MUSLIMAH

Menuju Insan yang Shalihah

This is default featured post 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

MUTIARA DAKWAH

This is default featured post 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

30 April 2014

Masuk Surga Tanpa Hisab


Dalam Kitabut Tauhid, Muhammad bin Abdulwahab membuat judul bab “Mengamalkan Tauhid dengan Sebenar-benarnya Dapat Menyebabkan Masuk Surga Tanpa Hisab”.

Teladan dalam pengamalan tauhid ada pada diri Nabi Ibrahim. Allah berfirman,

“Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang imam yang dapat dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan hanif (berpegang teguh pada kebenaran), dan sekali kali ia bukanlah termasuk orang orang yang mempersekutukan (Tuhan)” (QS. An-Nahl: 120)
Ibnu Katsir berkata, “Al-hanif artinya menyimpang dari kemusyrikan dan menempuh jalan tauhid. Karena itulah disebutkan di akhir ayat, ‘dan sekali kali ia bukanlah termasuk orang orang yang mempersekutukan (Tuhan).’

Hal tersebut sebagaimana firman Allah,

“Dan orang orang yang tidak mempersekutukan dengan Rabb mereka (sesuatu apapun).” (QS. Al-Mu’minun: 59)
Ibnu Katsir menjelaskan, “Yakni, mereka tidak beribadah kepada yang lain bersama-Nya, tetapi mereka mengesakannya seraya mengetahui bahwasanya tidak ada Rabb selain Allah yang Maha Esa yang menjadi tempat bergantung. Dia tidak mengambil istri dan tidak juga mempunyai anak. Dan bahwasanya tidak ada tandingan bagi-Nya serta tidak ada pula yang setara dengan-Nya.”

Muhammad bin Abdulwahab menyebutkan salah satu hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim bahwa Rasulullah bersabda, 

“Telah diperlihatkan kepadaku beberapa umat, lalu aku melihat seorang Nabi, bersamanya sekelompok orang. Dan seorang Nabi, bersamanya satu dan dua orang saja. Dan Nabi yang lain lagi tanpa ada seorang pun yang menyertainya. Tiba-tiba diperlihatkan kepadaku sekelompok orang yang banyak jumlahnya, aku mengira bahwa mereka itu umatku, tetapi dikatakan kepadaku bahwa mereka itu adalah Musa dan kaumnya.
Tiba-tiba aku melihat lagi sekelompok orang yang lain yang jumlahnya sangat besar. Maka dikatakan kepadaku: mereka itu adalah umatmu, dan bersama mereka ada 70.000 (tujuh puluh ribu) orang yang masuk surga tanpa hisab dan tanpa disiksa lebih dahulu.”
Kemudian beliau bangkit dan masuk ke dalam rumahnya, maka orang-orang pun memperbincangkan tentang siapakah mereka itu? Ada di antara mereka yang berkata, “Barangkali mereka itu orang-orang yang telah menyertai Nabi dalam hidupnya. Dan ada lagi yang berkata, “Barangkali mereka itu orang-orang yang dilahirkan dalam lingkungan Islam hingga tidak pernah menyekutukan Allah dengan sesuatupun. Dan yang lainnya menyebutkan yang lain pula.
Kemudian Rasulullah keluar dan mereka pun memberitahukan hal tersebut kepada beliau. Maka beliau bersabda, “Mereka itu adalah orang-orang yang tidak pernah minta ruqyah, tidak melakukan tathayyur dan tidak pernah meminta lukanya ditempeli besi yang dipanaskan, dan mereka pun bertawakkal kepada tuhan mereka.”
Kemudian Ukasyah bin Muhshan berdiri dan berkata, “Mohonkanlah kepada Allah agar aku termasuk golongan mereka.”
Kemudian Rasul bersabda, “Ya, engkau termasuk golongan mereka.”
Kemudian seseorang yang lain berdiri juga dan berkata, “Mohonkanlah kepada Allah agar aku juga termasuk golongan mereka.”
Rasul menjawab, “Kamu sudah kedahuluan Ukasyah.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
***
Di antara pelajaran paling berharga yang bisa dipetik dari hadits ini adalah bahwa tidak meminta ruqyah, tidak berobat dengan cara ditempeli dengan besi panas (kayy), dan tidak menganggap akan mengalami kesialan setelah mendengar atau melihat sesuatu (tathayyur) merupakan wujud dan realisasi dari tawakal kepada Allah.

Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah menyebutkan dalam kitabnya, Madarijus Salikin, “Pada hakikatnya tawakal ini merupakan keadaan yang terangkai dari berbagai perkara, yang hakikatnya tidak bisa sempurna kecuali dengan seluruh rangkaiannya.”

Salah satu perkara tersebut ialah, “Memantapkan hati pada pijakan tauhid. Tawakal seorang hamba tidak dianggap benar jika tauhidnya tidak benar. Bahkan, hakikat tawakal adalah tauhidnya hati. Selagi di dalam hati masih ada kaitan-kaitan syirik, maka tawakalnya cacat. Seberapa jauh kemurnian tauhid, maka sejauh itu pula kebenaran tawakal. Jika seorang hamba berpaling kepada selain Allah, maka hal ini akan membentuk cabang di dalam hatinya, sehingga mengurangi tawakalnya kepada Allah karena adanya cabang itu.”

Hakikat tawakal adalah tauhidnya hati. Maka, sungguh tepat Muhammad bin Abdulwahab membuat judul bab, “Mengamalkan Tauhid dengan Sebenar-benarnya Dapat Menyebabkan Masuk Surga Tanpa Hisab”.

***
Referensi:
Ibnu Katsir. Tafsir Al-Qur’anil Adzim. Peneliti dan Peringkas: Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin Ishaq Alu Syaikh. (Terjemahan: Tafsir Ibnu Katsir. 2008. Jakarta: Penerbit Pustaka Imam Syafi’i)

Muhammad bin Abdulwahab. Kitabut Tauhid. (Terjemahan: Kitab Tauhid. 2009. Yogyakarta: Penerbit Media Hidayah)

Ibnu Qayyim Al-Jauziyah. Madarijus Salikin. (Terjemahan: Madarijus Salikin: Pendakian Menuju Allah. 1999. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. Ebook oleh http:kampungsunnah.co.nr)
***
Sukrisno Santoso
Ditulis pada hari Rabu, 30 April 2014, di SMPIT Mutiara Insan Sukoharjo


0 komentar:

Posting Komentar

PROMO BUKU

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...