Seseorang bertanya kepada Ustadz Abdullah Shaleh Hadrami, “Ustadz tahu apa makanan saya?”
Ustadz Abdullah menjawab, “Apa?”
“Pujian manusia,” jawab orang itu dengan jujur.
Orang itu mempunyai banyak harta dan sering mengeluarkan infaq dan sedekah. Akan tetapi, sebagaimana diakuinya bahwa tujuannya ialah untuk mendapatkan pujian manusia. Orang tersebut ketika mendengarkan kajian tentang keikhlasan, hatinya merasa takut karena sangat jauh niatnya bersedekah dengan keikhlasan.
Kisah tersebut diceritakan oleh Ustadz Abdullah Shaleh Hadrami dalam kajiannya yang bertema “Ilmu Ikhlas”.
Orang-orang yang suka menyebut-nyebut pemberiannya kepada orang lain, difirmankah oleh Allah bahwa pahalanya terhapus. Allah berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 264,
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia.”
Ibnu Katsir menjelaskan, “Maksudnya, janganlah kalian menghapuskan pahala sedekah kalian dengan menyebut-nyebut pemberian dan menyakiti si penerima sedekah, sebagaimana terhapusnya pahala sedekah yang dikerjakan karena riya’ kepada manusia. Ia memperlihatkan kepada orang-orang bahwa ia bersedekah untuk mencari keridhaan Allah, padahal niat yang sebenarnya adalah agar mendapat pujian orang lain serta bermaksud mendapatkan kepopuleran dengan sifat-sifat yang baik sehingga ia akan memperoleh ucapan terima kasih atau mendapat sebutan orang yang dermawan dan hal-hal duniawi lainyya, dengan memutuskan perhatiannya dari muamalah dengan Allah dan dari tujuan meraih keridhaan Allah serta memperoleh limpahan pahala-Nya.”
Allah berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 271,
“Jika kamu menampakkan sedekah(mu), maka itu adalah baik sekali. Dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, maka Menyembunyikan itu lebih baik bagimu.”
Ibnu Katsir menjelaskan, “Di dalam ayat tersebut terdapat dalil yang menunjukkan bahwa memberi sedekah secara sembunyi-sembunyi itu lebih baik daripada menampakkannya, karena yang demikian itu lebih jauh dari sikap riya’. Namun, menampakkan sedekah bisa saja dilakukan jika akan mendatangkan kemaslahatan dan menjadi contoh bagi yang lain sehingga hal itu menjadi lebih afdhal. Pada dasarnya, bersedekah secara sembunyi-sembunyi itu lebih afdhal.”
Berikut ini beberapa teladan ulama salaf dalam hal sedekah secara sembunyi-sembunyi.
Abu Bakar Ash-Shidiq
Ada seorang nenek buta yang biasa dibantu oleh Umar bin Khaththab. Suatu hari Umar menjenguknya dan menemukan nenek itu telah dibantu seseorang. Rumah, makanan, dan lain sebagainya telah dalam keadaan baik. Umar bertanya pada nenek buta siapa itu orang yang membantunya. Nenek itu tidak bisa menjawab karena orang itu tidak memberitahukan namanya.
Umar berkali-kali datang ke rumah nenek itu dan menemukannya dalam keadaan baik dan rapi. Akhirnya ia memutuskan untuk mengawasi rumah nenek buta itu 24 jam. Sampai akhirnya ia masuk rumah nenek itu ketika ada seseorang masuk tengah malam. Ternyata orang itu adalah Abu Bakar.
Umar bin Khaththab
Imam Al-Auza’i meriwayatkan bahwa Umar bin Khaththab keluar di kegelapan malam. Thalhah melihatnya. Umar pergi dan masuk sebuah rumah. Lalu masuk rumah lain. Pagi harinya, Thalhah pergi ke rumah itu. Di sana ada seorang nenek tua buta sedang duduk.
Thalhah berkata kepada nenek itu, “Mengapa orang ini mendatangimu?” Nenek menjawab, “Ia telah bernjanji kepadaku sejak begini dan begini. Ia mendatangiku membawa keperluanku dan mengeluarkan derita dariku.” Thalhah berkata, “Celaka kau Thalhah, apakah pada rahasia Umar kau mengintip-intip?”
Ali bin Al-Husein
Dahulu Ali bin Al-Husein biasa memanggul karung roti bakar (makanan) setiap malam untuk disedekahkan. Dan beliau pernah berkata, “Sesungguhnya sedekah dapat memadamkan kemurkaan Allah.”
Sedekah yang dikeluarkan oleh Ali bin Al-Husein ini tidak ada orang yang mengetahuinya. Bahkan, orang-orang yang diberi sedekah olehnya juga tidak tahu.
Dari Ibnu Aisyah, dia berkata, ayahku pernah berkata, “Aku pernah mendengar penduduk Madinah menyatakan, ‘Kami terus-menerus mendapatkan sedekah misterius (yang diberikan seseorang di malam hari), hingga Ali bin Al-Husein wafat.’”
Setelah Ali bin Al-Husein wafat, sedekah itu tidak datang lagi. Maka, orang-orang pun tahu bahwa yang memberikan sedekah ialah Ali bin Al-Husein. Karena seringnya memanggul karung makanan, pada bagian punggung beliau terdapat bekas-bekas menghitam.
Amr bin Tsabit berkata, “Tatkala Ali bin Al-Husein wafat dan orang-orang memandikannya, tiba-tiba mereka melihat bekas-bekas menghitam di punggung beliau. Mereka lantas bertanya, ‘Apa ini?’ Sebagian mereka menjawab, ‘Beliau biasa memanggul karung gandum di waktu malam untuk dibagikan kepada orang-orang fakir miskin dari penduduk Madinah.’”
Abdullah bin Mubarak
Abdullah bin Mubarak biasa bolak-balik ke Tarsus. Beliau biasa singgah beristirahat di sebuah penginapan di sana. Ada seorang pemuda yang acapkali melayani dan mengurus kebutuhan beliau sambil belajar hadits.
Suatu hari beliau mampir ke penginapan itu, namun tidak mendapati pemuda itu. Kala itu, beliau tergesa-gesa dan keluar berperang bersama sekelompok kaum muslimin. Sepulangnya dari peperangan tersebut, beliau kembali ke penginapan dan menanyakan tentang pemuda itu.
Orang-orang memberitahukan bahwa pemuda itu ditahan akibat hutang yang belum dibayarnya. Abdullah bin Mubarak bertanya, “Berapa jumlah hutangnya?”
Mereka menjawab, “Sepuluh ribu dirham.”
Beliau menyelidiki sampai beliau mendapatkan pemilik piutang tersebut. Beliau memanggil orang tersebut pada malam hari, dan langsung menghitung serta membayar hutang pemuda itu. Lalu beliau meminta lelaki itu bersumpah agar tidak memberitahukan siapapun perihal pelunasan itu selama beliau masih hidup.
Beliau berkata, “Apabila datang pagi, segera keluarkan pemuda tersebut dari tahanan.”
Abdullah bin Mubarak segera pulang. Pemuda itu pun dibebaskan. Orang-orang mengatakan kepadanya, “Kemarin Abdullah bin Mubarak ke sini dan menanyakan tentang dirimu, namun sekarang sudah pergi.”
Si pemuda segera menyusuri jejak Abdullah dan berhasil menyusul beliau dalam jarak dua atau tiga marhalah dari penginapan.
Beliau bertanya, “Ke mana saja engkau anak muda? Aku tidak melihatmu di penginapan.”
Pemuda itu menjawab, “Betul wahai Abu Abdurrahman, saya ditahan karena hutang.”
Beliau bertanya lagi, “Lalu bagaimana engkau dibebaskan?”
Dia berkata, “Seseorang membayarkan hutangku, lalu aku dibebaskan. Aku tidak mengetahui siapa lelaki itu.”
Maka beliau berkata, “wahai pemuda, bersyukurlah kepada Allah yang telah memberi taufik kepadamu sehingga engkau terbebas dari hutang.”
Lelaki yang memberi hutang tidak pernah memberitahukan kepada siapapun sampai Abdullah bin Mubarak wafat.
***
Referensi:
Abdullah Shaleh Hadrami. Rekaman kajian bertema “Ilmu Ikhlas”.
Ibnu Katsir. Tafsir Al-Qur’anil Adzim. Peneliti dan Peringkas: Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin Ishaq Alu Syaikh. (Terjemahan: Tafsir Ibnu Katsir. 2008. Jakarta: Penerbit Pustaka Imam Syafi’i)
Abdul Aziz bin Nashir Al-Julayyil & Baha’udin bin Fatih Uqail. Aina Nahnu min Akhlaq As-Salaf. (Terjemahan: Meneladani Akhlak Generasi Terbaik. 2011. Jakarta: Penerbit Darul Haq)
M. Abdul Qadir Abu Faris. Tazkiyatun An-Nafs. (Terjemahan: Menyucikan Jiwa. 2005. Depok: Gema Insani)
***
Sukrisno Santoso
Ditulis pada awal malam, Jumat, 18 April 2014, di rumah, Kota Sukoharjo
0 komentar:
Posting Komentar