Ketahuilah bahwa Allah senang apabila hamba-Nya memohon kepada-Nya. Rasulullah bersabda, “Mohonlah kepada Allah dari karunia-Nya, karena Allah suka jika dimintai dari karunia-Nya, dan tidak ada sesuatu yang diminta dari Allah yang lebih disukai-Nya selain dari afiat." (HR. Tirmizi)
Dalam beberapa ayat Allah memerintahkan hamba-Nya untuk berdoa. Allah memiliki sifat Maha Mengabulkan Doa. Barangsiapa yang dengan tulus berdoa kepada-Nya, niscaya akan terkabul permohonannya.
- “Dan, apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwa Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku." (QS. Al-Baqarah: 186)
- “Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut." (QS. Al-A'raf : 55).
- “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan kuperkenankan kepada kalian.” (QS. Al-Mukmin: 60)
Kemudian Ibnu Katsir menyebutkan beberapa hadits tentang anjuran dan pengabulan doa. Di antaranya:
- “Sesungguhnya Allah benar-benar malu bila ada seorang hamba mengangkat kedua tangannya memohon suatu kebaikan kepada-Nya, lalu Allah menolak permohonannya dengan kedua tangan yang hampa.” (HR. Ahmad)
- “Tiada seorang muslim pun yang memanjatkan suatu doa keapda Allah yang di dalamnya tidak mengandung permintaan yang berdosa dan tidak pula memutuskan silaturahim, melainkan Allah pasti memberinya berkat doa itu salah satu dari tiga perkara berikut, yaitu: Adakalanya permohonannya itu segera dikabulkannya, adakalanya permohonannya itu disimpan oleh Allah untuknya kelak di hari kemudian, dan adakalanya dipalingkan darinya suatu keburukan yang semisal dengan permohonannya itu. Mereka (para sahabat berkata, “Kalau begitu, kami akan memperbanyak doa.” Nabi Saw. menjawab, “Allah Maha Banyak (Mengabulkan Doa).” (HR. Ahmad)
Ibnu Qayyim AL-Jauziiyah dalam kitabnya Madarius Salikin berkata, “Hamba mempunyai hak atas Allah, seperti memberikan pahala kepada hamba-hamba yang taat, menerima taubat di antara mereka yang bertaubat dan memenuhi doa mereka. Inilah hak-hak terpenting yang dipenuhi Allah, sesuai dengan hukum janji dan kemurahan-Nya, bukan karena itu semua merupakan hak yang bisa dituntut dari-Nya.”
Demikian dahsyatnya doa. Tak inginkah kita memohon kepada Dzat Yang Maha Mengabulkan Doa. Banyak kebutuhan yang belum tercukupi, mengapa tidak memohon kepada Allah untuk mencukupinya. Banyak keingingan belum terwujud, mengapa tidak memohon kepada Allah untuk mewujudkannya. Banyak halangan dan musibah dalam hidup ini, mengapa tidak memohon kepada Allah untuk meneguhkan hati dan menghilangkan musibah.
Dahsyatnya doa dibuktikan dalam kisah yang disampaikan oleh Abdul Malik bin Muhammad Al-Qasim dalam kitabnya Az-Zaman Al-Qadim berikut ini.
***
Aku sudah menikah lebih dari tujuh tahun. Alhamdulillah, segala yang aku dambakan –dalam pandanganku- sudah aku dapatkan. Aku sudah mapan dalam pekerjaan dan sudah mapan dalam pernikahanku. Yang kukeluhkan hanyalah rasa bosa. Aku dan istriku belum juga dikaruniai seorang anak. Aku pun mulai diiliputi kejemuan.
Aku sudah banyak mengunjungi dokter. Aku yakin bahwa aku sudah semaksimal mungkin. Aku pergi berobat di dalam dan luar negeri. Ketika aku mendengar ada seorang dokter spesialis kemandulan baru datang, aku segera membuat janji untuk konsultasi.
Berbagai kiat banyak diberikan, dan obat-obatan lebih banyak lagi. Namun, tidak ada gunanya sama sekali. Lebih sering kami berbicara tentang dokter “fulan” dan apa yang dia katakan dan apa yang akan kami alami.
Masa menunggu itu terus berlangsung selama setahun atau dua tahun. Masa pengobatan itu lama sekali. Ada yang menyatakan bahwa kemandulan itu berasa dari diriku. Namun, sebagian lain menyatakan bahwa itu berasal dari istriku. Hari-hari kami hanya diisi dengan pemeriksaan dan pemecahan masalah tersebut.
Bayangan tentang anak menguasai jiwa kami. Padahal, aku sudah berusaha untuk tidak mengusik perasaan istriku. Namun, segala yang berlangsung tetap mengusik perasaannya.
Banyak pertanyaan yang muncul. Ada yang bertanya kepada istriku, “Apa lagi yang kamu tunggu?” Seolah urusan itu berada di tangan istriku.
Ada lagi yang menyarankan agar ia berobat kepada dokter “fulan” di suatu tempat. Seseorang sudah mencoba ke sana dan kini sudah melahirkan anak. Demikian juga orang lain. Begitulah, orang-orang di sekitar istriku memiliki banyak andil dalam melontarkan pertanyaan. Namun, tak seorang pun yang berkata kepada kami, “Mengapa tidak menghadap kepada Allah dan berdoa kepada-Nya dengan penuh keikhlasan?”
Berlalu sudah tujuh tahun, kami seolah menjulurkan lidah di belakang para dokter dan lupa berdoa. Kami lupa berserah diri kepada Allah.
Pada suatu sore, aku menyeberang jalan. Tiba-tiba kulihat seorang laki-laki buta menyeberang jalan yang sama. Aku segera menuntunnya dan menyeberang separuh jalan bersamanya. Di tengah jalan, kami berhenti. Kami menunggu sampai bagian jalan di seberang menjadi agak sepi dari kendaraan.
Lelaki itu menyempatkan untuk bertanya kepadaku, setelah sebelumnya mendoakan diriku agar sehat dan mendapat taufik.“Anda sudah menikah?” tanyanya.“Sudah,” jawabku.
Ia bertanya lagi, “Sudah punya anak?”“Allah belum menakdirkannya untukku,” jawabku. “Sudah tujuh tahun kami menunggu kabar gembira itu.”
Kami pun menyeberangi jalan. Ketika kami hendak berpisah, lelaki itu berkata, “Wahai anakku, Aku sudah pernah mengalami apa yang engkau alami. Namun, dalam setiap shalat aku berdoa, ‘Ya Tuhanku janganlah Engkau membiarkan aku hidup seorang diri dan Engkaulah waris yang paling baik’ (QS. Al-Anbiya’: 89). Alhamdulillah, kini aku sudah memiliki tujuh orang anak.”
Lelaki tua itu menekan tanganku sambil berkata, “Jangan lupa berdoa.”Sebelumnya, aku tidak mengharapkan nasehat seperti itu. Aku sudah mendapatkan sesuatu yang hilang.
Aku menceritakan kejadian itu kepada istriku. Kami pun tertarik memperbincangkannya. Mengapa selama ini kami tidak berdoa? Padahal, segala sesuatu sudah kami cari dan kami coba.
Semua dokter sudah kami dengarkan ucapannya dan sudah kami ketuk pintu rumahnya. Mengapa kami tidak pernah mengetuk pintu Allah? Padahal, itulah pintu terbesar dan pintu terdekat. Istriku juga baru ingat bahwa ada wanita tua yang pernah menasehatinya dua tahun yang lalu, “Hendaknya engkau berdoa.”
Namun, sebagaimana dikisahkan istriku, kala itu kami sudah memiliki banyak jam konsultasi bersama banyak dokter sehingga kami sudah terbiasa mengkonsultasikan persoalan kami dengan para dokter tersebut. Tanpa rasa khawatir atau gelisah, hanya sebatas konsultasi saja. Kami hanya menyelidiki cara penyembuhan yang terbatas saja, sebagai salah satu usaha.
Kami pun menghadap Allah dengan sepenuh hati dalam shalat wajib dan juga dalam shalat di tengah malam. Kami berusaha mencari waktu-waktu berdoa yang mudah dikabulkan.
Persangkaan kami tidaklah sia-sia. Kami pun juga tidak ditolak. Bahkan, Allah membuka pintu terkabulnya doa. Istriku hamil, dan akhirnya melahirkan seorang anak. Sungguh Maha Suci Allah, sebaik-baik pencipta.
Kami tidak bisa menyembunyikan kegembiraan dan suka cita. Dan kini yang selalu kami baca berulang-ulang ialah, “Ya Tuhan Kami, anugerahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa” (QS. AL-Furqan: 74).***
Referensi:
Ibnu Katsir. Tafsir Al-Qur’anil Adzim. Peneliti dan Peringkas: Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin Ishaq Alu Syaikh. (Terjemahan: Tafsir Ibnu Katsir. 2008. Jakarta: Penerbit Pustaka Imam Syafi’i)
Ibnu Qayyim Al-Jauziyah. Madarijus Salikin. (Terjemahan: Madarijus Salikin: Pendakian Menuju Allah. 1999. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. Ebook oleh http:kampungsunnah.co.nr)
Abdul Malik bin Muhammad Al-Qasim. Az-Zaman Al-Qadim. (Terjemahan: Akhirnya Mereka Bertaubat). 2013. Jakarta: Penerbit Darul Haq)
***
Sukrisno Santoso
Ditulis pada hari Minggu, 20 April 2014, di rumah, Kota Sukoharjo
Ditulis pada hari Minggu, 20 April 2014, di rumah, Kota Sukoharjo
0 komentar:
Posting Komentar