka. Nabi pernah menyewa Ibnu Uraiqith Al-Laitsi yang kafir, menjadi penunjuk jalan ketika beliau hijrah ke Madinah. Juga beliau pernah berhutang kepada beberapa orang Yahudi.

Kondisi umat islam dewasa ini yang senantiasa meng-import barang-barang dan industri dari orang kafir, hal ini termasuk dalam masalah jual beli dengan harga yang pantas, bukan berarti mereka memiliki kelebihan dan keutamaan atas kita, dan hal itu juga bukan salah satu sebab timbulnya rasa cinta dan wala’ kepada mereka. Allah mewajibkan untuk mencintai kaum muslimin dan berwala’ kepada mereka dan membenci orang-orang kafir serta memusuhi mereka.

Allah berfirman
, yang artinya:
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad dengan harta dan jiwanya pada jalan Allah dan orang-orang yang memberikan tempat kediaman dan pertolongan (kepada orangorang muhajirin), mereka itu satu sama lain saling melindungi.” (Q.S; Al-Anfal : 72).

Tentang firman Allah
, yang artinya:
“Adapun orang-orang yang kafir, sebagian mereka menjadi pelindung bagi sebagian yang lain. Jika kamu (hai para muslimin) tidak melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah itu, niscaya akan terjadi kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar.” (Q.S; Al-Anfal :73 ).

Al Hafidz Ibnu Katsir berkata,“Makna firman Allah: "Jika kamu tidak melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah itu niscaya akan terjadi kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar" adalah jika kalian tidak menjauhi kaum musyrikin dan tidak memberikan loyalitas terhadap kaum mu'minin, ketika kamu tidak melakukan hal itu, niscaya akan terjadi fitnah  di tengah manusia berupa pencampur-adukan antara perkara kaum mu'minin dengan kaum kafir, hingga menyebabkan kerusakan yang luas dan menyebar.”

Ironisnya, kenyataan ini telah terjadi di zaman sekarang ini. Semoga Allah menolong kita.


Sumber: Al-Wala' wal Bara' fil Islam, Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan

Wala' dan Bara' dalam Islam (3): Beberapa Fenomena yang Tampak dari Sikap Wala' terhadap Kaum Muslimin


1. Hijrah ke negeri kaum muslimin dan meninggalkan negeri kaum kafir.
Hijrah adalah berpindah dari negeri kafir ke negeri muslim dengan maksud untuk menyelamatkan agama. Hijrah dengan pengertian dan tujuan seperti ini adalah wajib dan tetap ada sampai matahati terbit dari barat pada saat datangnya hari kiamat. 

Nabi berlepas diri dari setiap muslim yang menetap di tengah-tengah kaum musyrikin, oleh karena itu diharamkan atas setiap muslim menetap di negeri kaum kafir, kecualli bila dia tidak mampu hijrah meninggalkan tanah air orang kafir atau keberadaannya di sana membawa manfaat bagi agama, seperti untuk berda’wah ke jalan Allah dan menyebarkan Islam.
 
Allah berfirman, yang artinya:
“Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya: "Dalam keadaan bagaimana kamu ini?". Mereka menjawab : "Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Makkah)". Para malaikat berkata : "Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?". Orang-orang itu tempatnya neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali. Kecuali mereka yang tertindas baik laki-laki, atau wanita, ataupun anak-anak yang tidak mampu berdaya upaya dan tidak mengetahui jalan (untuk hijrah). Mereka itu mudah-mudahan Allah mema'afkannya. Dan adalah Allah Maha Pema'af lagi Maha Pengampun.” (Qs. An-Nisa’ : 97-99).

2. Berusaha menolong dan membantu kaum muslimin dengan jiwa, harta dan lisan, dalam segala hal yang mereka butuhkan, baik dalam urusan agama maupun dunia.
Allah berfirman
, yang artinya:
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka adalah menjadi penolong bagi sebahagian yang lain.” (Q.s At-Taubah :71).

“(Akan tetapi) jika mereka meminta pertolongan kepadamu dalam (urusan) pembelaan agama, maka  kamu wajib memberikan pertolongan kecuali terhadap kaum yang telah ada perjanjian antara kamu dengan mereka.” (Qs. Al-Anfal : 72).

3. Turut merasakan sakit yang mereka rasakan dan ikut bergembira dengan kegembiraan mereka. 
Nabi bersabda, yang artinya:
“Perumpamaan kaum muslimin di dalam kasih sayangnya, belas kasihnya dan sayangmenyayanginya bagaikan satu tubuh, apabila satu bagian tubuh merasa sakit (menderita) maka seluruh tubuh menjadi demam dan tidak bisa tidur karenanya.”

Nabi bersabda
, yang artinya:
“Seorang mukmin yang satu dengan mukmin yang lainnya bagaikan bangunan yang kuat, menguatkan sebagian yang satu atas sebahagian yang lainnya.”
Dan Nabi merapatkan jari-jarinya (memberi perumpamaan).

4. Memberikan nasehat kepada mereka, menyukai kebaikan bagi mereka, tidak berkhianat dan tidak menipunya.
Nabi bersabda
, yang artinya:
“Tidak beriman salah seorang diantara kamu hingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.”

“Orang muslim adalah saudara muslim yang lain, tidak mengolok-oloknya, tidak merendahkannya dan tidak pula menyerahkanya (kepada bahaya). Cukuplah sebagai kejahatan seorang muslim yang mengolok-olok saudaranya yang lain. Setiap muslim atas muslim lainnya adalah haram, darahnya, hartanya dan kehormatannya.”

“Janganlah kalian saling membenci, saling membelakangi, saling menawar dagangan dengan harga yang tinggi untuk menipu orang lain agar ia membeli dengan harga yang tinggi dan jangan menjual (dagangan) atas transaksi jual beli muslim lainnya. Jadilah kalian sebagai hamba-hamba Allah yang bersaudara.”

5. Menghormati dan memuliakan kaum muslimin serta tidak merendahkan dan mencela mereka.
Allah berfirman
, yang artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok). Dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olokkan) wanita yang lain (karena) boleh jadi wanita (yang diolok-olokkan) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olok). Dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri, dan janganlah kamu panggil-memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk (panggilan) ialah panggilan yang buruk sesudah iman, dan barangsiapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian dari prasangka itu adalah dosa, dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain, dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain. Sukakah seorang diantara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (Qs. Al-Hujurat: 11-12).

6. Senantiasa bersama-sama dengan mereka, baik dalam keadaan sempit (miskin) maupun lapang (kaya), dan dalam keadaan susah maupun senang.
Berbeda dengan orang-orang munafik yang hanya bersama dengan kaum muslimin pada saat lapang dan senang, dan mereka meninggalkan kaum muslimin ketika dalam keadaan sempit dan susah.

Allah berfirman
, yang artinya:
“(Yaitu) orang-orang yang menunggu (peristiwa) yang akan terjadi pada dirimu (hai orang-orang mukmin), maka jika terjadi bagimu kemenangan dari Allah, mereka berkata,"Bukankah kami turut berperang bersama kamu?’ Dan jika orang-orang kafir mendapat keberuntungan (kemenangan) mereka berkata,"Bukankah kami turut memenangkanmu dan membela kamu dari orang-orang mukmin’.Maka Allah akan memberi keputusan diantara kamu di hari kiamat dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.” (Qs. An-Nisa’ :141).

7. Mengunjungi kaum muslimin, senang bertemu dan berkumpul bersama mereka.
Di dalam hadits qudsi disebutkan:
“Aku pasti mencintai orang-orang yang saling kunjung-mengunjungi karena-Ku.”

Di dalam hadits lain Nabi bersabda
, yang artinya:
“Bahwasanya ada seseorang yang akan mengunjungi saudaranya karena Allah, maka Allah
mengirimkan malaikat (berupa manusia) yang menghadangnya di jalan, dan bertanya,"Hendak ke mana engkau?’, dia menjawab,"Saya akan pergi berkunjung kepada seorang saudaraku di jalan Allah." Dia bertanya,"Apakah kamu punya hajat yang engkau harapkan darinya?’ dia menjawab ,"Tidak, hanya aku mencintainya karena Allah.’ Malaikat berkata,"Saya adalah utusan Allah kepadamu untuk menyampaikan bahwa Allah mencintaimu sebagaimana engkau mencintai saudaramu itu karena Allah.”

8. Menghargai hak-hak orang mukminin.
Ia tidak mau menjual atas penjualan kaum mukminin (tidak berebut pembeli), tidak menawar
barang yang telah ditawar, tidak meminang wanita yang telah dipinang, dan tidak merebut apa yang telah mereka dahului dalam perkara yang mubah.

Nabi  bersabda
, yang artinya:
“Ketahuilah, tidak boleh bagi seseorang untuk menjual atas penjualan saudaranya, dan tidak boleh meminang (wanita) yang telah dipinang saudaranya.”

Dalam riwayat lain ditambahkan: “Dan tidak boleh menawar barang yang telah ditawar oleh saudaranya.”

9. Bersikap lemah lembut terhadap kaum yang lemah diantara kaum muslimin.
Nabi bersabda, yang artinya:
“Tidak termasuk golongan kami orang yang tidak menghormati yang lebih tua dan tidak mengasihi orang yang lebih muda.”

Di dalam hadits lain:
“Bukankah kalian tidak diberikan kemenangan dan rizki terkecuali disebabkan karena orang-orang yang lemah diantara kalian?”

Allah berfirman
, yang artinya:
“Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi hari dan senja hari dengan mengharap keridha'an-Nya, dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan kehidupan dunia.” (Qs. Al-Kahfi : 28).

10. Mendo'akan kaum muslimin dan memintakan ampunan buat mereka.
Allah berfirman, yang artinya:
“Dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mu'min, laki-laki dan perempuan.” (Q.s. Muhammad : 19).

Dan juga Firman Allah, yang artinya:
“Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami.” (Qs. Al-Hasyr : 10).


Sumber: Al-Wala' wal Bara' fil Islam, Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan


Wala' dan Bara' dalam Islam (2): Beberapa Fenomena yang Tampak dari Sikap Wala' terhadap Orang Kafir


1. Menyerupai mereka dalam tata cara berpakaian, berbicara dan sebagainya.
Karena menyerupai orang kafir dalam berpakaian, berbicara dan lain sebagainya menunjukkan suatu kecintaan terhadap mereka yang diserupainya. Oleh karena itu Rasulullah bersabda, yang artinya:
“Barangsiapa menyerupai suatu kaum maka ia adalah bagian dari mereka.”

Oleh karena itu diharamkan menyerupai orang-orang kafir dalam hal yang menjadi ciri khas
mereka, baik berupa tradisi atau adat istiadat, ibadah, simbol dan akhlak mereka, seperti mencukur janggut, memanjangkan kumis, berbicara dengan bahasa mereka kecuali dalam keadaan terpaksa, demikian pula dengan mode mereka dalam berpakaian, makan, minum, dan lain sebagainya.

2. Bermukim di negeri kafir dan tidak mau berpindah (hijrah) ke negeri kaum muslimin demi menyelamatkan agamanya. 
Hijrah dalam pengertian dan dengan tujuan di atas hukumnya wajib. Karena seorang muslim yang bermukim di negeri kafir menunjukkan kecintaannya terhadap orang kafir. Dari sinilah Allah mengharamkan orang muslim untuk tinggal di tengah-tengah orang kafir bila dia mampu untuk melakukan hijrah.

Allah berfirman
, yang artinya:
“Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya: "Dalam keadaan bagaimana kamu ini?". Mereka menjawab, "Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Makkah)". Para malaikat berkata,"Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?". Orang-orang itu tempatnya neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali. Kecuali mereka yang tertindas baik laki-laki, atau wanita, ataupun anak-anak yang tidak mampu berdaya upaya dan tidak mengetahui jalan (untuk hijrah). Mereka itu mudah-mudahan Allah mema'afkannya. Dan adalah Allah Maha Pema'af lagi Maha Pengampun.”(Qs. An-Nisa’ : 97-99).
 
Allah tidak menerima alasan menetap di negeri kafir kecuali orang-orang lemah yang tidak mampu untuk hijrah, demikian pula orang yang tetap tinggal di negeri kafir dengan alasan kemaslahatan agama, seperti; dakwah ke jalan Allah dan menyebarkan Islam di negeri tersebut.

3. Bepergian ke negeri kafir dengan tujuan wisata dan bersenang-senang.
Hal yang demikian haram hukumnya kecuali untuk hal yang sangat diperlukan, seperti berobat, berdagang, studi tentang sesuatu yang bermanfaat yang tidak bisa tercapai kecuali dengan mengadakan perjalanan ke negeri mereka, maka hal itu diperbolehkan sesuai dengan kebutuhan. Jika kebutuhannya sudah terpenuhi, ia wajib kembali ke negeri Islam.

Dan diperbolehkannya mengadakan perjalanan semacam ini, dengan ketentuan ia mampu menampakkan agamanya, bangga dengan keislamannya, menjauhi tempat-tempat kejahatan, waspada terhadap makar musuh-musuhnya dan tipu daya mereka.

Dan diperbolehkan juga bepergian atau bahkan wajib pergi ke negeri kafir, apabila dimaksudkan untuk berdakwah ke jalan Allah dan menyebarkan Islam.

4. Membantu orang kafir dan menolong mereka dalam usaha melawan kaum muslimin, mengirim bantuan dan melindungi mereka.
Ini termasuk hal yang membatalkan ke-Islaman dan menyebabkan seseorang menjadi murtad. Kita berlindung kepada Allah dari hal tersebut.

5. Mengangkat orang kafir sebagai orang kepercayaan atau penasihat pada suatu jabatan yang menyangkut kemaslahatan umat islam.
 Allah berfirman, yang artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu, telah nyata kebencian dari mulut mereka dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka lebih besar lagi, sungguh telah kami terangkan kepadamu ayat-ayat Kami, jika kamu memahaminya. Beginilah kamu, kamu menyukai mereka, padahal mereka tidak menyukai kamu dan kamu beriman kepada kitab-kitab semuanya, apabila mereka menjumpai kamu mereka berkata, "Kami beriman". Dan apabila mereka menyendiri mereka menggigit ujung jari lantaran marah bercampur benci terhadap kamu. Katakanlah kepada mereka : "Matilah kamu karena kemarahanmu itu". Sesungguhnya Allah mengetahui segala isi hati. Jika kamu memperoleh kebaikan, niscaya mereka bersedih hati, tetapi jika kamu mendapat bencana mereka bergembira karenanya. Jika kamu bersabar dan bertakwa, niscaya tipu daya mereka sedikitpun tidak mendatangkan kemudharatan kepadamu. Sesungguhnya Allah Mengetahui segala apa yang mereka kerjakan.” (Qs. Ali Imran :118-120).

Ayat-ayat yang mulia ini mengungkapkan hakikat orang kafir dan apa yang mereka sembunyikan dari kaum muslimin, yaitu; berupa kebencian dan siasat untuk melawan kaum muslimin, seperti; tipu daya dan pengkhianatan. Dan ayat ini, juga mengungkapkan tentang kegembiraan mereka bila kaum muslimin ditimpa musibah. Dengan berbagai cara mereka menyakiti umat Islam. Mereka memanfaatkan kepercayaan umat Islam terhadap mereka untuk menyusun rencana yang membahayakan dan mengancam Islam.

Imam Ahmad telah meriwayatkan dari Abu Musa Al-Asy’ari radhiallahu 'anhu, dia berkata kepada Umar, “Saya memiliki juru tulis yang beragama nasrani.” Umar berkata : “Mengapa kamu berbuat demikian? Celakalah engkau. Tidakkah engkau mendengar Allah berfirman
, yang artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimin-pemimpinmu, sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain.”(Qs. Al-Maidah: 51).

Kenapa engkau tidak mengangkat seorang muslim menjadi juru tulismu?” Abu Musa menjawab,“Wahai Amirul mu'minin, saya hanya membutuhkan tulisannya, adapun urusan agama, terserah dia”. Umar berkata,“Saya tidak akan memuliakan mereka karena Allah telah menghinakan mereka, saya tidak akan mengangkat derajat mereka karena Allah telah merendahkan mereka dan saya tidak akan mendekatkan mereka karena Allah telah menjauhkan mereka.”

Imam Ahmad dan Muslim meriwayatkan, bahwasanya Nab keluar menuju Badar. Tiba-tiba seorang musyrik menguntitnya dan berhasil menyusul beliau ketika sampai di Herat, lalu dia berkata, “Sesungguhnya aku ingin mengikutimu dan ikut ambil bagian dalam perang ini.” Nabi bersabda, “Apkah engkau telah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya?” dia berkata, “Tidak!” Beliau bersabda, “Kembalilah, karena saya tidak butuh bantuan orang musyrik.”

Dari nash-nash di atas jelaslah bagi kita tentang haramnya mengangkat orang kafir menduduki jabatan penting yang menyangkut kemaslahatan umat islam, karena jabatan tersebut dapat mereka manfaatkan untuk mengetahui kelemahan dan menyingkap rahasia-rahasia umat islam, yang pada gilirannya mereka mampu membuat sebuah makar yang membahayakan umat.

Namun ironi sekali karena hal ini banyak terjadi pula di negeri kaum muslimin, sebagai contoh; negeri Haramain Syarifain (Arab Saudi) banyak merekrut orang kafir sebagai pekerja, sopir, pelayan, dan pembantu di rumah-rumah, mereka bergaul bersama keluarga muslim atau membaur dengan kaum muslimin di negeri Islam.

6. Menggunakan penanggalan orang kafir, terutama penanggalan yang mencantumkan hari besar keagamaan dan hari raya mereka, seperti penanggalan masehi.
Penanggalan masehi dibuat untuk memperingati kelahiran Al-masih ‘alaihis salam, penanggalan tersebut mereka ada-adakan sendiri, tanpa ada perintah dari Al-Masih (Nabi Isa). Karena itu menggunakan penanggalan ini berarti ikut berperan dalam menghidupkan syi’ar dan hari raya mereka.

Hendaknya kita menghindari masalah ini, karena para sahabat radhiallahu ‘anhum pun berpaling dari penanggalan orang-orang kafir, dan mereka membuat kalender khusus yang dimulai dari peristiwa hijrahnya Nabi pada masa khalifah Umaru. Hal tersebut menunjukkan wajibnya menyelisihi kaum kuffar dalam masalah ini dan dalam ciri-ciri khas mereka. Semoga Allah memberikan pertolongan kepada kita.

7. Ikut berpartisipasi pada hari raya mereka, atau membantu mereka menyelenggarakannya, atau memberikan ucapan selamat kepada mereka dalam rangka hari tersebut, atau menghadiri upacara perayaannya.
Allah berfirman, yang artinya:
“Dan orang-orang yang tidak memberikan kesaksian palsu.” (Qs. Al-Furqan : 72).

Ayat di ataas ditafsirkan oleh para ulama bahwa di antara sifat-sifat hamba Ar-Rahman, adalah mereka tidak menghadiri acara-acara hari raya yang diadakan oleh orang kafir.

8. Memuji dan membanggakan budaya dan peradaban orang kafir, kagum dengan etika dan kemajuan teknologi mereka tanpa memperhatikan aqidah mereka yang keliru dan agama mereka yang rancu.
Allah berfirman, yang artinya:
“Dan janganlah kamu tujukan kedua matamu kepada apa yang telah Kami berikan kepada golongan-golongan dari mereka sebagai bunga kehidupan dunia untuk Kami cobai mereka dengannya, dan karunia Tuhan kamu adalah lebih baik dan lebih kekal.” (Q.S; Thaha : 131).
 
Ini bukan berarti orang Islam tidak boleh mencari tahu tentang sebab-sebab kekuatan mereka, seperti kemajuan teknologi, teknik militer dan keberhasilan ekonomi mereka, bahkan hal ini justru dituntut dan dibutuhkan.

Allah berfirman
, yang artinya:
“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi.”(Qs. Al-Anfal :60).

Pada dasarnya penemuan-penemuan yang berguna dan rahasia-rahasia alam semesta adalah milik umat islam.
Allah berfirman, yang artinya:
“Katakanlah,"‘Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkanNya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rizki yang baik?" Katakanlah: ‘Semuanya itu disediakan bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di hari kiamat’.” (Qs. Al-A’raf : 32).

Firman Allah
, yang artinya:
“Dan Dia menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-banar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berfikir.” (Qs. Al-Jatsiyah : 13).

Firman Allah
, yang artinya:
“Dialah Allah yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu.” (Qs. Al-Baqarah : 29).
 
Oleh karena itu, kaum muslimin wajib saling berlomba dalam usaha memperoleh berbagai teknologi dan sumber daya alam yang ada, jangan sampai orang kafir yang menikmatinya. Bahkan seyogyanya mereka mampu memiliki berbagai industri dan menciptakan perlengkapanperlengkapan yang diperlukan.

9. Memberi nama dengan nama orang kafir. 
Banyak diantara kaum muslimin yang memberi nama anak-anaknya, baik laki-laki maupun perempuan dengan nama-nama asing dan meninggalkan nama bapaknya, ibunya, kakeknya, neneknya, dan nama-nama yang dikenal di masyarakatnya. Padahal Nabi bersabda, yang artinya: “Sebaik-baik nama adalah Abdullah dan Abdurrahman.”

Perubahan nama-nama tersebut mengakibatkan munculnya suatu generasi yang membawa identitas baru, selanjutnya menyebabkan hubungan antara generasi ini dengan generasi sebelumnya terputus. Juga menghapus identitas nama keluarga tertentu yang biasa dikenal dengan nama-nama khas mereka.

10. Berdoa memohonkan ampunan bagi mereka dan bersikap kasih sayang terhadap mereka.
Allah telah mengharamkan hal demikian dalam firman-Nya, yang artinya:
“Tidaklah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat (nya), sesudah jelas bagi mereka bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka Jahannam.” (Qs. At-Taubah : 113).

Karena memohonkan ampun bagi mereka berarti mencintai mereka dan mengakui keberan agama mereka.
11. Hukum meminta bantuan orang kafir dalam suatu pekerjaan, peperangan dan lain-lain.
a. Meminta bantuan orang kafir dalam suatu pekerjaan
Allah berfirman, yang artinya:“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu, telah nyata kebencian dari mulut mereka dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka lebih besar lagi…" (Qs.: Ali Imran: 118 )

Al- Baghawi rahimahullah berkata, "Maksud firman Allah: "janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang di luar kalanganmu", yaitu: mengangkat orang diluar agamamu untuk menjadi orang kepercayaanmu, kemudian Allah menjelaskan alasan larangan mengangkat orang tersebut untuk menjadi orang kepercayaan dengan firman-Nya: "Mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu".
 
Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah berkata, "Para ahli tahu benar bahwa orang-orang Yahudi, Nasrani dan Munafik yang hidup di bawah naungan daulah islam selalu menyampaikan berita dan rahasia umat islam kepada kaumnya yang berada diluar daulah islam, seperti yang diungkapkan oleh sebuah bait syair yang masyhur:

Setiap permusuhan, dapat diharapkan bersemainya rasa cinta
Kecuali permusuhan yang dikarenakan beda agama

Karena alasan di atas dan alasan lainnya, umat Islam dilarang mengangkat orang kafir untuk menduduki suatu jabatan yang berhubungan langsung dengan hajat umat islam, sesungguhnya mengangkat orang islam yang kemampuannya berada di bawah orang kafir untuk menduduki suatu jabatan lebih bermanfaat untuk umat Islam itu sendiri, baik ditinjau dari sudut agama maupun dunia, sedikit, tetapi halal lebih diberkahi daripada banyak tetapi haram, karena Allah mencabut keberkahan dari sesuatu yang haram." Lihat: Majmu` Al-Fatawa, jilid: 28, hal: 646.
 
Dari uraian di atas dapat kita pahami bahwa:
1. Tidak dibolehkan mengangkat orang kafir untuk menduduki suatu jabatan yang berhubungan langsung dengan hajat dan rahasia umat islam, seperti; jabatan menteri, penasehat kepala Negara atau pegawai di sebuah instansi pemerintahan Islam. 
Allah berfirman, yang artinya:"…janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan)
kemudharatan bagimu…"

2. Dibolehkan mempekerjakan orang kafir dibidang yang tidak penting, yang tidak membahayakan kebijakan daulah islam, seperti; pemandu jalan, perbaikan jalan dan pembangunan gedung, dengan syarat bahwa tidak ada orang islam yang layak melakukan pekerjaan tersebut. Karena sesungguhnya Nabi dan Abu Bakar menyewa seorang musyrik dari bani Dayil sebagai pemandu jalan mereka di saat melakukan hijrah ke Madinah.

b. Meminta bantuan orang kafir dalam peperangan.
Para ulama berbeda pendapat dalam hal ini, pendapat yang kuat mengatakan bolehnya meminta bantuan orang kafir dalam peperangan bila dibutuhkan, dengan syarat orang kafir yang diminta bantuan tersebut dapat dipercaya. Ibnu Al Qayyim berkata, " Diantara pelajaran yang dapat diambil dari perjanjian Hudaibiyah; boleh meminta bantuan orang musyrik yang dapat dipercaya dalam jihad, jika diperlukan, gunanya; orang ini bisa dimanfaatkan sebagai mata-mata untuk mencuri berita dari musuh tanpa ada kecurigaan."

Juga dibolehkan dalam keadaan darurat, seperti hadist yang diriwayatkan oleh Zuhri bahwa Nabi meminta bantuan orang-orang Yahudi pada perang Khaibar di tahun ketujuh Hijriyah, Shafwan ikut dalam perang Hunain, di saat itu ia belum masuk islam, contoh darurat; jumlah orang kafir jauh lebih banyak dan dengan perlengkapan yang menakutkan, dengan syarat, orang kafir tersebut benar-benar berpihak kepada umat islam.

Bila tidak dibutuhkan, maka tidak boleh meminta bantuan mereka, karena bagaimanapun juga orang kafir tetap memendam makar dan kejahatan, karena busuknya hati mereka.


Sumber: Al-Wala' wal Bara' fil Islam, Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan


18 April 2012

Bersihkan Rasa Dengki dari Hati Anda

Sesungguhnya kedengkian dapat mendatangkan kegundahan hati, kebimbangan, dan kesempitan. Hati yang dengki merasa bahwa dirinya lebih buruk dari orang lain dan ia tidak menerima keadaan itu.

Ia menggugat keadaannya tersebut dan berkeinginan agar ia selalu lebih baik daripada orang lain.

Dadanya selalu merasa sempit jika melihat orang lain mendapatkan kenikmatan.

Ia menginginkan kenikmatan yang dianugerahkan kepada orang lain tersebut berpindah tangan kepadanya.

Dan selamanya ia tidak akan puas meskipun harta dunia ditimpakan di atas kepalanya. Dirinya tamak ingin mendapatkan semua kenikmatan dunia yang ada.

Ia akan terus begitu hingga mulutnya dipenuhi dengan tanah (artinya hingga ia mati).

Maka, bersihkanlah rasa dengki dari hati Anda, niscaya dada Anda akan lapang.

 

Doa Pelebur Dosa
Dalam shalat, setelah takbiratul ihram kita disunnahkan membaca doa iftitaf. Muhammad Nashiruddin Al-Albani dalam kitabnya Sifat Shalat Nabi berkata, “Doa-doa iftitah yang dibaca Rasulullah bermacam-macam. Dalam doa iftitah, Rasulullah mengucapkan pujian, sanjungan, dan kalimat keagungan untuk Allah.” Kemudian beliau mencantumkan salah satu doa iftitah yang dicontohkan oleh Rasulullah adalah yang terjemahannya berikut ini.

“Ya Allah, jauhkanlah antara aku dan kesalahanku sebagaimana Engkau menjauhkan antara timur dan barat. Ya Allah, bersihkanlah kesalahanku sebagaimana baju putih dibersihkan dari kotoran. Ya Allah, cucilah aku dari kesalahanku dengan es, air, dan embun.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Sungguh indah doa yang Rasulullah panjatkan kepada Allah. Pernahkah Anda menghayati kata-kata dalam doa tersebut?



17 April 2012

Ridha dan Sabar Atas Musibah


Umar bin Khaththab pernah berkata, “Aku tidak peduli dengan keadaanku, apakah aku dalam hal yang aku senangi, atau yang aku benci. Itu karena aku tidak tahu apakah kebaikan itu terdapat dalam hal yang aku senangi atau dalam hal yang aku benci.” (Mawa’izu Ash-Shahabah)

Ini adalah ucapan yang menunjukkan keridhaan atas takdir Illahi. Sesuatu keadaan yang dialami oleh seorang hamba merupakan takdir Allah. Kenikmatan yang dianugerahkan dan ujian yang ditimpakan adalah dari Allah. Dan segala yang menimpa seorang hamba mempunyai hikmah. Bencana yang menghancurkan gedung-gedung, mencabik-cabik tanah tempat berpijak, mencurahkan air bah yang deras, mencerabut pepohonan, melontarkan batu-batu panas, dan menurunkan hujan abu panas dan asap beracun. Ketahuilah bahwa ada hikmah di balik semua bencana itu. Mungkin kita merasa menderita dan susah payah ditimpa ujian. Ada dua sikap yang baik, yaitu ridha dan sabar. Karena kita tidak atau belum mengetahui hikmah dalam ujian yang menimpa kita.

Ketika ujian semakin terasa berat, mungkin kita merasakan seolah-olah Allah berlaku zalim kepada kita. Kita merasa ditelantarkan, dihinakan, dan dijatuhkan ke dalam jurang kehancuran. Namun, apakah kita akan menolak takdir itu? Sekali-kali tidak, karena kita tidak mempunyai hak dan tidak mempunyai kemampuan untuk menolak takdir.

Umar bin Khaththab berkata, “Sesungguhnya kebaikan itu semuanya berada dalam keridhaan. Jika engkau mampu untuk ridha, maka lakukanlah. Dan jika tidak bisa maka bersabarlah.” (Mawa’izu Ash-Shahabah)

Sikap yang baik dalam menghadapi ujian adalah ridha atas ketentuan Allah tersebut. Meskipun kita membenci kejadian buruk menimpa kita, akan tetapi “boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui” (Qs. Al-Baqarah: 216).


TERJADILAH APA YANG SEHARUSNYA TERJADI 

Kebijaksanaan orang Jawa mengatakan, “Urip mung sadermo nglakoni”. Ungkapan ini bukanlah suatu bentuk sikap pasrah pada sebuah keadaan. Ketika terjadi musibah gunung meletus, orang-orang mengungsi, persediaan makanan menipis, air bersih langka. Dalam keadaan seperti itu, maka ungkapan Urip mung sadermo nglakoni menjadi penghibur yang dapat menenangkan hati. Bagaimana hati tidak tenang, sedangkan ia tahu bahwa apa yang telah menimpa dirinya sudah merupakan suratan takdir. Hidup sulit di pengungsian dengan makanan seadanya dan diselimuti udara pengab ataupun hidup nyaman dengan makanan enak di ruangan ber-AC, bukankah keduanya adalah takdir Illahi atas hamba-Nya?

Jika kita sadar bahwa senang, susah, kaya, miskin, pintar, bodoh, hidup dan mati kita sudah ada dalam takdir Allah, maka hati ini akan menjadi tenang. Ketika diberi kekayaan maka ia sadar bahwa saat itu ia memang sedang diberi nikmat berupa harta. Harta itu tentu menjadi ujian baginya, apakah ia akan bersyukur atau ia akan mengingkari. Ketika diberi ujian berupa kemiskinan ia akan sabar, berusaha, dan tawakal. Maka, hati akan tenang, jiwa menjadi tenteram.

Keadaan nyaman dengan banyak harta akan membuat ia mengingat Tuhannya dan janji suci-Nya bahwa yang bersyukur kepada-Nya maka akan ditambah baginya nikmat dan yang ingkar maka azab yang pedih baginya. Maka, wajiblah ia bersyukur dengan lisannya dan amal perbuatannya. Lisannya senantiasa memuji-Nya dan mohon ampun kepada-Nya. Gerak badannya senantiasa mengerjakan kebajikan. Nikmat kekayaannya ia gunakan sebaik-baiknya. Ia hitung tiap keping hartanya dan ia perhitungkan dengan cermat akan dikemanakan harta itu dibelanjakan. Ia sadar bahwa setiap hartanya sekecil apapun akan diperhitungkan di Hari Akhir nanti. Tidak akan ada harta yang terbuang sia-sia untuk kenikmatan dunia yang fana ini. Anak-anak yatim ia santuni, orang-orang miskin ia tanggung, dan ia ulurkan bantuan kepada orang-orang yang tertimpa musibah.

Keadaan susah akan membuat ia mengingat Tuhannya dan janji suci-Nya bahwa setiap ada kesulitan pasti selanjutnya ada kelapangan. Setiap masalah pasti ada jalan keluar. Maka, wajiblah bagi setiap orang yang tertimpa kesusahan untuk berusaha mencari jalan keluar seraya tawakal pada Dzat yang Mahakuasa. Ia tahu persis bahwa Dzat yang telah menciptakannya dengan sempurna pasti akan mencurahkan kasih sayang kepadanya. Ia yakin bahwa ia tidak akan diterlantarkan oleh Penciptanya.


Hatinya menjadi tenang dengan mengingat Tuhannya saat ia berdiri, duduk, maupun berbaring. Lisannya senantiasa memuji-Nya dan mohon ampun kepada-Nya. Gerak badannya taat pada perintah Tuhannya. Hatinya menjadi tenang dan penuh gairah hidup. Meski perutnya tidak terisi nasi berhari-hari, namun semangatnya mencapai puncak. Ia yakin dengan pertolongan Tuhannya ia akan mampu melewati cobaan dan akan mendapatkan jalan keluar dan kelapangan hidup.

Aidh Al-Qarni berkata, “Barangsiapa yang tidak pernah tertimpa musibah, maka ditakutkan dirinya akan terkena penyakit lalai. Sehingga dia menjadi orang yang ebrhati keras, memiliki sifat sombong, menganggap remeh nikmat yang telah diberikan kepadanya, dan tidak mau mensyukurinya. Dia menjadi seperti orang mabuk yang tidak mengerti dan peka terhadap keadaan sekitarnya. Yang dia pikirkan hanya masalah makan, minum, dan kesenangan sendiri. Jadi, berbagai musibah yang menimpa merupakan salah satu hal terbesar yang mampu menggugah hati nurani dan kesadaran seseorang.”

Wanita Shalihah dan Ibadah


Abdullah Gymnastiar memberikan nasihat:
Wanita yang di dunianya shalihah akan menjadi cahaya bagi keluarganya, melahirkan keturunan yang baik dan jika wafat di akhirat akan menjadi bidadari.

Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman, hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara faraz-nya. Yang demikian itu lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.”

Katakanlah kepada wanita yang beriman, hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara faraz-nya dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang biasa nampak daripadanya.”

Rasulullah bersabda: “Dunia ini adalah perhiasan dan sebaik-baik perhiasan adalah wanita yang shalihah.” (HR. Muslim)

Wanita shalihah merupakan penenteram batin, menjadi penguat semangat berjuang suami, semangat ibadah suami. Suami yakin tidak akan dikhianati, kalau ditatap benar-benar menyejukkan hati, kalau berbicara tutur katanya menenteramkan batin, tidak ada keraguan terhadap sikapnya.

Pada prinsipnya wanita shalihah adalah wanita yang taat pada Allah, taat pada Rasul. Kecantikannya tidak menjadikan fitnah pada orang lain. Kalau wanita muda dari awal menjaga dirinya, selain dirinya akan terjaga, juga kehormatan dan kemuliaan akan terjaga pula, dan dirinya akan lebih dicintai Allah karena orang yang muda yang taat lebih dicintai Allah daripada orang tua yang taat. Dan, Insya Allah nanti oleh Allah akan diberi pendamping yang baik.

Agar wanita shalihah selalu konsisten yaitu dengan istiqomah menimba ilmu dari alam dan lingkungan di sekitarnya dan mengamalkan ilmu yang ada. Wanita yang shalihah juga dapat berbakti terhadap suami dan bangsanya dan wanita yang shalihah selalu belajar. Tiada hari tanpa belajar.”

 
KEMUDAHAN DALAM IBADAH
Al-Quran memberikan bukti bahwa wanita setara dengan pria di hadapan Allah dalam hal hak dan kewajibannya. Dalam batasan kewajiban agama, seperti shalat lima waktu sehari semalam, puasa, zakat, haji, kewajiban wanita tidak berbeda dengan pria. Kewajiban-kewajiban tersebut dibebankan kepada laki-laki dan juga kepada wanita.

Dalam beberapa kasus, wanita mempunyai beberapa kelebihan atas pria. Sebagai contoh, wanita diperbolehkan meninggalkan shalat dan puasa dalam masa menstruasi dan empat puluh hari saat nifas. Wanita juga boleh meninggalkan puasa selama masa kehamilan dan menyusui manakala ada kekhawatiran akan membahayakan kesehatan ibu dan bayi. 

Jika yang ditinggalkan adalah puasa wajib (selama bulan Ramadhan), dia boleh mengganti hari yang tertinggal tersebut kapanpun dia sanggup melakukannya. Wanita boleh menghadiri shalat Jumat, sedangkan hal tersebut (shalat Jumat) merupakan kewajiban bagi laki-laki.

Hal ini jelas merupakan sentuhan lembut ajaran Islam karena mempertimbangkan kenyataan bahwa mungkin wanita harus menyusui atau merawat bayinya, dan karenanya mungkin tidak dapat menghadiri shalat di masjid manakala waktu shalat tiba. Ajaran Islam juga mempertimbangkan keadaan perubahan fisiologis dan psikologis yang berhubungan dengan fungsi kewanitaan yang alamiah. Maka, bersyukurlah kepada Allah atas syariat-Nya yang mudah dan memberikan kemudahan. 



Amal Ikhlas


Allah berfirman,
"Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kalian, siapa di antara kalian yang lebih baik amalnya." (Qs. Al-Mulk: 2)

Al-Fudhail berkata, "Maksud yang lebih baik amalnya di dalam ayat ini adalah yang paling ikhlas dan paling benar."

Orang-orang bertanya, "Wahai Abu Ali, apakah amal yang paling ikhlas dan paling benar itu?" Dia menjawab, "Sesungguhnya jika amal itu ikhlas namun tidak benar, maka ia tidak akan diterima. Jika amal itu benar namun tidak ikhlas, maka ia tidak akan diterima, hingga amal itu ikhlas dan benar. Yang ikhlas ialah yang dikerjakan karena Allah, dan yang benar ialah yang dikerjakan menurut As-Sunnah." 
Kemudian dia membaca ayat,
"Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabbnya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yangshalih dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Rabbnya." (Qs. Al-Kahfi:110)

Allah juga telah befirman,
Dan, siapakah yang lebih baik agamanya dari pada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia pun mengerjakan kebaikan?” (Qs. An-Nisa': 125).

Menyerahkan diri kepada Allah artinya memurnikan tujuan dan amal karena Allah. Sedangkan mengerjakan kebaikan ialah mengikuti Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan Sunnah beliau.

Allah juga befirman,
"Dan, Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang beterbangan." (Qs. Al-Furqan: 23).

Amal yang seperti debu itu adalah amal-amal yang dilandaskan bukan kepada As-Sunnah atau dimaksudkan bukan karena Allah.

Al-Fudhail berkata, "Meninggalkan amal karena menusia adalah riya'. Mengerjakan amal karena manusia adalah syirik. Sedangkan ikhlas ialah jika Allah memberikan anugerah kepadamu untuk meninggalkan keduanya."

Al-Junaid berkata, "Ikhlas merupakan rahasia antara Allah dan hamba, yang tidak diketahui kecuali oleh malaikat, sehingga dia menulisnya, tidak diketahui syetan sehingga dia merusaknya dan tidak pula diketahui hawa nafsu sehingga dia mencondongkannya."

Yusuf bin Al-Husain berkata, "Sesuatu yang paling mulia di dunia adalah ikhlas. Berapa banyak aku mengenyahkan riya' dari hatiku, tapi seakan-akan ia tumbuh dalam rupa yang lain."


Referensi:
Ibnu Qayyim Al-Jauziyah. Madarijus-Salikin Manazili Iyyaka Na'budu wa Iyyaka Nasta'in. (Terjemahan Kathur Suhardi). 1999. Madarijus Salikin: Pendakian Menuju Allah, Penjabaran Kongkret "Iyyaka Na 'budu wa Iyyaka Nasta'in". Jakarta: Pustaka Al-Kautsar




DAFTAR ISI

Air Mata Pembersih Dosa


Allah berfirman, yang artinya,
“Dan apabila mereka mendengarkan apa yang diturunkan kepada Rasul (Muhammad), kamu lihat mata mereka mencucurkan air mata disebabkan kebenaran (Al Quran) yang telah mereka ketahui (dari kitab-kitab mereka sendiri); seraya berkata: “Ya Tuhan kami, kami telah beriman, maka catatlah kami bersama orang-orang yang menjadi saksi (atas kebenaran Al Quran dan kenabian Muhammad)”. (Qs. Al-Maidah: 83)

Anas bin Malik berkata, “Rasulullah berkhutbah kepada kami, sama sekali aku belum pernah mendengar khutbah yang seperti itu sebelumnya. Rasulullah bersabda, “Jika kalian mengetahui apa yang aku ketahui, sungguh kalian akan banyak menangis dan sedikit tertawa.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Ketika para sahabat bermajelis bersama Rasulullah mendengarkan wasiat-wasiat beliau, para sahabat merasakan seolah-olah seakan-akan bumi berhenti berputar. Seolah-olah hanya ada mereka bersama Rasulullah. Mereka melupakan harta dunia yang dimilikinya, melupakan anak dan istri di rumah. Hati mereka tertuju pada wasiat Rasulullah yang agung. Kata-kata dari lisan Rasulullah membasuh jiwa mereka sehingga jiwa mereka menjadi tenang.

Wasiat-wasiat Rasulullah tentang akhirat mampu mengucurkan air mata pada sahabat. Inilah kekuatan kalam Rasul. Seorang sahabat, Abu Najih Al ‘Irbad bin Sariyah berkata, “Rasulullah memberi kami wasiat yang membuat hati kami bergetar dan mata kami menangis.”

Para sahabat Nabi adalah orang-orang yang mudah menangis karena takut kepada Allah. Begitu juga generasi setelah mereka. Mereka senantiasa mengingat dan menyadari betapa kecil dan lemahnya diri mereka di hadapan Allah yang Maha Perkasa.
 
Ibnul Jauzi berkata,
  • “Wahai tawanan dunia, wahai budak nafsu, wahai sarang dosa, wahai wadah bencana, ingatlah apa yang telah kau perbuat dan takutlah kepada Tuhan!” 
  • “Wahai saudaraku, sampai kapankah engkau menunda amal, larut dalam angan, terlena oleh kelapangan, dan lalai akan serangan ajal?”
  • “Wahai saudaraku, engkau telah menghabiskan usiamu dalam permainan. Orang lain berhasil meraih tujuan, sementara engkau malah semakin jauh. Orang lain bersungguh-sungguh, sementara engkau dalam lembah syahwat. Kapankah engkau akan sadar dan bertobat? Bilakah engkau keluar dari kubangan hawa nafsu dan kembali menuju Tuhan Yang Mahamulia dan Maha Terpuji?”
  • “Wahai saudaraku, cucilah noda dosa dengan linangan air mata.”
Ibnul Jauzi dikenal sebagai seorang ulama yang berpikir spontan, berperangai baik, dan selalu memberikan jawaban yang tepat setiap dihadapkan pada pertanyaan yang menyulitkan. Ibnul Jauzi adalah ahli nasehat. Kata-katanya lembut, menggugah semangat yang tertidur, mengingatkan hati yang lalai, dan mencairkan hati yang membatu. Ibnul Jauzi menyampaikan nasehat-nasehatnya dengan spontanitas.
Ia menyampaikan nasehat dengan diselingi sejumlah ayat Al-Quran sampai banyak orang yang mengucurkan air mata. Dalam benak mereka yang hadir dalam majelis Ibnul Jauzi, tersimpan kerinduan untuk selalu mendengarkan nasehat-nasehatnya. Karena dengan nasehatnya, banyak orang yang teringat akan dosa-dosanya dan bertaubat kepada Allah.

Dalam salah satu majelisnya Ibnul Jauzi melantunkan bait-bati syair mengenai rasa cinta kepada Allah yang sangat merasuk ke dalam jiwa, serta lembut nan indah. Bait-bait syair tersebut mampu menyalakan api cinta dalam hati. Di antara bait-bait syair itu adalah:

Di manakah hatiku yang dipenuhi gejolak cinta
Di manakah hatiku
Tiadalah ia akan sadar sesudahnya
Duhai Pemberi Harapan
Tambahkan daku rasa cinta
Dengan dzikir mereka kepada Allah
Maka aku akan menebusnya


Ia terus-menerus melantunkan bait-bait syairnya. Derai tangisan nyaris menutup pintu ucapan orang-orang yang hadir. Hingga akhirnya ia pun beranjak turun dari mimbar. Hati mereka yang hadir dipenuhi rasa takut kepada Allah. Mereka membakar jiwa mereka dengan air mata yang berderai.

Berikut ini adalah perkataan beberapa salafush shalih mengenai tangisan karena takut kepada Allah.
  • Ibnu Umar berkata, “Demi Allah, tangisanku dan tetasan air mata di kedua pipiku ini lebih aku sukai daripada aku bersedekah seribu dinar.” 
  • Ka’ab Al-Ahbar berkata, “Tangisanku karena takut kepada Allah lebih aku cintai daripada aku bersedekah dengan emas seberat tubuhku.”
  • Ketika Muhammad bin Munkadir menangis, dia mengusapkan wajah dan janggutnya dengan air matanya, lalu berkata, “Aku mendengar bahwa api neraka tidak akan membakar tempat yang terbasuh oleh air mata.” 
  • Wahb Al-Munabbih berkata, “Sesungguhnya balasan bagi orang-orang yang menangis karena Allah dan orang-orang yang bersabar akan diberikan tanpa perhitungan.”
Menangis karena takut kepada Allah adalah sifat dari hamba-hamba Allah yang bertakwa dari para Nabi dan orang-orang shalih, serta orang-orang yang mengikuti mereka. Menangis karena takut kepada Allah mempunyai banyak keutamaan. Beberapa keutamaan tersebut dijelaskan berdasarkan hadits-hadits berikut ini.

1. Mendapat naungan dari Allah
Dari Abu Hurairah, di berkata, Rasulullah bersabda, “Tujuh macam orang yang akan dinaungi Allah pada hari yang tiada naungan kecuali naungannya.” Kemudian disebutkan salah satunya adalah, “… dan seorang yang mengingat Allah dalam kesendiriannya, lalu kedua matanya berlinangan air mata.” (HR. Bukhari dan Mulism)

2. Selamat dari api neraka
Dari Abu Hurairah, di berkata, Rasulullah bersabda, “Tidak akan masuk neraka seseorang yang menangis karena takut kepada Allah, sehingga air susu kembali ke dalam kantong susunya. Dan debu (jihad) di jalan Allah tidak dapat berkumpul dengan asap jahanam.” (HR. Tirmidzi an An-Nasa’i)

3. Dicintai oleh Allah
Dari Ibnu Abbas, dia berkata, Rasulullah bersabda, “Ada dua macam mata yang tidak akan tersentuh oleh api neraka, mata yang menangis karena takut kepada Allah dan mata yang berjaga dalam peperangan di jalan Allah.” (HR. Tirmidzi)

4. Selamat dari berbagai fitnah
Dari Uqbah bin Amir, dia berkata, “Ya Rasulullah, apakah kedamaian itu?” Rasulullah menjawab, “Tahanlah lisanmu, jadikan rumahmu nyaman (untuk beribadah) dan menangislah atas kesalahanmu.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi)

5. Bahagia dunia dan akhirat
Dari Tsauban, bahwa Rasulullah bersabda, “Berbahagialah siapa pun yang dapat menguasai lisannya, yang rumahnya terasa luas baginya, dan dapat menangis atas kesalahan yang diperbuatnya.” (HR.Tabrani)






PROMO BUKU

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More