MUSLIMAH

Menuju Insan yang Shalihah

This is default featured post 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

MUTIARA DAKWAH

This is default featured post 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

8 Juli 2012

Hukum Berpuasa bagi Orang yang Sakit dan Musafir

Puasa Ramadhan


Allah Ta’ala berfirman:
“dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu….” (QS Al-Baqarah: 185)

Orang sakit terdiri dari dua jenis:
Pertama: Barangsiapa yang memiliki penyakit kronis dan tidak diharapkan kesembuhannya (dalam waktu dekat), misalnya kanker, maka orang ini tidak diwajibkan berpuasa. Hal ini karena dia tidak memiliki kondisi yang diharapkan dia mampu melakukannya (yakni berpuasa). Namun demikian, untuk setiap hari yang ditinggalkannya, dia harus memberi makan fakir miskin, apakah dengan mengumpulkan sejumlah orang miskin sesuai dengan hari yang ditinggalkannya dan memberi makan kepada mereka sekaligus sebagaimana yang dilakukan oleh Anas bin Malik di masa tuanya, atau dengan membagikan makanan bagi orang-orang fakir sesuai dengan hari yang ditinggalkannya dan kemudian memberikan setiap orang fakir seperempat sha’, yakni beratnya kurang lebih setengah kilo 10 gram gandum yang baik. Akan lebih baik jika seseorang menyajikan daging atau lemak bersamanya untuk melengkapi makanan tersebut. Hal yang sama juga berlaku terhadap orang tua yang tidak dapat berpuasa, dalam hal dia harus memberi makan orang fakir untuk setiap hari yang ditinggalkannya.

Kedua: Barangsiapa yang mengalami sakit yang temporer dan mereka akan sembuh darinya seperti demam dan semisalnya. Jenis penyakit seperti ini mencakup tiga hal:
1. Berpuasa tidak akan membebani atau membahayakannya. Orang yang mengalami sakit seperti ini diwajibkan untuk berpuasa karena dia tidak memiliki alasan untuk tidak berpuasa.
2. Berpuasa akan menyulitkannya namun tidak membahayakan dirinya. Dalam keadaan ini tidak disukai darinya berpuasa karena berarti orang tersebut tidak menggunakan kemudahan dari Allah (rukhsah), pada saat yang bersamaan membebani dirinya sendiri.
3. Berpuasa akan membahayakan dirinya. Dalam hal ini, dilarang baginya berpuasa karena akan menimbulkan bahaya bagi dirinya. Allah berfirman: “Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (Qs An-Nisa: 29)
Dan Dia berfirman: “Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan,” (QS Al-Baqarah: 195)
Dan dalam sebuah hadits, Nabi bersabda: “Tidak membahayakan orang lain dan tidak membahayakan diri sendiri.” Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Al-Hakim, dan An-Nawawi berkata: “Jalur periwayatannya saling menguatkan satu sama lain.”

Seseorang dapat mengetahui jika berpuasa dapat membahayakan orang yang sakit dengan (1) orang tersebut merasakan bahwa berpuasa akan berbahaya bagi dirinya, atau dengan (2) dinasihatkan oleh seorang dokter yang terpercaya. Manakala seseorang sakit yang seperti ini dan membatalkan puasanya, dia harus mengganti jumlah hari yang ditinggalkannya ketika dia sembuh. Namun jika dia mati sebelum pulih (dari sakitnya), maka tidak lagi wajib atasnya mengganti puasa tersebut. Karena dia hanya diwajibkan untuk berpuasa sejumlah hari yang ditinggalkannya pada waktu yang lain, yang tidak sempat dilaluinya.

Musafir mencakup dua jenis:
Pertama: Barangsiapa yang berniat melakukan perjalanan sebagai cara untuk menghindari puasa. Tidak dibolehkan bagi orang tersebut untuk membatalkan puasanya, karena berusaha menghindari kewajiban terhadap Allah tidak menghilangkan kewajiban itu darinya.

Kedua: Barangsiapa yang melakukan perjalanan tidak dengan niat di atas. Orang tersebut mungkin termasuk dalam salah satu dari tiga kategori berikut ini:

1. Berpuasa sangat menyulitkan baginya. Dalam hal ini, dilarang baginya berpuasa, karena suatu kali Nabi berpuasa dalam sebuah ekspedisi militer untuk menaklukkan Makkah, ketika sampai kepada beliau berita bahwa orangorang mengalami kesulitan untuk berpuasa dan mereka memandang ke arahnya untuk melihat apa yang beliau lakukan. Maka beliau meminta secangkir air setelah Ashar dan minum darinya sedangkan orang-orang melihatnya. Kemudian dikatakan kepadanya: “Sebagian orang masih berpuasa.” Maka beliau bersabda: “Mereka orang-orang yang durkaha, merdekalah orang-orang yang durhaka.”

2. Berpuasa menyulitkan baginya, namun tidak terlalu menyengsarakan. Dalam keadaan ini maka dimakruhkan baginya berpuasa karena dia menahan diri terhadap kemudahan dari Allah (rukhsah), manakala (pada saat yang sama) membebani dirinya sendiri.

3. Berpuasa tidak sulit baginya. Dalam hal ini dia dapat melakukan apa yang paling mudah baginya, apakah berpuasa atau memilih untuk tidak berpuasa. Hal ini berdasarkan firman Allah: “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (QS Al-Baqarah [2] : 185)

Kata  "kemudahan" di sini diambil dari makna cinta (yakni Dia mencintai kemudahan bagimu). Jika tidak ada bedanya bagimu berpuasa atau tidak berpuasa, maka berpuasa adalah lebih disukai, karena inilah yang dilakukan oleh Nabi sebagaimana yang diriwayatkan dalam Shahih Muslim dari Abu Darda , dia berkata: “Kami keluar bersama Nabi pada bulan Ramadhan dalam kondisi udara yang sangat panas sampai-sampai masing-masing kami meletakkan tangan di atas kepala, karena panasnya. Dan tidak ada yang berpuasa di antara kami kecuali Rasulullah dan Abdullah bin Rawaha.”

Musafir dianggap melakukan perjalanan (bersafar) sejak saat dia meninggalkan negerinya sampai saat dia kembali. Dan jika dia menetap ditempat yang dituju selama beberapa waktu, dia tetap dianggap musyafir selama dia mempunyai niat tidak akan pernah bermukim di tempat tersebut setelah urusannya yang menyebabkan dia melakukan perjalanan terpenuhi.

Maka dia berhak atas rukhsah orang yang bersafar meskipun waktu dia berdiam (disuatu tempat) diperpanjang untuk waktu yang lama. Hal ini karena Nabi. tidak menyebutkan batasan waktu yang menentukan berakhirnya perjalanan (safar). Dan landasan dalam perkara ini adalah bahwa seseorang tetap dalam keadaan safar dan dibawah hukum-hukum safar sampai ada dalil bahwa safarnya telah berakhir dan hukum-hukum yang berkaitan dengan safar pun gugur.

Tidak ada perbedaan dalam membatalkan puasa ketika dalam perjalanan antara safar dengan dengan waktu yang terbatas seperti Haji, Umrah, mengunjungi keluarga dan lain-lain dengan safar yang terus menerus, seperti perjalanan yang dilakukan oleh supir jasa kendaraan seperti taksi atau jenis transportasi yang lebih besar (yakni bus). Ketika supir ini keluar dari negerinya, mereka terhitung melakukan safar dan diperbolehkan bagi mereka melakukan apa yang diperbolehkan bagi musyafir lainnya, seperti tidak berpuasa selama Ramadhan, meng-qashar shalat dari empat raka’at menjadi dua raka’at, dan menjama’ shalat Dzuhur dan Ashar serta Maghrib dan Isya ketika dibutuhkan.

Meninggalkan puasa adalah lebih baik bagi mereka daripada berpuasa, jika hal itu mudah bagi mereka. Dan mereka dapat mengganti hari-hari yang ditinggalkan tersebut di musim dingin. Hal ini karena supir jasa angkutan ini memiliki negerinya sendiri, yang mereka menisbatkan diri kepadanya. Maka ketika mereka berada di negerinya, dan mereka dianggap sebagai warga yang mukim dan apa saja yang berlaku bagi semua warga yang lain maka juga berlaku baginya. Dan manakala mereka bersafar, mereka dianggap musyafir dan apa saja yang berlaku bagi musyafir juga berlaku baginya.



Dikutip dari kitab Pelajaran mengenai Puasa, Tarawih, dan Zakat karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

0 komentar:

Posting Komentar

PROMO BUKU

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...